Lompat ke isi

Pengguna:Altair Netraphim/Bookmark1

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 11 Agustus 2021 14.00 oleh Altair Netraphim (bicara | kontrib) (Membalikkan revisi 18958567 oleh Nefrit Lazurit (bicara))
Rumah Dinas Wali Kota Salatiga pada 2019.

Rumah Dinas Wali Kota Salatiga adalah bangunan cagar budaya yang terletak di Jalan Diponegoro No.1, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009, bangunan ini terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 11-73/Sla/04. Secara umum, bangunan tersebut memperlihatkan konsep ruang sebuah kota modern karena berada di tengah-tengah kota, seperti halnya bangunan lain di Jawa yang menjadi identitas dan atribut administrasi kota itu (Hatmadji, dkk, 2009:34–35).[1][2][3][4][5][6][7][8][9][10]

Kondisi fisik

Menurut penelitian bersama yang dilakukan oleh Rahardjo (2013:68), bangunan ini dibagi menjadi dua bagian berdasarkan coraknya karena pembangunannya tidak dilakukan secara bersamaan.

Bangunan pertama

Bangunan induk Rumah Dinas Wali Kota Salatiga.

Bangunan ini awalnya merupakan tempat tinggal Majelis Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) dan diperkirakan dibangun hampir bersamaan dengan GPIB Tamansari Salatiga, yaitu sekitar tahun 1825. Berdasarkan catatan Binnenlandsch Bestuuur (kepegawaian kolonial), bangunan induk itu disebutkan mulai ditempati oleh asisten residen yang jabatannya setingkat dengan bupati pribumi sejak tahun 1903. Dilihat dari bentuknya, arsitektur bangunan ini menunjukkan adanya perpaduan antara kebudayaan Jawa dan Eropa (Harnoko, dkk, 2008:38). Arsitektur Eropa pada bangunan tersebut terlihat di dinding tembok, pintu dan jendela yang tinggi, alas marmer, serta atap berbentuk perisai, sedangkan arsitektur Jawa terlihat dengan adanya pendopo, beranda, ruangan yang luas, konstruksi kayu di bagian depan, dan ornamen kuncungan yang ditopang dengan tiang-tiang besi tinggi (Hatmadji, dkk, 2009:35). Bangunan lain di Kota Salatiga yang memiliki ornamen kuncungan adalah Rumah Dinas Kepala Asrama Belanda Non-Eropa dan Asrama Polisi Kepatihan (Ksatrian) (Hatmadji, dkk, 2009:72). Kondisi fisik bangunan terawat dengan baik, hanya terdapat tambahan jendela di dinding sebelah timur agar sinar matahari dapat menerangi pendopo. Sampai dengan tahun 1985, masih terdapat lapangan tenis di belakang gedung ini. Tanah tersebut lantas dibeli oleh Bank Harapan Sentosa (BHS) dan saat ini dimiliki oleh Hotel Wahid (Rahardjo, 2013:69–71).

Bangunan kedua

Bangunan kedua Rumah Dinas Wali Kota Salatiga.
Peringatan kedatangan Arthur Rimbaud di Rumah Dinas Wali Kota Salatiga.

Bangunan ini secara fisik masih kokoh dan belum banyak mengalami perubahan. Arsitektur Eropa pada bangunan tersebut terlihat di atap, teras, konstruksi tembok, dan tiang-tiang penyangga yang terbuat dari batu seperti bangunan zaman Renaisans. Bentuk bangunan ini menyerupai huruf "u" karena menyesuaikan luas tanah (Rahardjo, 2013:71). Menurut Supangkat (2019:36), bangunan tersebut pernah digunakan sebagai kantor Dinas Pendidikan, tetapi selanjutnya digunakan sebagai kantor Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Salatiga.

Berdasarkan plakat yang dapat dilihat di salah satu dinding bangunan, dapat diketahui bahwa penyair Prancis, Jean Nicolas Arthur Rimbaud, pernah singgah di tempat ini. Saat itu, dia berusia 22 tahun ketika mendaftarkan diri sebagai serdadu Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), yang akan dikirim ke Hindia Belanda pada 18 Mei 1876. Jean Rocher dan Iwan Santosa dalam buku Sejarah Kecil Indonesia-Prancis 1800–2000 turut membahas mengenai perjalanan Rimbaud di Jawa. Keduanya menjelaskan bahwa durasinya ketika berada di Indonesia sangat pendek karena dia melakukan desersi. Pada 2 Agustus 1876, dia dan para serdadu tiba di Semarang, tetapi mereka kemudian melarikan diri dengan kereta api karena melihat kekejaman kolonialisme. Mereka lantas tiba di Stasiun Tuntang (saat itu Jenderal Janssens telah menandatangani kapitulasi dari pasukan Prancis-Belanda kepada jenderal Inggris bernama Auchmuty) dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Mereka dapat memasuki barak di Kota Salatiga dalam waktu dua jam dan akhirnya singgah di Rumah Dinas Wali Kota Salatiga.

Pada 15 Agustus 1876, Rimbaud tidak hadir dalam apel pagi dan dinyatakan hilang pada 30 Agustus 1876. Dia diam-diam kabur dengan memakai pakaian biasa supaya tidak mudah dikenali dan meninggalkan seragamnya di tangsi Salatiga. Dia lantas berjalan kaki dari Salatiga ke Semarang yang berjarak sekitar 48 kilometer. Tidak ada catatan yang menjelaskan secara detail caranya bisa kembali ke Eropa. Namun satu hal yang pasti, demi menghindari aparat Belanda, mau tidak mau dia harus naik kapal non-Belanda. Setidaknya, menjelang tahun baru 1877 atau tanggal 31 Desember 1876, dia sudah berada di rumah keluarganya, yaitu di Charleville-Mézières (Rocher dan Santosa, 2013:119–123).

Asal-usul dan penggunaan

Pembangunan kompleks Rumah Dinas Wali Kota Salatiga tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan perkembangan Kota Salatiga yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebelum tahun 1895, Salatiga merupakan kabupaten tersendiri yang terpisah dari Kabupaten Semarang. Pada 1895, Salatiga kemudian digabung dengan Kabupaten Semarang berdasarkan Staatsblad No. 35 tanggal 13 Februari 1895. Menjelang akhir tahun 1901, status Salatiga sebagai afdeling kontrol dihapus dan digabung dengan Ambarawa. Berselang dua tahun kemudian, Salatiga secara resmi beralih menjadi kota administratif yang dipimpin oleh asisten residen. Afdeling Salatiga kemudian dibagi menjadi dua afdeling kontrol, yaitu Salatiga dan Ambarawa. Salatiga membawahi Distrik Salatiga dan Distrik Tengaran, sedangkan Ambarawa membawahi Distrik Ambarawa dan Distrik Ungaran (ANRI, Staatsblad No. 35 tanggal 13 Februari 1895).

Rumah Dinas Wali Kota Salatiga pada masa pemerintahan kolonial.

Sebagai pemimpin otonomi, Asisten Residen A.J. Baron Quarles yang sebelumnya tinggal di Ambarawa lantas diberikan rumah hunian (sekarang menjadi Rumah Dinas Wali Kota Salatiga) pada 1903. Kompleks bangunan ini berada di jalan menuju ke arah Semarang (sekarang Jalan Diponegoro) yang dulu diberi nama Toentangscheweg. Menurut Supangkat (2019:36), dia memerintah di Salatiga hingga 1908. Kedatangannya beriringan dengan dikeluarkannya Staatsblad No. 329 tahun 1903 tentang desentralisasi pemerintahan. Dia selanjutnya dipindahtugaskan ke Sulawesi Selatan hingga 1910 dan posisinya digantikan oleh J.H.J. Sigal. Sigal sebelumnya menjabat sebagai Asisten Residen di Cirebon selama tiga tahun (1906–1909). Dia ditugaskan di Salatiga sejak 1909 hingga 1923 (Supangkat, 2019:36–40).

Salatiga dalam perkembangannya kemudian beralih status menjadi stadsgemeente (kotapraja dengan otonomi terbatas) setelah Gubernur Jendral Hindia Belanda Johan Paul van Limburg Stirum mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 25 Juni 1917 No. 1, yang dimuat dalam Staatsblad No. 266 tahun 1917. Melalui keputusan tersebut, kota ini resmi didirikan oleh pemerintah kolonial pada 1 Juli 1917 dengan nama Staadsgemeente Salatiga. Status Salatiga sebagai stadsgemeente kemudian meningkat menjadi gemeente (kotapraja dengan otonomi penuh) pada 1926 (Rohman, 2020:121). Oemar (1978:128) mengemukakan maksud dari pemberian status gemeente tersebut adalah sebagai tempat mukim para pemilik perkebunan besar dan perkebunan kecil, yang sebagian besar terletak di wilayah Kabupaten Semarang sekarang ini (Bringin, Ambarawa, Suruh, Kopeng, Dadapayam, Tengaran, Simo, Banyubiru, dan Ungaran). Perkebunan yang menjadi sektor strategis saat itu dikuasai oleh orang-orang Eropa. Mereka memegang jabatan-jabatan penting dalam perkebunan, sehingga demi kelancaran pekerjaannya para pendatang ini bermukim di daerah Salatiga dan sekitarnya, khususnya area yang berada di sekitar kompleks Rumah Dinas Wali Kota Salatiga.

Penetapan status Salatiga sebagai gemeente awalnya banyak dipertanyakan. Hal ini disebabkan karena penduduknya masih sedikit dan wilayahnya yang kecil (Myengkyo, 2013:12). Meski ketetapan tersebut bernuansa politis yang berpihak kepada kepentingan orang kulit putih, tetapi Salatiga sebenarnya telah memenuhi persyaratan berdirinya sebuah gemeente, yaitu penduduk, keadaan setempat, dan keuangan (Darmiati, dkk, 1999:43). Penataan daerah otonom pada masa pemerintahan kolonial di sisi lain sebenarnya merupakan hal yang umum dilakukan dalam kaitannya dengan manajemen pemerintahan karena berkaitan dengan rentang kendali. Rentang kendali ini berkaitan dengan kapasitas koordinasi dan aksesibilitas dalam pelayanan publik (Purnomo, dkk, 2015:10).

Menurut Rohman (2020:123), agar pemerintahan di Salatiga dapat berjalan dengan baik, Gemeente Salatiga dipimpin oleh burgermeester (wali kota) dan dibantu oleh gemeenteraad (dewan kota) yang ditunjuk langsung oleh gubernur jenderal. Namun, saat itu jabatan tersebut masih dirangkap oleh Asisten Residen J.H.J. Sigal hingga 1923 (Supangkat, 2019:39–41). Komposisi organisasi dalam pemerintahan gemeente di sisi lain terdiri atas 25 orang Belanda yang menjabat sebagai staf wali kota atau jabatan penentu kebijakan, serta 20 orang pribumi dan 3 orang Timur Asing menduduki jabatan tingkat kelurahan (Rahardjo, 2013:70). Sumber daya ekonomi pemerintah kolonial dalam administrasi pemerintahan gemeente diperoleh melalui pajak tanah, pajak tontonan, pajak reklame, izin mendirikan tempat tinggal, dan izin kegiatan usaha ekonomi.

Jabatan Sigal digantikan oleh A.H. Neijs, seorang perwira dalam administrasi pemerintahan, hingga 1925. Sebelum ditugaskan di Salatiga, dia menjabat sebagai asisten residen di Klaten sejak 1917 (Supangkat, 2019:40–41). Prakosa (2017:31–32) mencatat bahwa asisten residen terakhir yang bertugas di Salatiga adalah J.H. Van Welly. Dia menggantikan Neijs sejak 1925 hingga 1929. Jabatan asisten residen kemudian dihapus pada 1 Januari 1929, saat pemerintah kolonial mengangkat burgermeester baru, yaitu A.L.A. Van Unen (Supangkat, 2019:42).

Burgermeester baru itu lantas berganti menempati kediaman asisten residen untuk menjalankan pemerintahan. Prakosa (2017:31–32) mengatakan jika burgermeester membawahi seorang komisaris, patih, dan opsir polisi kelas I. Dia berkoordinasi dengan patih dan empat orang wedana (Distrik Ambarawa, Ungaran, Salatiga, dan Tengaran) dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, dia juga membawahi dua orang Tionghoa berpangkat letnan dan kapten. Salah satu tugas burgermeester adalah melakukan berbagai pembangunan di Salatiga, sekaligus memperkenalkan berbagai fasilitas umum yang belum pernah dikenal sebelumnya oleh penduduk pribumi (Supangkat, 2012:19).

Pemerintah kolonial di bawah otoritas Van Unen menjadikan area yang berada di sekitar Rumah Dinas Wali Kota Salatiga sebagai pusat kota dan kawasan elite. Hal inilah yang membuat dibangun sarana penunjang lain di sekitarnya, yaitu kawasan Tamansari (Supangkat, 2012:23). Perkembangan ini turut mendorong orang-orang kulit putih berlomba-lomba membangun rumah dengan arsitektur Eropa di sekitar area tersebut (Supangkat, 2012:35). Van Unen menjabat sebagai burgermeester hingga pertengahan 1932. Kedudukannya digantikan oleh Brune H.F. sejak 25 Juni 1932. Sebelumnya, dia menjadi burgermeester Magelang dan memerintah di Salatiga hingga 28 Februari 1933. Sebelum Jepang masuk ke Salatiga, sebenarnya masih ada beberapa pergantian burgermeester, tetapi tidak ditemukan sumber-sumber kuat yang membahasnya.

Ketika Jepang mulai berkuasa, struktur dan pejabat pemerintahan diganti. Istilah burgermeester diganti menjadi shityo, sedangkan asisten residen menjadi sidokan. Kedua jabatan yang sebelumnya hanya dapat diduduki oleh orang Belanda itu mulai dapat ditempati oleh pribumi pada masa pemerintahan Jepang. Wali kota dan asisten residen pribumi pertama di Salatiga dijabat oleh M.S. Handjojo dan R. Mudardjo. Sejak saat itulah bangunan Rumah Dinas Wali Kota Salatiga ditempati oleh para wali kota selanjutnya untuk menjalankan pemerintahan.

Supangkat (2020:49) turut mencatat jika Soekarno yang sedang melakukan kunjungan kerja pada 1952 menemukan cinta keempatnya di Rumah Dinas Wali Kota Salatiga. Saat itu, Soekarno bertemu dengan seorang janda muda, Hartini Soewondo, yang mamasak sayur lodeh untuknya. Dua tahun berikutnya dia meminang wanita itu. Kelak, perkawinan ini pula yang menyebabkan Fatmawati hengkang dari Istana Cipanas. Rumah Hartini sendiri berada di seberang jalan dari Rumah Dinas Wali Kota Salatiga, yaitu Jalan Diponegoro No. 6. Rumah tersebut bergaya Hindia Baru.

Pengelolaan dan pelestarian

Pemanfaatan bangunan cagar budaya di Kota Salatiga umumnya digunakan untuk kepentingan agama, ekonomi, pendidikan, dan militer. Pada dasarnya pemanfaatan bangunan cagar budaya dalam bentuk apa pun tidak dipermasalahkan, asalkan tetap mempertahankan nilai-nilai autentik bangunan. Pemanfaatan bangunan yang dilakukan terhadap Rumah Dinas Wali Kota Salatiga sendiri berlangsung cukup baik, yaitu digunakan untuk kepentingan kantor pemerintahan. Kondisinya pun saat ini cukup terawat. Hal ini menjadi bukti bahwa bangunan cagar budaya akan memberikan manfaat yang besar bagi seseorang atau kelompok yang menempatinya jika difungsikan dengan baik (Hamid, 2018:2–5).

Salah satu bentuk perwujudan upaya pengelolaan dan pelestarian terhadap bangunan Rumah Dinas Wali Kota Salatiga yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Salatiga telah dilakukan pada 2009. Pemerintah Kota Salatiga, dalam hal ini melalui BAPPEDA Kota Salatiga, memandang perlu untuk mengkaji dan mengidentifikasi Rumah Dinas Wali Kota Salatiga dan bangunan-bangunan bersejarah lain untuk dinyatakan sebagai benda cagar budaya yang berada di Kota Salatiga, yaitu dengan melibatkan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, yang dalam hal ini merupakan institusi pemerintah pusat yang mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk melakukan kajian terhadap keberadaan, pelestarian, dan perlindungan bangunan bersejarah maupun benda purbakala. Kerja sama tersebut direalisasikan dalam bentuk Perjanjian Kerja Sama antara BAPPEDA Kota Salatiga Nomor 050/958/2009 dengan BP3 Jawa Tengah Nomor 1585a/101.SP/BP3/P-XI/2009 tanggal 9 November 2009 tentang Kajian dan Identifikasi Bangunan Bersejarah di Kota Salatiga Tahun 2009.

Namun demikian, terkait dengan hasil dari kajian dan identifikasi yang telah dilakukan tersebut belum ada penetapan hukum oleh Pemerintah Daerah Kota Salatiga. Hasil dari kajian dan identifikasi tersebut seharusnya direspon dengan dikeluarkannya produk hukum terkait status dan keberadaan bangunan bersejarah di Kota Salatiga. Terlebih lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Kota Salatiga Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Cagar Budaya Daerah, seharusnya Pemerintah Daerah Kota Salatiga mengeluarkan produk hukum, misalnya Peraturan Wali Kota yang memberikan kejelasan terhadap status bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Kota Salatiga atau dengan Surat Keputusan (SK) yang menyatakan bahwa bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan bersejarah yang termasuk dalam cagar budaya yang keberadaannya harus dilindungi dan dilestarikan. Namun kenyataannya, sampai saat ini belum ada produk hukum tertulis yang dibuat untuk menunjang Perda Kota Salatiga Nomor 2 Tahun 2015. Secara praktik, pelaksanaan perlindungan terhadap Rumah Dinas Wali Kota Salatiga dan cagar budaya lain yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Salatiga masih sangat kurang.

Kajian dan identifikasi bangunan Rumah Dinas Wali Kota Salatiga dan cagar budaya lain yang sudah dilakukan BAPPEDA bersama dengan BPCB Jawa Tengah seharusnya dapat menjadi “pintu gerbang” yang membuka akses pendataan, pendaftaran dan penetapan bangunan bersejarah sebagai cagar budaya yang dapat ditetapkan melalui Peraturan Wali Kota, mengingat Perda Kota Salatiga Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Cagar Budaya Daerah sudah ada, sehingga menjadi penting untuk kemudian diturunkan ke dalam Peraturan Wali Kota yang harapannya dapat memberikan kejelasan status terhadap Rumah Dinas Wali Kota Salatiga dan bangunan-bangunan bersejarah lain yang diidentifikasi sebagai bangunan cagar budaya.

Upaya yang dilakukan BAPPEDA dengan melibatkan BP3 Jawa Tengah pada 2009 tersebut masih dalam lingkup kajian dan identifikasi bangunan bersejarah, pengklasifikasian atau pengkategorian, serta penyusunan rekomendasi pelestarian bangunan bersejarah yang ada di Kota Salatiga. Oleh karena itu, walaupun saat ini Perda Kota Salatiga Nomor 2 Tahun 2015 sudah ditetapkan, tetapi jika belum ada Peraturan Wali Kota yang diturunkan tentu belum cukup untuk melindungi pelaksanaan praktik perlindungan hukum terhadap cagar budaya di Kota Salatiga.

Menurut Hamid (2018:4–6), hambatan proses perlindungan bangunan Rumah Dinas Wali Kota Salatiga datang dari dalam maupun luar. Hambatan dari dalam dapat berupa kurang maksimalnya peran pemerintah kota, banyak wacana terkait bangunan cagar budaya yang belum kunjung dilakukan, dan kurangnya dana. Sementara itu, hambatan dari luarnya dapat berupa kurangnya pemahaman masyarakat terhadap eksistensi bangunan cagar budaya di Kota Salatiga serta proses perlindungan bangunan cagar budaya itu sendiri. Namun, masih ada faktor yang meringankan hambatan tersebut. Salah satunya adalah masih banyak masyarakat dan pengamat cagar budaya yang peduli serta turut membantu pelestarian bangunan cagar budaya. Selain itu, tim ahli cagar budaya juga telah dibentuk di Kota Salatiga yang tentu akan mempermudah urusan tentang pengelolaan cagar budaya.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ "Selayang Pandang Kota Salatiga". Pemerintah Kota Salatiga. Diakses tanggal 28 Juli 2019. 
  2. ^ "Kisah Rumah Dinas Wali Kota Salatiga, Tempat Soekarno Bertemu Hartini, Jadi Cagar Budaya yang Dikenal Angker". Kompas. Diakses tanggal 28 Juli 2019. 
  3. ^ "Ini Tujuh Bangunan Tua di Salatiga yang Memiliki Nilai Sejarah". Sindo News. Diakses tanggal 28 Juli 2019. 
  4. ^ "Kisah Penyair Besar Prancis Jadi Serdadu di Salatiga". Historia. Diakses tanggal 27 Juli 2019. 
  5. ^ "Kompleks Rumah Dinas Wali Kota Salatiga, Bangunan Dua Rasa". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 1 Maret 2019. 
  6. ^ "Rumah Dinas Wali Kota Salatiga". Jaringan Kota Pusaka Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Maret 2019. Diakses tanggal 1 Februari 2019. 
  7. ^ "Pelestarian Arsitektur dan Tata Ruang Kota Salatiga". Kota Salatiga. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Maret 2019. Diakses tanggal 1 Februari 2019. 
  8. ^ "Kompleks Rumah Dinas Wali Kota Salatiga". Informasi Situs Budaya Indonesia. Diakses tanggal 1 Maret 2019. 
  9. ^ "Adakah Hubungan Antara Salatiga, Arthur Rimbaud, dan Soekarno?". National Geographic Indonesia. Diakses tanggal 19 Juli 2019. 
  10. ^ Regerings Almanak II. 1917. 

Daftar pustaka

Buku

  • Darmiati, dkk (1999). Otonomi Daerah di Hindia-Belanda (1903-1940). Jakarta: CV. Sejahtera. 
  • Handjojo, M.S. (1978). Riwayat Kota Salatiga. Salatiga: Sechan Press. 
  • Harnoko, Darto, dkk (2008). Salatiga dalam Lintasan Sejarah. Salatiga: Dinas Pariwisata, Seni, Budaya, dan Olah Raga Kota Salatiga. 
  • Kartoatmadja, dkk (1995). Hari Jadi Kota Salatiga 24 Juli 750. Salatiga: Pemerintah Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga. 
  • Oemar, Mohammad, dkk (1978). Sedjarah Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Purnomo, Daru, dkk, (2015). Kajian Pemekaran Kota Salatiga. Salatiga: Pusat Kajian Kependudukan dan Pemukiman Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana. 
  • Supangkat, Eddy (2007). Salatiga Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media. 

Pranala luar