Lompat ke isi

PKPU

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 15 Agustus 2021 12.32 oleh Atikah krsn (bicara | kontrib) (membuat artikel rintisan mengenai PKPU (Hukum))
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

PKPU atau yang disebut sebagai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menurut pendapat Munir Fuady dimana PKPU adalah periode waktu tertentu dimana diberikan oleh undang-undang melalui putusan pengadilan niaga, dalam periode tersebut baik kreditor dan debitor diberikan suatu kesepakatan musyawarah dalam cara-cara pembayaran utang-utang dengan memberikan rencana perdamaian pada seluruh atau sebagian dari utang itu termasuk juga dalam merestrukturisasi utang tersebut. [1]

Pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 222 ayat (2) bahwa Debitor tidak dapat atau memperkirakan dalam dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, maka dapat memohon PKPU dengan maksud untuk mengajukan perdamian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.[2]

Mengajukan Permohonan

Dalam PKPU yang dapat mengajukan permohonan bisa:

1.      Kredito

2.      Debitor

Pengajuan diajukan ke Pengadilan Niaga, pengajuan dapat dilakukan sebelum permohonan pailit ataupun setelah adanya permohonan pailit asalkan diajukan paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.

Tujuan

Tujuan adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau disebut PKPU adalah dengan tercapainya perdamaian, Fungsi perdamaian dalam hal ini untuk mengetahui keberadaan perusahaan, potensi perusahaan tersebut apakah ada kemungkinan masih adapat bangkit kembali dari jeratan utang-utang yang ada terhadap kreditornya.

Tidak Berlaku

Pada Pasal 246 mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak berlaku terhadap, diantaranya:[2]

1.      Dengan tagihan yang dijamin gadai, jaminan fidusia, hipotik, hak tanggungan, atau hak guna atas kebendaan lainnya;

2.      Dengan tagihan biaya pemeliharaan pengawasan atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan hakim pengawas harus mementukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum adanya PKPU yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan.

3.      Tagihan yang diistimewakan terhadap seuatu benda tertentu milik debitur maupun pada seluruh harta debitur yang tidak tercakup dalam point kedua.

Referensi

  1. ^ Fuadi, Munir (2001). Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti. 
  2. ^ a b Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.