Lompat ke isi

Raden Wijaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 30 Desember 2004 11.08 oleh Meursault2004 (bicara | kontrib) (wikifikasi)

Raden Wijaya adalah salah satu menantu Kertanegara. Saat terjadi pemberontakan ia berusaha mati-matian mempertahankan Singasari. Tetapi sayang usahanya tidak berhasil. Akhirnya, bersama ketiga rekannya, Rangga Lawe, Sora dan Nambi, ia melarikan diri ke Madura. Mereka bermaksud memohon perlindungan diri dari Adipati Lumajang, yakni Aria Wiraraja. Adipati ini, yang tadinya menyokong Jayakatwang menggulingkan Kertanegara, ternyata adalah ayah Ranggalawe dan Nambi. Kini sang Adipati sudah berubah haluan. Arya Wiraraja lantas menasehati Raden Wijaya agar berpura-pura tunduk kepada Jayakatwang, sambil meminta sedikit daerah untuk tempat berdiam. Nasehat tersebut diiyakan.

Jayakatwang yang tidak berprasangka apa-apa mengabulkan permintaan Raden Wijaya. Sang Raden diijinkan membuka hutan Tarik. Dengan bantuan sisa-sisa tentaranya dan pasukan Madura, dibersihkannyalah hutan itu sehingga layak ditempati. Sewaktu sedang bekerja, salah seorang tentaranya merasa haus. Lalu dimakannyalah buah maja. Ternyata rasanya pahit. Sejak saat itulah tempat tersebut dinamai Majapahit.

Sementara itu, armada Pasukan Mongolia sampai di Jawa. Sebagian pasukan mendarat di Tuban, sebagian lagi di muara Kali Brantas. Dengan cepat Raden Wijaya membaca situasi. Ia segera menceritakan tragedi yang menimpa Kertanegara. Dalam kesempatan tersebut sekaligus diajaknya tentara Mongol itu menggulingkan Jayakatwang. Akhirnya pemimpin dari Gelang-gelang ini berhasil disingkirkan. Dan tak lama kemudian, dengan tipu muslihat yang jitu, Raden Wijaya dan pasukannya berhasil mengusir tentara Mongol pergi dari Pulau Jawa. Kejadian itu berlangsung pada tahun 1293 Masehi. Setelah ketertiban dapat dipulihkan, Raden Wijaya melanjutkan kejayaan Singasari dengan mendirikan kerajaan Majapahit. Raden Wijaya menjadi raja Majapahit yang pertama. Ia bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Sang raja tidak lupa mengikutsertakan ketiga rekan seperjuangannya dahulu dalam pemerintahan. Dilantiknya mereka menjadi pejabat tinggi. Ranggalawe menjadi Adipati Tuban, Sora menjadi penguasa di Daha (Kediri), sedangkan Nambi menjabat sebagai Perdana Menteri di istana. Tampak di sini, Nambi menduduki jabatan kelas satu dalam hirarki Majapahit, lebih tinggi dari kedua rekannya yang lain.

Rupanya Ranggalawe tidak puas dengan kebijakan raja terhadap mereka bertiga. Ia protes mengapa Nambi yang menjadi perdana menteri, bukannya Sora atau dia sendiri. Maka muncullah ketegangan di antara empat sahabat yang pernah bahu membahu menggempur Jayakatwang dan membangun Majapahit itu. Arya Wiraraja tidak berhasil meredakan ketegangan tersebut. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Mahapati, seorang yang berambisi menjadi patih amangkhubumi di Majapahit. Dialah sebetulnya biang keladi dari kerusuhan yang susul menyusul di awal Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1295 Masehi, timbullah pemberontakan dari Ranggalawe. Gejolak ini merupakan kesempatan emas bagi Mahapati untuk menyingkirkan Adipati Tuban itu. Pada tahun itu juga, Ranggalawe gugur di tangan Kebo Anabrang, dalam suatu pertempuran antara pasukan Tuban dan pasukan Kerajaan. Namun kemudian Kebo Anabrang dibunuh oleh Sora karena tidak tega menyaksikan kematian sahabatnya itu. Peristiwa ini merupakan alasan bagus bagi Mahapati untuk menyingkirkan Sora.

Mahapati kemudian menghasut raja untuk menghukum Sora. Amat berat bagi raja sebetulnya untuk menghukum rekan seperjuangannya itu. Tetapi dengan tipu muslihatnya, Mahapati berhasil memaksakan pertempuran antara pasukan Sora dan pasukan kerajaan. Dalam pertempuran yang pecah antara tahun 1298-1300 Masehi itu, Sora tewas.

Nambi rupanya mengetahui dirinya akan menjadi giliran berikutnya dari rencana busuk Mahapati. Maka ia pun menyingkir ke Lumajang. Pada tahun 1316 Masehi, Nambi memberontak di Lumajang. Akibatnya Nambi berserta keluarganya dibinasakan. Kemudian disusul Pemberontakan Semi (1318 M) dan Ruti (1319 M). Bahkan pasukan Kuti berhasil menduduki istana, sehingga Jayanegara harus menyingkir ke desa Badander. Akhirnya istana dapat direbut kembali. Setelah peristiwa tersebut, insyaflah raja bahwa semua pemberontakan itu sebetulnya diakibatkan oleh fitnah dan hasutan Mahapati. Maka ia pun ditangkap dan dihukum mati.