Lompat ke isi

Sitanggang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Etimologi:

SITANGGANG

Julukan:

KLAN BATAK, KLAN PARNA, KLAN SITEMPANG, KLAN PANGURURAN ATAU KLAN SITANGGANG.

Leluhur:

RAJA BATAK, RAJA ISUMBAON, TUAN SORIMANGARAJA, TUAN SORBADIJULU SIRAJA NAIAMBATON RAJA BOLON, RAJA SITEMPANG, RAJA SITANGGANG OMPU RAJA PANGURURAN.

Marga-Marga Sesuai Urutan Kesulungan Pada Garis Keturunan:

SITANGGANG, SIMANIHURUK, GINTING MANIK, SIDAURUK, SIGALINGGING, TENDANG, BANUREA, MANIK KECUPAK, BERINGIN, GAJAH, BERASA, GARINGGING[1][2][3][4].

Sitanggang adalah salah satu marga pada suku Batak Toba. Sitanggang merupakan nama dari Raja Pangururan ke IV atau Ompu Raja Pangururan, dengan asumsi jika Raja Isumbaon dianggap sebagai Raja Pangururan (Tano Sumba) I. Yang kemudian oleh keturunannya, nama tersebut dipakai sebagai marga atau saat ini dikenal dengan marga Sitanggang. Marga Sitanggang merupakan keturunan Raja Batak dari garis Raja Isumbaon.[5]

Pangururan atau Tano Sumba sebagai wilayah yang didirikan oleh Raja Isumbaon secara mayoritas menjadi Tanah Ulayat (Golat) dari marga Sitanggang. Adapun garis silsilah nenek moyang marga Sitanggang yaitu Raja Batak memperanakkan Raja Isumbaon memperanakkan Tuan Sorimangaraja memperanakkan Tuan Sorbadijulu (Raja Naiambaton) [6]memperanakkan Raja Natanggang (Raja Sitempang)[7] memperanakkan Raja Sitanggang (Raja Pangururan)[8][9] memperanakkan Raja Panungkunan (Raja Tanja Bau), Raja Pangadatan dan Raja Pangulu Oloan (Sigalingging).[4][10][11][12]

Yang kemudian anak dari Raja Panungkunan (Tanja Bau) dan Keturunannya memakai marga Sitanggang Bau dan Sitanggang Gusar. Anak dari Raja Pangadatan dan keturunannya memakai marga Sitanggang Lipan, Sitanggang Gusar dan Sitanggang Silo.[13] Sedangkan anak dari Raja Pangulu Oloan (Sigalingging) dan keturunannya memakai marga Sigalingging.[3]

Secara turun temurun nenek moyang marga Sitanggang mulai dari Raja Isumbaon hingga ke Raja Sitempang IV (Marga Sitanggang garis keturunan Raja Tanja Bau) adalah penguasa di Pangururan yang dahulu dikenal Tano Sumba atau Tanah Raja Isumbaon. Yang kemudian pada jaman kolonial Belanda, untuk memecah dominasi marga Sitanggang utamanya atas Onan Tiga Urat (pusat perdagangan awal Pangururan) atau disebut Bius Patane Bale Onan Pangururan[14], yang notabene bius dari Raja Naiambaton dan keturunannya,[14] maka Pangururan dibagi menjadi 3 kerajaan adat (bius) yaitu Bius Sitanggang, Bius Simbolon dan Bius Naibaho.[2] Dan selanjutnya, bius Pangururan dipecah atau dimekarkan lagi oleh Belanda dengan bius-bius yang baru seperti Tanjung Bunga (bius marga Nadeak), Buhit (bius marga Sitanggang), Rianiate (bius marga Sitanggang dan marga Simbolon), Sabungan Nihuta (marga Sitanggang, marga Simbolon dan marga Simalango), Ronggur Nihuta (bius marga Sitanggang, marga Simbolon dan marga Naibaho).[1]

Raja Sitempang

Nama Raja Sitempang merupakan julukan yang begitu populer di daerah Pangururan, awalnya gelar Raja Sitempang merupakan sebutan untuk Raja Natanggang, dikarenakan keadaan fisik Raja Natanggang yang cacat atau pincang.[5] Namun setelah ayahnya Tuan Sorbadijulu si Raja Naiambaton membawanya ke puncak dolok (gunung) Pusuk Buhit, untuk didoakan dengan harapan Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Kuasa versi Batak jaman dahulu) dapat menolong dan memberikan kesembuhan kepada anaknya Raja Natanggang. Raja Naiambaton pun mendudukkan anaknya di bawah pohon Utte (Jeruk Purut) yang tumbuh tepat di tengah puncak dolok Pusuk Buhit. Raja Naiambaton pun memulai ritual doanya, sebagaimana kebiasaan dari nenek moyangnya, mulai dari Raja Batak ke Raja Isumbaon hingga ke ayahnya Tuan Sorimangaraja, selalu memanjatkan doa dan permohonan di puncak gunung Pusuk Buhit, gunung yang dianggap suci oleh keluarganya secara turun-temurun. Dimana kakek buyutnya Raja Batak, di puncak gunung yang sakral itu, menerima dua pustaha (surat agung) dari Mulajadi Nabolon untuk diwariskan kepada kedua anaknya Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon, dimana si sulung Guru Tatea Bulan mendapatkan Pustaha Laklak. Adapun pun Pustaha Tumbaga menjadi milik dari Raja Isumbaon, yang berisikan tentang hukum dan pemerintahan (kerajaan).[14] Begitu pula dengan sepupu dari ayahnya Tuan Sorimangaraja yang bernama Raja Uti, cucu sulung dari Raja Batak atau paman sulung dari Raja Naiambaton sendiri dari ibu, di gunung itu pula mendapatkan pertolongan dan keajaiban dari Mulajadi Nabolon, hingga Raja Uti sebelumnya lahir dengan tubuh tidak memiliki tangan dan tidak memiliki kaki. Namun setelah diantarkan oleh ibunya siboru Baso Nabolon ke Pusuk Buhit, Raja Uti pun telah menjadi manusia yang begitu sakti dengan tubuh yang sempurna, hingga Raja Uti dianggap sebagai orang Batak yang paling sakti dan paling dekat dengan Mulajadi Nabolon.[14] Harapan dari Raja Naiambaton pun rupanya dikabulkan oleh Mulajadi Nabolon (Yang Maha Kuasa), anaknya Raja Sitempang telah pulih fisiknya sebagaimana manusia normal pada umumnya, bahkan di samping fisiknya telah menjadi normal, Raja Sitempang pun dianugerahi pula kharisma dan kesaktian oleh Mulajadi Nabolon.[5][15]

Dan kemudian Raja Sitempang pulang dan turun ke kampungnya Sijambur Nabolak, serta bertemu kembali dengan ayahnya Raja Naiambaton dan saudara atau adiknya Raja Nabolon, kedatangan Raja Sitempang pun disambut baik dan dirayakan oleh Raja Naiambaton, karena anak sulungnya itu sudah tidak terlihat cacat lagi bahkan juga dianugerahi kharisma dan kesaktian oleh Mulajadi. Mengingat Raja Naiambaton sudah tua, tidak lama dari kedatangan kembali Raja Sitempang, Raja Naiambaton pun menyerahkan hak kerajaannya kepada Raja Sitempang, untuk sepenuhnya menguasai Tano Sumba (Tanah Raja Isumbaon), yang tentu dibantu pula oleh adiknya Situan Nabolon atau Raja Nabolon.[7]

Raja Sitanggang (Ompu Raja Pangururan)

Seiring berjalannya waktu Raja Sitempang pun telah mendekati ujur, sehingga kekuasaannya atas Tano Sumba pun diserahkan kepada Raja Sitanggang, pada jaman Raja Sitanggang inilah Tano Sumba dikenal sebagai Pangururan, berbekal kharisma dan kesaktian yang secara alami turun dari ayahnya Raja Sitempang, Raja Sitanggang pun semakin leluasa dalam memajukan Tano Sumba, dengan mulai membuka tempat perdagangan, hingga marga-marga atau orang-orang dari daerah lain pun berdatangan ke Tano Sumba, selain untuk berdagang di antara mereka yang datang tersebut ada juga yang bertujuan untuk merebut Tano Sumba, mengadu ilmu dan berjudi, namun semua selalu kalah dan rugi (mangururi) jika berhadapan dengan Raja Sitanggang, sejak itulah Raja Sitanggang dijuluki Raja Pangururan atau Ompu Raja Pangururan[6][5][1][2]dan wilayah kekuasaannya pun yaitu Tano Sumba menjadi populer dinamai orang sebagai Pangururan. [5] Dan konon katanya Pangururan pada saat itu telah menjadi sebuah kota kecil yang ramai, bahkan menjadi kota kedua terbesar di Tapanuli Raya setelah Barus, sehingga Raja Sitanggang pun menjadi dikenal di daerah Tapanuli Raya hingga ke Karo, Simalungun, Dairi bahkan hingga ke Aceh. Selanjutnya, berdasarkan penuturan secara turun temurun dari tetua-tetua setempat, dalam mengembangkan Pangururan jadi kota yang maju dan kuat, Raja Sitanggang pun didukung sepenuhnya oleh sepupu dan keponakannya yaitu Tuan Simbolon serta kedua orang anak dari Tuan Simbolon yang bernama Tuan Tunggul Sibisa (Suri Raja) serta Tuan Martua Raja.

Raja Tanja Bau (Panungkunan)

Setelah Raja Sitanggang Ompu Raja Pangururan meninggal dunia, kerajaan dan kekuasaan atas Pangururan pun diteruskan oleh anak sulungnya yaitu Raja Tanja Bau Siraja Panungkunan. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, Raja Tanja Bau dibantu dan didukung oleh oleh kedua adiknya yaitu Raja Pangadatan dan Raja Pangulu Oloan (Sigalingging). Selain didampingi oleh kedua adiknya, Raja Tanja Bau juga dibantu oleh kerabat atau masih dalam kategori keponakannya yaitu Tuan Nahodaraja Simbolon yang merupakan cucu tertua dari Raja Simbolon. Dimasa Raja Tanja Bau inilah diperkirakan sebagai masa keemasan Kerajaan Pangururan. Selanjutnya di kemudian hari Raja Tanja Bau mewariskan kerajaannya ke kedua anaknya yaitu Raja Sitempang I dan Raja Tinita (Sisungkunon).[5][4][2]



[16]Referensi

  1. ^ a b c Hutagalung, W.M. (1991). Pustaha Batak. Tulus Jaya. 
  2. ^ a b c d Sitanggang, Marcius Albert (1997). Mengenal Leluhur Raja Sitanggang Serta Keturunannya. Jakarta: Lembaga Pusat Pengkajian Batakologi Yayasan LPB3. 
  3. ^ a b Sitanggang, Juinson (Maret 2020). Tarombo Raja Sitempang. Tangerang. 
  4. ^ a b c Sitanggang, Bachtiar (2020). [http//www.mitrawacanamedia.com Tarombo Raja Sitempang Anak Ni Raja Naiambaton] Periksa nilai |url= (bantuan). Jakarta: Mitra Wacana Media. ISBN 9786023184545. 
  5. ^ a b c d e f Sitanggang, Kosmen (28 April 2007). Catatan Seminar Sehari Keturunan Raja Sitempang Seluruh Indonesia di Wisma Benteng Medan. Medan. 
  6. ^ a b Saragih, Lin Sugianto (2017). Tarombo Dohot Turiturian Ni Bangso Batak Silsilah Dan Asal-Usul Marga-Marga Batak Dari Siraja Batak. Medan: Dinas Perpustakaan Dan Arsip Provinsi Sumatera Utara. ISBN 9786028946728. 
  7. ^ a b Sidabutar, Nahum (1976). Tarombo Batak. Tomok. 
  8. ^ RAKERNAS PPI di Batam 2018
  9. ^ Sejabodetabek, Purasitabor (2001). Tarombo Raja Sitanggang. Jakarta. 
  10. ^ Sigalingging, Mirwan (2002). Tarombo Raja Sigalingging. Jakarta: Panitia Tarombo Raja Sigalingging. 
  11. ^ Kota Medan, Purasitabor (2007). "Tarombo Raja Sitanggang". 
  12. ^ Pomparan Raja Sitempang, Seminar Sehari (2011). Tarombo Raja Sitempang. Hotel Grand Antaris Medan. 
  13. ^ Sidauruk, Maruhum (26 Juni 2011). Tarombo Sidauruk Dari Generasi Ke Generasi. Jakarta. 
  14. ^ a b c d Tampubolon, Raja Patik (1964). Pustaha Tumbaga Holin. Jakarta: Dian Utama. 
  15. ^ Jan Piter, Sitanggang (10 Oktober 2021). "Raja Sitempang Na Siat Marpangidoan". 
  16. ^ R.M.S (15 Oktober 1997). Tarombo Sitanggang Lipan.