Lompat ke isi

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 21 Januari 2022 14.45 oleh Yahra Trisma (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Mazhab Syafi'i menggunakan HotCat)

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (dikenal sebagai Imam Syafi'i) adalah pendiri Mazhab Syafi'i.[1] Ia termasuk salah satu Tabi'ut tabi'in.[2] Asy-Syafi'i merupakan salah satu ulama yang berpengaruh di bidang fikih melalui kitab yang ditulisnya dengan judul Al-Umm.[3]

Kelahiran

Para sejarawan menyepakati bahwa asy-Syafi'i dilahirkan pada tahun 150 Hijriah bertepatan dengan tahun kematian Abu Hanifah. Pendapat mengenai ketepatan tahun kelahiran asy-Syafi'i dengan meninggalnya Abu Hanifah dipersoalkan kebenarannya. Pendapat yang mendukung kelahiran asy-Syafi'i bertepatan dengan kematian Abu Hanifah hanya berasal dari informasi yang disampaikan oleh Abul Hasan Muhammad bin Husain bin Ibrahim. Ia memberitahukan informasi ini di dalam bukunya yang berjudul Manâqibusy Syafi'i dengan sanad jayyid. Dalam bukunya, kelahiran asy-Syafi'i yang bertepatan dengan hari kematian Abu Hanifah disampaikan oleh Ar-Rabi' bin Sulaiman. Pendapat ini dianggap kurang benar, karena penggunaan kata "yaum" yang diartikan sebagai hari kematian di dalam pernyataannya, dapat pula diartikan sebagai masa atau zaman. Beberapa pendapat lain juga menyebutkan bahwa Abu Hanifah wafat pada tahun 151 Hijriah atau 153 Hijriah. Semua pendapat ini memiliki kesamaan, yaitu tidak mengetahui bulan wafatnya Abu Hanifah. Dari pendapat-pendapat tersebut, disepakati bahwa asy-Syafi'i lahir pada tahun 150 Hijriah dengan bulan kelahiran yang tidak dapat dipastikan.[4]

Masa muda

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i lahir di Guzzah pada tahun 150 Hijriah atau sekitar tahun 767 Masehi. Hari kelahirannya diyakini bertepatan dengan kematian dua ulama, yaitu Abu Hanifah di Irak dan Ibnu Juraij di Makkah. Asy-Syafi'i merupakan anak yatim sejak kelahirannya. Ia hanya hidup bersama dengan ibunya di Guzzah dengan kemiskinan. Pada usia dua tahun, ia dibawa oleh ibunya untuk diperkenalkan pada keluarganya di Makkah. Kemudian, pada usia sepuluh tahun, ia dan ibunya pindah ke Makkah.[5]

Silsilah

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i merupakan keturunan dari suku Quraisy. Informasi ini berasal dari penyebutan Muhammad bin Ismail al-Bukhari mengenai dirinya. Al-Bukhari menyebut asy-Syafi'i dengan nama Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Quraisyi. Pendapat ini ditolak oleh kelompok pengikut mazhab Maliki dan mazhab Hanafi yang fanatik. Mereka meyakini bahwa hubungan antara Muhammad dengan garis keturunan asy-Syafi'i hanya sebatas persahabatan.[6]

Ibnu al-Jauzi menyebutkan bahwa nama lengkap dari asy-Syafi'i adalah Abu Abdillah Muhamad bin Idris bin Abbas bin Usman bin al- Syafi` bin al-Saib bin Ubaid bin Yazid bin Hasyim bin al-Muthallib bin Abd al-Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib. Dalam penamaan ini, Ghalib adalah putra dari Fihr yang mempunyai julukan Quraisy. Selain itu, terdapat silsilah yang lebih panjang dari Fihr yaitu ia sebagai anak dari Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan bin Udd bin Udad.[7]

Guru

Malik bin Anas

Asy-Syafi'i belajar kepada Malik bin Anas di Madinah ketika berusia 10 atau 12 tahun. Ia mempelajari kitab Muwatta Malik. Sebelum memplejarinya, ia terlebih dahulu telah menghafalkannya.[8]

Mazhab Syafi'i

Asy-Syafi'i mendasarkan hukum-hukum Islam di dalam mazhab Syafi'i melalui argumentasi yang dilandasi oleh keputusan hukum dari para Sahabat Nabi. Ini dilandasi oleh kelangsungan hubungan antara Nabi Muhammad dengan mereka. Hubungan ini membuat sumber hukum Islam dapat diperoleh melalui tindakan dan ucapan Nabi Muhammad serta dari keputusan para Sahabat Nabi yang berdasarkan kepada pengamatan mereka terhadap sunnah.[9] Selain menggunakan Al-Qur'an dan sunnah, asy-Syafi'i juga menggunakan ijtihad untuk memutuskan suatu hukum di dalam Islam. Metode ini ia landasi sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Ash oleh Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Imam Muslim, dan Ahmad bin Hanbal mengenai pahala dari ijtihad. Dalam hadits ini disebutkan bahwa ijtihad memperoleh dua pahala ketika keputusannya benar, dan memperoleh satu pahala jika keputusannya salah. Dalam artian ini, ijtihad merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad.[10] Metode lain yang digunakan oleh asy-Syafi'i dalam menetapkan hukum Islam adalah kias.[11] Asy-Sayfi'i juga menerima penggunaan istishhab dalam fikih.[12] Sebaliknya, asy-Syafi'i menolak penggunaan istihsan dan menyatakan kedudukannya sebagai haram ketika tidak lagi bersesuaian dengan ayat Al-Qur'an dan sunnah. Ini disampaikannya dalam bukunya yang diberi judul Ar-Risalah.[13]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 59.
  2. ^ Marzuki 2017, hlm. 104.
  3. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 107.
  4. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 17.
  5. ^ Misbah 2016, hlm. 34.
  6. ^ Afrizal 2020, hlm. 18.
  7. ^ Afrizal 2020, hlm. 20.
  8. ^ Misbah 2016, hlm. 35.
  9. ^ Marzuki 2017, hlm. 99.
  10. ^ Marzuki 2017, hlm. 105-106.
  11. ^ Marzuki 2017, hlm. 117.
  12. ^ Marzuki 2017, hlm. 121.
  13. ^ Marzuki 2017, hlm. 118.

Daftar pustaka