Pembelian impulsif
Pembelian impulsif atau pembelian spontan adalah perilaku atau sebuah keputusan yang tidak terencana untuk membeli produk atau jasa. Keputusan untuk membeli ini terjadi secara tiba-tiba dan seketika sebelum melakukan pembelian. Pembelian impulsif terjadi ketika emosi, perasaan, dan sikap memainkan peran yang menentukan dalam pembelian, dipicu dengan melihat produk atau setelah terpapar dengan pesan promosi yang dibuat dengan baik. Pembelian impusif terjadi ketika seseorang misalnya makan siang di sebuah restoran di pusat perbelanjaan. Setelah makan siang dengan niat berkeliling atau melihat gerai toko, namun kemudian timbul dorongan untuk melakukan pembelian yang sebelumnya tidak direncanakan.[1]
Pembelian impulsif merupakan suatu gaya berbelanja yang hanya berdasarkan kepada emosi yang berasal dari dalam individu konsumen itu sendiri, sehingga mengenyampingkan faktor sosial dan interaksi dalam pengambilan keputusan yang mereka buat. Faktor emosi erat kaitannya melakukan kegiatan tersebut dan identik dengan pembelian tidak terencana.[2] Pembelian ini ditandai dengan pengambilan keputusan yang relatif cepat serta keinginan yang kuat untuk segera memiliki barang atau jasa tersebut. Hal ini digambarkan sebagai hal yang membangkitkan gairah, tidak disengaja, dan perilaku pembelian yang dinilai lebih menarik dibandingkan dengan yang direncanakan. Konsumen tipe ini jarang memikirkan konsekuensi atau dampak negatif yang timbul dari tindakan mereka.[3]
Latar belakang
Istilah pembelian impulsif dicetuskan sejak awal tahun 1950, saat itu ada penel untuk meneliti pengambilan keputusan konsumen dalam membeli produk yang diinginkan setelah individu mengenal industri retail. Penelitian saat itu bernama DuPont Consumer Buying Habits Studies. Penelitian ini memberikan paradigma bahwa impulsive buying adalah pembelian tanpa perencanaan.[4] [5]Kemudian definisi pembelian impulsif meluas, mengacu pada dorongan kuat bahwa suatu perasaan konsumen saat ingin membeli suatu barang, seringkali menimbulkan disonansi kognitif bagi konsumen. Hal ini kemudian mengubah fokus definisi dari produk ke konsumen. Oleh karena itu, disimpulkan pembelian impulsif adalah hasil dari kebutuhan sendiri untuk memuaskan keinginan mereka yang juga menimbulkan perdebatan ideologi rasional dengan prinisip diri mereka sendiri. Peningkatan pembelian impulsif juga telah dikaitkan dengan munculnya materialisme, yang sering menyebabkan orang berbelanja secara royal atau melakukan pembelian tanpa informasi.[6]
Jenis pembelian impulsif
Dalam artikelnya yang berjudul, "The Significance of Impulse Buying Today" Sid Hawkins Stern menjelaskan empat jenis pembelian impulsif yang dapat dilihat. Yang pertama disebut "Pembelian Impuls Murni" di mana konsumen melanggar pola konsumsi normal mereka. Selanjutnya disebut “Reminder Impulse Buying”, yaitu ketika seorang konsumen lupa menambahkan suatu barang ke daftar belanjaannya, dan ketika melihat barang tersebut di toko, mereka ingat bahwa mereka membutuhkan barang tersebut dan membelinya. Jenis pembelian impulsif ketiga adalah "Pembelian Impuls Saran" di mana seorang konsumen melihat produk yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, dan meyakinkan diri mereka sendiri bahwa mereka membutuhkan barang tersebut meskipun ini adalah pertemuan awal mereka dengannya. Jenis pembelian impulsif terakhir yang termasuk Stern adalah "Pembelian Impuls yang Direncanakan".[7]
Pembelian impulsif saat pandemi Covid-19
Merebaknya pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor terjadinya pembelian impulsif. Situasi pandeami salah satunya berdampak pada timbulnya rasa takut dan khawatir akan kehidupan sehari-hari. Hal ini berpengaruh pada prilaku membeli yang impulsif. Emosi negatif serta keadaan yang tidak menyenangkan mendorong munculnya rasa ingin berbelanja. Kegiatan belanja ini dianggap sebagai suatu cara untuk meredakan stress dan memberikan rasa aman dan nyaman.[8] Kondisi pandemi Covid-19 menimbulkan rasa cemas akan kondisi kesehatan, hal ini kemudian menjadi alasan untuk melakukan pembelian impulsif pada produk yang diyakini dapat melindungi diri dari paparan virus corona, seperti masker wajah, pembersih tangan, cairan disinfektan, dan suplemen vitamin beserta bahan pangan lainnya. Situasi pandemi yang juga menyebabkan stok barang tertentu menjadi langka juga menjadi faktor pembelian impulsif, karena seseorang akan cenderung membeli ketika barangtersebut tersedia.[8]
Referensi
- ^ Media, Kompas Cyber (2020-05-27). "Mengenal Impulsive Buying, Kebiasaan Boros yang Dapat Direm Saat Pandemi Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-11-02.
- ^ Arifianti, Ria; Gunawan, Wahju (2021-02-02). "PERILAKU IMPULSE BUYING DI MASA PANDEMI". Sosioglobal : Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi (dalam bahasa Inggris). 5 (1): 43–60. doi:10.24198/jsg.v5i1.30759. ISSN 2548-4559.
- ^ Eka Sari, Aprilia (Mei 2014). "ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBELIAN SPONTAN". JURNAL SAINS PEMASARAN INDONESIA. Volume XIII (No. 1): halaman 55 – 73.
- ^ RIZAL, BAHARRUDIN (2014). "PERAN DARI FAKTOR MATERIALISM, LOCUS OF CONTROL, DAN FINANCIAL LITERACY DAN PENGARUHNYA PADA IMPULSIVE BUYING DALAM PERSPEKTIF DEMOGRAFI" (dalam bahasa Inggris). STIE PERBANAS SURABAYA.
- ^ Rook, Dennis W. (1987). "The Buying Impulse". Journal of Consumer Research. 14 (2): 189–199. doi:10.1086/209105. ISSN 0093-5301. JSTOR 2489410.
- ^ Podoshen, Jeffrey S.; Andrzejewski, Susan A. (2012). "An Examination of the Relationships Between Materialism, Conspicuous Consumption, Undecided Purchase, Impulse Buying, and Brand Loyalty". Journal of Marketing Theory and Practice. 20 (3): 319–333. doi:10.2753/MTP1069-6679200306. ISSN 1069-6679. JSTOR 23243709.
- ^ Stern, Hawkins (1962). "The Significance of Impulse Buying Today". Journal of Marketing. 26 (2): 59–62. doi:10.2307/1248439. ISSN 0022-2429. JSTOR 1248439.
- ^ a b Julianti, Annisa (2021-03-01). "KECEMASAN DAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA SAAT PANDEMI COVID-19". UG Journal. 14 (12). ISSN 1978-4783.