Lompat ke isi

Vagueness

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 6 Desember 2021 16.07 oleh RianHS (bicara | kontrib)

Vagueness atau kekaburan makna dalam linguistik dan filsafat , berkaitan dengan predikat kabur/ samar (vague) yang terjadi pada saat menetapkan batas-batas suatu definisi. Misalnya, kata sifat "tinggi" definisinya kabur ketika diterapkan pada seseorang yang memiliki postur "tinggi sedang". Sebaliknya, bilangan "prima" tidak kabur karena setiap bilangan pasti prima atau bukan. Kekaburan makna biasanya didiagnosis dengan kemampuan predikat untuk memunculkan kondisi paradoks Sorites . Kekaburan makna berbeda dengan ambiguitas, yaitu ekspresi yang memiliki banyak arti. Misalnya "bank" dalam bahasa Inggris yang dapat berarti tepi sungai atau lembaga keuangan. Akan tetapi tidak ada kasus batas di antara kedua interpretasi tersebut.

Kekaburan makna adalah topik utama penelitian dalam logika filsafat yang telah menjadi tantangan potensial bagi logika klasik. Kajian semantik formal dilakukan untuk menyajikan semantik tersusun bagi ekspresi kabur dalam bahasa. Kajian dalam filsafat bahasa telah membahas implikasi kekaburan dalam teori makna, sementara ahli metafisika mempertimbangkan bahwa realitas itu sendiri bersifat kabur.

Arti penting

Konsep kekaburan makna memiliki arti penting dalam filsafat. Misalnya ketika seseorang ingin mengetahui definisi "benar" dalam pengertian moral. Ia menginginkan sebuah definisi yang mencakup tindakan yang jelas benar dan mengecualikan tindakan yang jelas salah; tetapi bagaimana dengan kasus batas? Beberapa filsuf mengatakan bahwa untuk kasus-kasus batas seseorang harus mencoba membuat definisi sementara meskipun tidak jelas, khusus untuk kasus-kasus terkait. Yang lain mengatakan bahwa andai memungkinkan ada seseorang yang mampu membuat definisi secara lebih tepat dibanding bahasa atau konsep biasa; mereka merekomendasikan orang tersebut untuk membuat definisi tepat tingkat lanjut.[1]

Dalam hukum

Kekaburan makna juga muncul dalam masalah hukum. Pada beberapa kasus, hakim harus melakukan arbitrase untuk membuat pembatasan hal-hal yang memenuhi atau tidak memenuhi ketika menghadapi definisi yang kabur. Contohnya antara lain; kecacatan (berapa banyak kehilangan penglihatan yang diperlukan sebelum seseorang menjadi buta secara hukum?), kehidupan manusia (pada titik mana dari pembuahan hingga lahir seseorang dianggap sebagai manusia menurut undang-undang), dewasa (dalam hal melakukan tindakan legal untuk mengemudi, mengkonsumsi minuman beralkohol, mengikuti pemilihan umum, seks konsensual, dll.), ras (bagaimana mengklasifikasikan seseorang yang memiliki ras campuran), dll. Bahkan konsep yang tampaknya tidak ambigu seperti gender dapat menjadi subyek kekaburan, tidak hanya dari transisi gender transeksual tetapi juga dari kondisi genetik tertentu dengan sifat biologis campuran laki-laki dan perempuan (lihat interseks ).

Dalam sains

Banyak konsep ilmiah yang samar, misalnya spesies dalam biologi tidak dapat didefinisikan secara tepat dalam kasus spesies cincin. Meskipun demikian, konsep spesies dapat diterapkan dengan jelas dalam sebagian besar kasus. Seperti yang diilustrasikan dalam contoh berikut, untuk mengatakan bahwa suatu definisi "samar" tidak mesti memerlukan penilaian kritis. Perhatikan hewan-hewan di Alaska yang merupakan hasil persilangan anjing husky dan serigala: apakah mereka termasuk anjing? Tidak jelas, mereka merupakan kasus batas dalam spesies anjing. Hal ini berarti konsep anjing secara umum tidak cukup jelas untuk diambil sebagai sebuah kesimpulan dalam kasus tadi.

Pendekatan

Pertanyaan filosofis tentang apa perlakuan teoretis terbaik untuk kekaburan makna terkait dengan masalah paradoks tumpukan atau paradoks Sorites —telah menjadi bahan perdebatan filosofis.

Fuzzy logic

Artikel utama: Fuzzy logic

logika kabur
Dalam konsep fuzzy logic, misalnya predikat dingin, hangat, dan panas berlaku secara bertahap (sumbu vertikal, 0 dan 1 yang berarti tidak dan ya) menuju suhu tertentu (sumbu horizontal).

Pendekatan teoretis fuzzy logic atau logika kabur, dikembangkan matematikawan Amerika, Lotfi Zadeh.Teori ini mengusulkan transisi bertahap antara "kesalahan sempurna", misalnya, pernyataan " Bill Clinton botak", hingga "kebenaran sempurna", untuk, katakanlah, " Patrick Stewart botak". Dalam logika biasa, hanya ada dua nilai kebenaran: "benar" dan "salah". Perspektif kabur berbeda dengan memperkenalkan konsep jumlah nilai kebenaran tak terbatas di sepanjang spektrum antara kebenaran sempurna hingga kepalsuan sempurna. Jika kebenaran sempurna diwakili oleh "1", dan kepalsuan sempurna dengan "0", kasus batas dianggap memiliki "nilai kebenaran" antara 0 dan 1 (misalnya, 0,6). Pendukung pendekatan logika kabur termasuk KF Machina (1976)[2]  dan Dorothy Edgington (1993).[3]



Supervaluasionisme

Artikel utama: Supervaluationism

Pendekatan teoretis lain dikenal sebagai " supervaluasionisme ". Pendekatan ini dipertahankan oleh Kit Fine dan Rosanna Keefe. Fine berpendapat bahwa penetapan batas dari suatu predikat samar bukanlah benar atau salah, melainkan merupakan kondisi yang berada dalam "kesenjangan nilai kebenaran ". Dia membela sistem semantik samar yang menarik dan rumit, berdasarkan gagasan bahwa predikat samar mungkin "dibuat tepat" dalam banyak cara. Sistem ini memiliki konsekuensi bahwa kasus batas istilah yang samar akan menghasilkan pernyataan yang bukan benar atau salah.

Subvaluasionisme

Artikel utama: Dialetheism

Dalam semantik supervaluasionis, seseorang dapat mendefinisikan predikat "supertrue" sebagai arti "benar pada semua presifikasi". Predikat ini tidak akan mengubah pernyataan semantik atomis (mis "Frank botak", di mana Frank adalah kasus batas kebotakan), tetapi memiliki konsekuensi bagi pernyataan-pernyataan yang kompleks secara logis. Secara khusus, tautologi logika kalimat, seperti "Frank botak atau Frank tidak botak", akan menjadi supertrue, karena pada setiap kondisi kebotakan, "Frank botak" atau "Frank tidak botak" akan menjadi benar. Karena masalah penetapan batas makna tampaknya mengancam prinsip-prinsip seperti ini (tidak termasuk tengah), fakta bahwa supervaluasionisme dapat "menyelamatkan" mereka dipandang sebagai sebuah kebajikan.

Referensi

  1. ^ Williamson, T (1994). Vagueness. London: Routledge. 
  2. ^ Machina, K. F (1976). "Truth, belief, and vagueness". Journal of Philosophical Logic. 5: 47–78. 
  3. ^ Edgington, Dorothy (1997). Vagueness by Degrees. MIT Press. hlm. 294–316.