Lompat ke isi

Kakawin Sutasoma

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kakawin Sutasoma
Disebut pulaᬓᬓᬯᬶᬦ᭄‌ᬲᬸᬢᬲᭀᬫ
JenisItihasa
Daerah asalSanur
Bahasa(-bahasa)Kawi
Ukuran51 cm x 3,5 cm
FormatKakawin
AksaraAksara Bali
Halaman155
Masuk Koleksi padaPerpustakaan Kantor Dokumentasi Budaya Bali, Sanur, Museum Negeri Mpu Tantular, Balai Bahasa Bali dan Perpustakaan Kongres Amerika Serikat
Gambar sampul buku keluaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia provinsi Bali. Sampul ini menunjukkan gambar pangeran Sutasoma yang diterkam harimau betina.

Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuno. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Bab 139.5).

Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh Empu Tantular pada abad ke-14.

Ikhtisar isi

Hiasan emas dari masa Majapahit yang menggambarkan Sutasoma digendong Kalmasapada

Calon Buddha (Bodhisattva) dilahirkan kembali sebagai Sutasoma, putra Raja Hastinapura, prabu Mahaketu. Setelah dewasa Sutasoma sangat rajin beribadah, cinta akan agama Buddha. Ia tidak senang akan dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja. Maka pada suatu malam, sang Sutasoma melarikan diri dari negara Hastina.

Maka setelah kepergian sang pangeran diketahui, timbullah huru-hara di istana, sang raja beserta sang permaisuri sangat sedih, lalu dihibur oleh orang banyak.

Setibanya di hutan, sang pangeran bersembahyang dalam sebuah kuil. Maka datanglah dewi Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang sang pangeran telah diterima dan dikabulkan. Kemudian sang pangeran mendaki pegunungan Himalaya diantarkan oleh beberapa orang pendeta. Sesampainya di sebuah pertapaan, maka sang pangeran mendengarkan riwayat cerita seorang raja, reinkarnasi seorang raksasa yang senang makan manusia.

Alkisah adalah seorang raja bernama Purusada atau Kalmasapada. Syahdan pada suatu waktu daging persediaan santapan sang prabu, hilang habis dimakan anjing dan babi. Lalu si juru masak bingung dan tergesa-gesa mencari daging pengganti, tetapi tidak dapat. Lalu ia pergi ke sebuah pekuburan dan memotong paha seorang mayat dan menyajikannya kepada sang raja. Sang raja sungguh senang karena merasa sangat sedap masakannya, karena dia memang reinkarnasi raksasa. Kemudian dia bertanya kepada sang juru masak, tadi daging apa. Karena si juru masak diancam, maka iapun mengaku bahwa tadi itu adalah daging manusia. Semenjak saat itu diapun gemar makan daging manusia. Rakyatnyapun sudah habis semua; baik dimakan maupun melarikan diri. Lalu sang raja mendapat luka di kakinya yang tak bisa sembuh lagi dan iapun menjadi raksasa dan tinggal di hutan.

Sang raja memiliki kaul akan mempersembahkan 100 raja kepada batara Kala jika dia bisa sembuh dari penyakitnya ini.

Sang Sutasoma diminta oleh para pendeta untuk membunuh raja ini tetapi ia tidak mau, sampai-sampai dewi Pretiwi keluar dan memohonnya. Tetapi tetap saja ia tidak mau, ingin bertapa saja.

Maka berjalanlah ia lagi. Di tengah jalan syahdan ia berjumpa dengan seorang raksasa ganas berkepala gajah yang memangsa manusia. Sang Sutasoma hendak dijadikan mangsanya. Tetapi ia melawan dan si raksasa terjatuh di tanah, tertimpa Sutasoma. Terasa seakan-akan tertimpa gunung. Si raksasa menyerah dan ia mendapat khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha bahwa orang tidak boleh membunuh sesama makhluk hidup. Lalu si raksasa menjadi muridnya.

Lalu sang pangeran berjalan lagi dan bertemu dengan seekor naga. Naga ini lalu dikalahkannya dan menjadi muridnya pula.

Maka akhirnya sang pangeran menjumpai seekor harimau betina yang lapar. Harimau ini memangsa anaknya sendiri. Tetapi hal ini dicegah oleh sang Sutasoma dan diberinya alasan-alasan. Tetapi sang harimau tetap saja bersikeras. Akhirnya Sutasoma menawarkan dirinya saja untuk dimakan. Lalu iapun diterkamnya dan dihisap darahnya. Sungguh segar dan nikmat rasanya. Tetapi setelah itu si harimau betina sadar akan perbuatan buruknya dan iapun menangis, menyesal. Lalu datanglah batara Indra dan Sutasoma dihidupkan lagi. Lalu harimaupun menjadi pengikutnya pula. Maka berjalanlah mereka lagi.

Hatta tatkala itu, sedang berperanglah sang Kalmasapada melawan raja Dasabahu, masih sepupu Sutasoma. Secara tidak sengaja ia menjumpai Sutasoma dan diajaknya pulang, ia akan dikawinkan dengan anaknya. Lalu iapun berkawinlah dan pulang ke Hastina. Ia mempunyai anak dan dinobatkan menjadi prabu Sutasoma.

Maka diceritakanlah lagi sang Purusada. Ia sudah mengumpulkan 100 raja untuk dipersembahkan kepada batara Kala, tetapi batara Kala tidak mau memakan mereka. Ia ingin menyantap prabu Sutasoma. Lalu Purusada memeranginya dan karena Sutasoma tidak melawan, maka dia berhasil ditangkap.

Setelah itu dia dipersembahkan kepada batara Kala. Sutasoma bersedia dimakan asal ke 100 raja itu semua dilepaskan. Purusada menjadi terharu mendengarkannya dan iapun bertobat. Semua raja dilepaskan.

Petikan dari kakawin ini

Di bawah ini diberikan beberapa contoh petikan dari kakawin ini bersama dengan terjemahannya. Yang diberikan contohnya adalah manggala, penutup dan sebuah petikan penting.

Manggala

Pada Kakawin Sutasoma terdapat sebuah manggala. Manggala ini memuja Sri Bajrajñana yang merupakan intisari kasunyatan.Jika dia metampakkan dirinya, maka hal ini keluar dalam samadi sang Boddhacitta dan bersemayam di dalam benak. Lalu beberapa yuga disebut di mana Brahma, Wisnu dan Siwa melindungi. Maka sekarang datanglah Kaliyuga di mana sang Buddha datang ke dunia untuk membinasakan kekuasaan jahat.

Manggala Terjemahan
1 a. Çrî Bajrajñâna çûnyâtmaka parama sirânindya ring rat wiçes.a 1 a. Sri Bajrajñana, manifestasi sempurna Kasunyatan adalah yang utama di dunia.
1 b. lîlâ çuddha pratis.t.hêng hredaya jaya-jayângken mahâswargaloka 1 b. Nikmat dan murni teguh di hati, menguasai semuanya bagai kahyangan agung.
1 c. ekacchattrêng çarîrânghuripi sahananing bhur bhuwah swah prakîrn.a 1 c. Ia adalah titisan Pelindung tunggal yang menganugrahi kehidupan kepada tri buwana – bumi, langit dan sorga – seru sekalian alam.
1 d. sâks.ât candrârka pûrn.âdbhuta ri wijilira n sangka ring Boddhacitta 1 d. Bagaikan terang bulan dan matahari sifat yang keluar dari batin orang yang telah sadar.
2 a. Singgih yan siddhayogîçwara wekasira sang sâtmya lâwan bhat.âra 2 a. Ia yang diterangi, yang manunggal dengan Tuhan, memang benar-benar Raja kaum Yogi yang berhasil.
2 b. Sarwajñâmûrti çûnyâganal alit inucap mus.t.ining dharmatattwa 2 b. Perwujudan segala ilmu Kasunyatan baik kasar ataupun halus, diajikan dalam sebuah doa dan puja yang khusyuk.
2 c. Sangsipta n pèt wulik ring hati sira sekung ing yoga lâwan samâdhi 2 c. Singkatnya, mari mencari-Nya dengan betul dalam hati, didukung dengan yoga dan samadi penuh.
2 d. Byakta lwir bhrântacittângrasa riwa-riwaning nirmalâcintyarûpa 2 d. Persis bagaikan seseorang yang merana hatinya merasakan rasa kemurnian Yang Tak Bisa Dibayangkan.
3 a. Ndah yêka n mangkana ng çânti kineñep i tutur sang huwus siddhayogi 3 a. Maka itulah ketentraman hati yang dituju seorang yogi sempurna.
3 b. Pûjan ring jñâna çuddhâprimita çaran.âning miket langwa-langwan 3 b. Biarkan aku memuja dengan kemurnian dan kebaktian tak tertara sebagai sarana untuk menulis syair indah.
3 c. Dûrâ ngwang siddhakawyângitung ahiwang apan tan wruh ing çâstra mâtra 3 c. Mustahil aku akan berhasil menulis kakawin sebab tiada tahu akan tatacara bersastra.
3 d. Nghing kêwran déning ambek raga-ragan i manah sang kawîrâja çobha 3 d. Namun, sungguh malu dan terganggu oleh pikiran akan sebuah penyair sempurna di ibu kota.
4 a. Pûrwaprastâwaning parwaracana ginelar sangka ring Boddhakâwya 4 a. Pertama dari semua cerita yang saya gubah diturunkan dari kisah-kisah sang Buddha.
4 b. Ngûni dwâpâra ring treat kretayuga sirang sarwadharmânggaraks.a 4 b. Dahulukala ketika dwapara-, treta- dan kretayuga, dia merupakan perwujudan segala bentuk dharma.
4 c. Tan lèn hyang Brahma Wis.n.wîçwara sira matemah bhûpati martyaloka 4 c. Tiada lain sang hyang Brahma, Wisnu dan Siwa. Semuanya menjadi raja-raja di Mercapada (dunia fana).
4 d. Mangké n prâpta ng kali çrî Jinapati manurun matyana ng kâla murkha 4 d. Dan sekarang pada masa Kaliyuga, Sri Jinapati turun di sini untuk menghancurkan kejahatan dan keburukan.

Penutup

Pupuh penutup adalah pupuh nomor 148.

Epilog Terjemahan
1 a. Nâhan tântyanikang kathâtiçaya Boddhacarita ng iniket 1 a. Maka inilah akhir dari sebuah cerita indah dan digubah dari kisah sang Buddha.
1 b. Dé sang kawy aparab mpu Tantular amarn.a kakawin alangö 1 b. Oleh seorang penyair bernama mpu Tantular yang menggubah kakawin indah.
1 c. Khyâtîng rat Purus.âdaçânta pangaranya katuturakena 1 c. Termasyhur di dunia dengan nama Purusadasanta (pasifikasi raja Purusada).
1 d. Dîrghâyuh sira sang rumengwa tuwi sang mamaca manulisa 1 d. Semoga semua yang mendengarkan, membaca dan menyalin akan panjang umurnya.
2 a. Bhras.t.a ng durjana çûnyakâya kumeter mawedi giri-girin 2 a. Hancur lebur para durjana, tak berdaya, gemetar, takut karena ngeri.
2 b. Dé çrî râjasa raja bhûpati sang angd.iri ratu ri Jawa 2 b. Oleh Sri Rajasa yang bertakhta di Jawa.
2 c. Çuddhâmbek sang aséwa tan salah ulah sawarahira tinut 2 c. Para abdinya berhati murni dan melaksanakan segala perintahnya tanpa salah.
2 d. Sök wîrâdhika mêwwu yêka magawé resaning ari teka 2 d. Sungguh banyak para pahlawan unggul, jumlahnya ada ribuan yang memberikan rasa takut kepada para musuh.
3 a. Ramya ng sâgara parwatêki sakapunpunan i sira lengeng 3 a. Indahlah laut dan gunung di bawah penguasaannya.
3 b. Mwang tang râjya ri Wilwatikta pakarâjyanira n anupama 3 b. Dan ibu kota Wilwatikta (= Majapahit) sungguh indah di luar bayangan.
3 c. Kîrn.êkang kawi gîta lambing atuhânwam umarek i haji 3 c. Banyaklah jumlah para penyair, tua dan muda yang menggubah nyanyian dan kakawin yang menghadap sang ratu.
3 d. Lwir sang hyang çaçi rakwa pûrn.a pangapusnira n anuluhi rat 3 d. Bagaikan Dewa Candra kekuasaannya menyinari dunia.
4 a. Bhéda mwang damel I nghulun kadi patangga n umiber i lemah 4 a. Berbeda dengan karyaku bagaikan gajah yang terbang di atas tanah.
4 b. Ndan dûra n mad.anêka pan wwang atimûd.ha kumawih alangö 4 b. Mustahillah menyamai karena orang bodoh yang seolah-olah menulis kakawin indah.
4 c. Lwir bhrân.tâgati dharma ring kawi turung wruh ing aji sakathâ 4 c. Seperti seseorang yang bingung mengenai kewajiban seorang penyair tidak mengenal peraturan bersyair.
4 d. Nghing sang çrî Ran.amanggalêki sira sang titir anganumata. 4 d. Namun Sri Ranamanggala juga yang menjadi panutanku.

Bhinneka Tunggal Ika

Lambang Indonesia dengan motto Bhinneka Tunggal Ika

Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Lengkapnya ialah:

Jawa Kuno Alih bahasa
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran yang mendua.

Penggubah dan masa penggubahan

Kakawin Sutasoma digubah oleh mpu Tantular pada masa keemasan Majapahit di bawah kekuasaan prabu Rajasanagara atau raja Hayam Wuruk. Tidak diketahui secara pasti kapan karya sastra ini digubah. Oleh para pakar diperkirakan kakawin ini ditulis antara tahun 1365 dan 1389. Tahun 1365 adalah tahun diselesaikannya kakawin Nagarakretagama sementara pada tahun 1389, raja Hayam Wuruk mangkat. Kakawin Sutasoma lebih muda daripada kakawin Nagarakretagama.

Selain menulis kakawin Sutasoma, mpu Tantular juga jelas diketahui telah menulis kakawin Arjunawijaya. Kedua kakawin ini gaya bahasanya memang sangat mirip satu sama lain.

Kakawin Sutasoma sebagai sebuah karya sastra Buddhis

Kakawin Sutasoma bisa dikatakan unik dalam sejarah sastra Jawa karena bisa dikatakan merupakan satu-satunya kakawin bersifat epis yang bernapaskan agama Buddha.

Penurunan kakawin Sutasoma

Lontar Sutasoma dari Jawa Tengah dalam aksara Buda.

Kakawin Sutasoma diturunkan sampai saat ini dalam bentuk naskah tulisan tangan, baik dalam bentuk lontar maupun kertas. Hampir semua naskah kakawin ini berasal dari pulau Bali. Namun ternyata ada satu naskah yang berasal dari pulau Jawa dan memuat sebuah fragmen awal kakawin ini dan berasal dari apa yang disebut "Koleksi Merapi-Merbabu". Koleksi Merapi-Merbabu ini merupakan kumpulan naskah-naskah kuno yang berasal dari daerah sekitar pegunungan Merapi dan Merbabu di Jawa Tengah. Dengan ini bisa dipastikan bahwa teks ini memang benar-benar berasal dari pulau Jawa dan bukan pulau Bali.

Resepsi kakawin Sutasoma di Bali

Di pulau Bali kakawin ini merupakan salah satu kakawin yang cukup digemari. Hal ini berkat kiprah I Gusti Sugriwa, salah seorang pakar susastra dari Bali yang memopulerkan kakawin ini. Ia sebagai contoh banyak menggunakan petikan-petikan dari kakawin ini dalam bukunya mengenai pelajaran kakawin.

Penerbitan kakawin Sutasoma

Kakawin Sutasoma telah diterbitkan dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Soewito Santoso. Suntingan teksnya diterbitkan pada tahun 1975.

Selain itu di Bali banyak pula terbitan suntingan teks. Salah satu contohnya yang terbaru adalah suntingan yang diterbitkan oleh "Dinas Pendidikan provinsi Bali" (1993). Namun suntingan teks ini dalam aksara Bali dan terjemahan adalah dalam bahasa Bali.

Antara tahun 1959 - 1961 pernah diusahakan penerbitan teks sebuah naskah yang diiringi dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh I Gusti Bagus Sugriwa.

Pada tahun 2009 terbit terjemahan baru dalam bahasa Indonesia beserta teks aslinya dalam bahasa Jawa Kuno. Suntingan teks dan terjemahan diusahakan oleh Dwi Woro R. Mastuti dan Hastho Bramantyo.

Daftar pustaka

  • (Bali) (Jawa) Dinas Pendidikan Bali, 1993, Kakawin Sutasoma. Denpasar: Dinas Pendidikan Bali.
  • (Indonesia) Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo, 2009, Kakawin Sutasoma. Mpu Tantular. Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 979-3731-55-9
  • (Indonesia) Poerbatjaraka dan Tardjan Hadiwidjaja, 1952, Kepustakaan Djawa'. Djakarta/Amsterdam: Djambatan.
  • (Inggris) Soewito Santoso, 1975, Sutasoma. New Delhi: Aditya Prakashan
  • (Indonesia) I Gusti Bagus Sugriwa, 1959 - 1961 Sutasoma / ditulis dengan huruf Bali dan Latin, diberi arti dengan bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Denpasar: Pustakamas
  • (Inggris) P.J. Zoetmulder, 1974, Kalangwan: a survey of old Javanese literature. The Hague: Martinus Nijhoff ISBN 90-247-1674-8
  • (Indonesia) P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. pp. 415–437. Jakarta: Djambatan

Lihat pula

Pranala luar