Perempuan Berkalung Sorban
Perempuan Berkalung Sorban | |
---|---|
Sutradara | Hanung Bramantyo |
Produser | Hanung Bramantyo |
Ditulis oleh | Hanung Bramantyo Ginatri S. Noor |
Pemeran | Revalina S. Temat Joshua Pandelaki Widyawati Oka Antara Reza Rahadian Ida Leman |
Distributor | Starvision |
Tanggal rilis | 15 Januari 2009 |
Durasi | ... menit |
Negara | Indonesia |
Perempuan Berkalung Sorban merupakan film Indonesia yang dirilis pada tahun 2009 yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film ini dibintangi antara lain oleh Revalina S. Temat, Joshua Pandelaki, Widyawati, Oka Antara, Reza Rahadian, dan Ida Leman.
Jalan cerita
Film ini berkisah mengenai pengorbanan seorang wanita Muslim, Anissa (diperankan oleh Revalina S. Temat), seorang wanita berpendirian kuat, cantik, dan cerdas. Anissa hidup dalam lingkungan keluarga Kyai di sebuah pesantren Salafiah putri al-Huda, di Jawa Timur, Indonesia, yang konservatif. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah al-Qur’an, Hadist dan Sunnah. Buku modern dianggap menyimpang
Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim dimana pelajaran itu membuat Anissa beranggapan bahwa Islam membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Tapi protes Anissa selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori (diperankan oleh Oka Antara), paman dari pihak Ibu, yang selalu menemani Anissa. Menghiburnya sekaligus menyajikan ‘dunia’ yang lain bagi Anissa. Diam-diam Anissa menaruh hati pada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (diperankan oleh Joshua Pandelaky), sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membunuh cintanya. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo, Mesir. Secara diam-diam Anissa mendaftarkan kuliah ke Yogyakarta, Indonesia, dan diterima. Namun Kyai Hanan tidak mengizinkannya dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Namun Anissa bersikeras dan protes kepada ayahnya.
Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin (diperankan oleh Reza Rahadian), seorang anak Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur. Sekalipun hati Anissa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga. Kenyataannya Samsudin menikah lagi dengan Kalsum (diperankan oleh Francine Roosenda). Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh. Dalam kiprahnya itu, Anissa dipertemukan lagi dengan Khudori. Keduanya masih sama-sama mencintai.[1]
Kontroversi
Film ini mengundang kontroversi karena dianggap melakukan kritikan secara kontra produktif atas tradisi yang terdapat dalam kebudayaan umumnya dan pesantren. salah seorang dari pengurus Majelis Ulama Indonesia memberikan tanggapan berupa menyarankan supaya film ini ditarik dari edaran agar dirubah sedikit sebagaimana keinginannya yaitu sang kyai justru yang seharus didudukan sebagai tokoh panutannya yang mengajarkan pemisahan tradisi agar misi flm lebih tercapai dan tidak menimbulkan sikap resitensi .[2] [3]
Catatan dan referensi
- ^ "Perempuan Berkalung Sorban". situs 21 Cineplex.com. Diakses tanggal January 4.
- ^ BBC World: Film timbulkan kontroversi. 6 Februari 2009. Diakses pada 9 Februari 2009
- ^ http://www.republika.co.id/koran/108/24086/Sastra_Santri_dan_Film_I_Perempuan_Berkalung_Sorban_I
Dengan demikian, baik tersurat atau tersirat, novel ini juga memberi kritikan terhadap mereka yang mengaku Islam namun sikap dan perbuatannya amat jauh dari nilai-nilai Islam. Ajaran-ajaran Islam sering disalahgunakan justru sebagai tameng dan pembenaran bagi tingkah laku menyimpang yang seringkali berakibat ketidakadilan bagi perempuan.
Melalui latar sosial dan pemikiran tokoh di dalamnya, novel ini juga telah berhasil mengungkap fakta dominasi, subordinasi, dan marginalisasi yang dialami perempuan dalam ranah keagamaan. Sehingga, asumsi masyarakat terhadap posisi dikotomis perempuan yang semata-mata didasarkan pada mitos, kepercayaan dan tafsir kitab suci, senantiasa dikritik dan diluruskan kembali.
Karena itu, PBS mengajak para pembacanya untuk melakukan perlawanan secara proporsional terhadap sistim budaya patriarkhi. Perlawanan proporsional dimaksud meliputi perlawanan perempuan atas laki-laki, serta perlawanan perempuan terhadap kejumudan dan kelengahan kaumnya sendiri.
Kalau saja Hanung Bramantyo dapat merepresentasikan kisah perempuan yang tak putus-putusnya dihantam badai tradisi dan budaya pesantren sebagaimana tersurat dalam novel PBS, bisa jadi film tersebut akan menjadi fenomenal. Bukan saja melengkapi premisnya dalam Ayat-Ayat Cinta, namun lebih mendasar lagi, menjadi pelajaran berharga dalam sejarah perfilman Indonesia.