Kausalitas
Artikel ini sedang dikembangkan sehingga isinya mungkin kurang lengkap atau belum diwikifikasi. Mohon untuk sementara jangan menyunting halaman ini untuk menghindari konflik penyuntingan.
Pesan ini dapat dihapus jika halaman ini sudah tidak disunting dalam beberapa jam. Jika Anda adalah penyunting yang menambahkan templat ini, harap diingat untuk menghapusnya setelah selesai atau menggantikannya dengan {{Under construction}} di antara masa-masa menyunting Anda.
|
Artikel ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. · surat kabar · buku · cendekiawan · JSTOR |
Artikel ini perlu dikembangkan agar dapat memenuhi kriteria sebagai entri Wikipedia. Bantulah untuk mengembangkan artikel ini. Jika tidak dikembangkan, artikel ini akan dihapus. |
Kausalitas merupakan prinsip sebab-akibat yang ilmunya dan pengetahuan yang secara otomatis bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain; bahwa setiap kejadian memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan eksistensinya akibat sesuatu atau berbagai hal lain yang mendahuluinya, merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan sanggahan. Keharusan dan keaslian sistem kausal merupakan bagian dari ilmu-ilmu manusia yang telah dikenal bersama dan tidak diliputi keraguan apapun.
Kausalitas dibangun oleh hubungan antara suatu kejadian (sebab) dan kejadian kedua (akibat atau dampak), yang mana kejadian kedua dipahami sebagai konsekuensi dari yang pertama.
Kausalitas merupakan asumsi dasar dari ilmu sains. Dalam metode ilmiah, ilmuwan merancang eksperimen untuk menentukan kausalitas dari kehidupan nyata. Tertanam dalam metode ilmiah adalah hipotesis tentang hubungan kausal. Tujuan dari metode ilmiah adalah untuk menguji hipotesis tersebut.
Sebab dan Akibat
Penalaran kausalitas menjadi salah satu kompetensi paling sentral yang memungkinkan untuk beradaptasi di dunia. Pengetahuan kausalitas memungkinkan untuk melakukan prediksi terhadap masa yang akan datang atau mendiagnosis penyebab dari suatu hal. Perencanaan dan penyelesaian masalah dilakukan menggunakan pengetahuan dari hubungan sebab-akibat.[1] Logika kausal menyokong logika komputasional, baik induktif maupun deduktif. Kausalitas masuk ke dalam jaringan linier, sering kali menggunakan pengukuran hubungan teoritis dan terukur dengan angka. Kausalitas juga terkait dengan tatanan fakta atau peristiwa dalam realitas. Berbeda dengan kalangan empiris yang meyakini peristiwa yang terjadi setelah peristiwa lain tidak bisa dikatakan ada hukum kausalitas.[2]
Penalaran kausal merupakan penalaran induktif ketika beberapa efek disimpulkan dari apa yang dianggap sebagai penyebab atau beberapa penyebab disimpulkan dari apa yang dianggap sebagai efeknya. Dalam ilmu alam berlaku aksioma bahwa peristiwa tidak sekedar terjadi melainkan terjadi karena sebab yang perlu dan sebab yang dianggap cukup. Sebab yang perlu (necessary condition) yaitu, suatu keadaan yang jika tidak terjadi, maka tidak ada kejadian tertentu lainnya. Misalnya, oksigen merupakan sebab yang perlu ada untuk terjadinya pembakaran. Pembakaran tidak dapat terjadi jika tidak ada oksigen. Sedangkan sebab yang cukup (sufficient condition) yaitu keadaan yang pasti terjadi pada suatu kejadian. Misalnya, adanya oksigen adalah sebab mutlak dari pembakaran, tetapi bukan sebab yang cukup untuk pembakaran terjadi karena jelas oksigen dapat ada tanpa terjadinya pembakaran. Namun, terdapat derajat temperatur yang menyebabkan kehadiran oksigen menimbulkan pembakaran.[3]
Selain itu terdapat keadaan tertentu, sebab dipakai dalam arti lain, yaitu kejadian atau tindakan yang dalam kehadiran kondisi yang biasanya ada menyebabkan terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tertentu. Dalam arti ketiga ini, terdapat sebab jauh (remote cause), suatu peristiwa yang jauh dari akibat yang dicari penjelasannya dan sebab dekat atau sebab langsung (proximate cause), peristiwa yang paling dekat dengan peristiwa yang dicari penjelasannya. Misal, perusahaan asuransi mengirim penyelidik untuk engetahui sebab kebakaran, tindakan pemegang polis asuransi menyalakan api adalah sebab langsung, sedangkan sebab jauhnya mungkin kegagalan panen yang dialaminya.[4]
Hubungan kausal dipahami sebagai subjek dalam berbagai kondisi tertentu, sehingga masuk akal untuk bertanya bagaimana A dapat dicegah dari menyebabkan B, bagaimana seseorang memungkinkan A menyebabkan B, atau bagaimana hubungan A dan B dapat diintervensi.[5]
Metode Induksi Mill
John Stuart Mill mempertemukan sistem induksi dengan sistem deduksi pada tahun 1843. Setiap pangkal pikir besar dalam sistem deduksi memerlukan induksi begitupun sebaliknya, sistem induksi memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi, keduanya byukan bagian yang saling terpisah melainkan saling membantu.[6]
- ^ Waldmann, Michael R. (2017-05-10). "Causal Reasoning". Oxford Handbooks Online. doi:10.1093/oxfordhb/9780199399550.013.1.
- ^ Muslih, Mohammad (2013-12-31). "METODOLOGI ILMU: Dari Teori Hingga Teologi". KALAM. 7 (2): 293–306. doi:10.24042/klm.v7i2.456. ISSN 2540-7759.
- ^ Introduction to logic (PDF). hlm. 515. ISBN 1-315-14401-8. OCLC 1080248483.
- ^ Sidharta, B. Arief (2010). Pengantar Logika : Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan Telaah (edisi ke-Cet. 3). Bandung: Refika Aditama. hlm. 82. ISBN 979-1073-49-X. OCLC 958848822.
- ^ Hoerl, Christoph (2011). "Causal reasoning". Philosophical Studies: An International Journal for Philosophy in the Analytic Tradition. 152 (2): 167–179. ISSN 0031-8116.
- ^ Sobur, Kadir (2015-11-02). "LOGIKA DAN PENALARAN DALAM PERSPEKTIF ILMU PENGETAHUAN". TAJDID: Jurnal Ilmu Ushuluddin. 14 (2): 387–414. doi:10.30631/tjd.v14i2.28. ISSN 2541-5018.