Lompat ke isi

Ilmu keolahragaan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 22 Februari 2022 18.49 oleh Aapriano (bicara | kontrib)

Ilmu keolahragaan dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang sistematis dan terorganisir tentang fenomena olahraga yang dibangun melalui metode penelitian ilmiah. Sebagai disiplin ilmu tersendiri, penelitian ilmu keolahragaan dapat didasarkan pada studi ontologis, epistemologis dan aksiologis yang jelas dan bertanggung jawab. Studi ontologis dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang apa sebenarnya subjek studi yang dianggap unik dan belum dipelajari oleh disiplin lain sedangkan studi aksiologis dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang nilai-nilai apa yang sebenarnya diberikan oleh subjek studi tersebut untuk kepentingan manusia.[1][2][3][4]

Pada hakikatnya, ilmu keolahragaan berakar pada pengetahuan multidimensi tentang hidup dan kehidupan manusia. Sedikitnya terdapat tiga dimensi dalam hidup dan kehidupan manusia, yakni dimensi lahir (tumbuh, berkembang, dan mati), dimensi fisik mental dan emosional, dimensi biologis (pribadi, dan perilaku), dimensi individu dan sosial, dimensi ruang dan waktu, dimensi alam, humanistik, dan budaya. Ilmu keolahragaan mempelajari fenomena keolahragaan dan yang mempraktekkannya adalah manusia, sehingga ilmu keolahragaan memiliki dimensi studi yang sangat kompleks sesuai dengan kompleksitas keberadaan manusia itu sendiri. Ilmu Keolahragaan berkembang dari ilmu-ilmu terdahulu yang mengkaji tentang aktivitas manusia dengan berfokus pada manusia yang berolahraga, olahraga yang dilakukan dan faktor-faktor yang ada di dalamnya.

Sejarah

Kerangka historis ilmu keolahragaan dimulai dari dunia Timur maupun Barat, yakni pada zaman Mesir Kuno, di kota Sparta dan Athena sudah dikenal aktivitas jasmani yang sistematik dengan maksud dan tujuan untuk membentuk tubuh yang baik, kuat, tahan, lincah, dan pemberani, yang disebut Gymnastics. Gymnastics berarti athletics atau bentuk latihan yang dilakukan di gymnasium. Dikemudian hari beberapa negara antara lain Jerman, Swedia, Denmark, dan Amerika menggunakan istilah gymnastics dengan pengertian yang lebih spesifik yaitu suatu latihan formal, calisthenics, dan aktivitas yang menggunakan alat.

Pada abad 18 muncul istilah Physical Culture yang digunakan untuk menamai kajian tentang ilmu dan seni latihan tubuh, atau pemeliharaan dan pengembangan fisik yang sistematik. Buku berjudul Physical Culture telah ditulis oleh Charles Wesley Emerson yang edisi ke 9 nya diterbitkan di Boston pada tahun 1904. Pada abad 19 muncul istilah Physical Training yang digunakan di Amerika dalam latihan militer, untuk menamai program latihan dan aktivitas fisik yang dirancang untuk meningkatkan perkembangan dan kondisi fisik, serta keterampilan gerak. Selanjutnya masih pada abad 19 muncul istilah Physical Education yang digunakan di perguruan tinggi di Amerika Serikat. Istilah ini kemudian semakin populer dan digunakan sampai saat ini disamping istilah-istilah lain yang muncul. Dalam perkembangannya, muncul pemikiran bahwa istilah Physical Education sebagai nama suatu disiplin akademik tidak logis dan perlu dicari nama lain yang lebih tepat. Hal ini diungkapkan oleh Rosalind Cassidy dan Thomas D. Wood pada tahun 1927 dalam bukunya yang berjudul The New Physical Education, dan diungkapkan kembali pada tahun 1938 dalam bukunya yang berjudul New Directions in Physical Education.

Pada tahun 1935 S.C. Staley menulis buku berjudul The Curriculum in Sport, dan pada tahun 1939 menulis buku lagi berjudul Sport Education. Buku-buku tersebut menandai adanya istilah baru yaitu Sport. Pada tahun 1971 dalam Convensi Detroit dibuat pernyataan bahwa agar memperoleh status yang lebih baik di dalam kurikulum sekolah, nama Physical Education harus diganti. Pernyataan tersebut mendapat sambutan positif secara luas karena memang dirasakan bahwa nama Physical Education tidak sesuai lagi dengan keluasan spektrum bidang studi dan keragaman layanan profesional yang dapat dilakukan.

Pada tahun 1973 American Academy of Physical Education melakukan kajian mendalam untuk mencari nama baru, dan memunculkan beberapa alternatif nama yaitu: 1) Kinesiology; 2) Kinetics; 3) Physical Education and Sport; 4) Physical Education and Dance; dan 5) Movement Art and Sciences. Dari 5 alternatif tersebut, nama Movement Art and Sciences dinilai paling tepat untuk dipilih. Pemikiran lain yang menonjol adalah oleh Prof. Dr. Herbert Haag, M.S. dari Jerman yang mengembangkan konsep Sport Sciences, dan oleh Prof. Dr. K. Rijsdorp dari Belanda yang mengembangkan konsep Gymnologie, serta oleh Claude Bouchard, PhD. dari Kanada yang mengembangkan konsep Physical Activity Sciences. Kajian atas konsepkonsep keilmuan yang dihasilkan para ahli tersebut menunjukkan adanya keberagaman struktur dan sistematika yang dibuatnya. Namun karena pada hakekatnya obyek kajiannya adalah sama, maka kesemuanya dapat ditarik benang merah dengan alur yang sejalan, tidak saling bertentangan, dan justru dapat saling melengkapi.

Di Indonesia, ilmu keolahragaan diperkiraan telah dimulai dari munculnya lembaga-lembaga yang menaungi dan mengajarkan bidang olahrag atau pendidikan jasmanai di Indonesia. Pada tahun 1941 di Surabaya didirikan Academisch Institut voor Lichamelijke Opvoeding (AILO) atau dalam bahasa Indonesia disingkat LAPD (Lembaga Akademi Pendidikan Jasmani) yang muncul akibat sulitnya mendatangkan guru-guru pendidikan jasmani dari Belanda ke Indonesia. Lembaga ini berubah nama menjadi Akademi Pendidikan Jasmani (APD) pada tahun 1953 di Universitas Indonesia dan juga kemudian didirikan pula di Universitas Gadjah Mada. Dalam perkembangannya, akademi ini berubah lagi menjadi Fakultas Pendidikan Jasmani. Tahun 1963 berbagai ragam pendidikan untuk guru pendidikan jasmani ini semuanya diseragamkan dan terbentuklah Sekolah Tinggi Olahraga (STO) yang kemudian dilebur ke IKIP (pengembangan dari FKIP) dan menjadi Fakultas Keguruan Ilmu Keolahragaan (FKIK). FKIK kemudian berubah lagi menjadi Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan.

Kerangka ilmu keolahragaan di Indonesia, mulai dikenal melalui kontak dengan para ahli dari Jerman Barat pada tahun 1975, ketika diselenggarakan lokakarya internasional tentang Sport Science. Rusli Lutan, dalam jurnalnya yang berjudul pedagogik olahraga menyataan, hasil lokakarya berdampak kuat pada pengembangan kurikulum Sekolah Tinggi Olahraga. Beberapa subdisiplin ilmu keolahragaan (misalnya, biomekanika olahraga, filsafat olahraga, fisiologi olahraga) dalam nuansa sendiri-sendiri (multidiscipline) mulai dikembangkan yang didukung oleh ilmu-ilmu pengantar lainnya dalam pendidikan (misalnya, psikologi pertumbuhan dan perkembangan) dan ilmu sosial lainnya (misalnya, sosiologi dan anthroplogi) yang dipandang perlu dikuasai oleh para calon guru, pelatih, dan pembina olahraga di bidang rekreasi.

Sementara itu, kajian mengenai fenomena keolahragaan di Indonesia cenderung mengikuti perkembangan yang terjadi secara internasional. Hasil kajian yang ditulis para ahli dari negara-negara maju diadopsi dan digunakan sebagai referensi pengembangan kajian. Dalam hal terminologi untuk menamai bidang studi keolahragaan yang digunakan di Indonesia juga mengalami perkembangan. Mula-mula digunakan nama Gerak Badan, kemudian berturut-turut berubah menjadi Pendidikan Jasmani, Pendidikan Olahraga, Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Sedangkan istilah yang digunakan untuk menamai disiplin akademik atau disiplin ilmunya adalah Ilmu Keolahragaan. Untuk sampai pada tahap diakuinya Ilmu Keolahragaan sebagai disiplin ilmu telah melalui perjuangan dan jalan panjang, yang berujung pada diselenggarakannya Seminar dan Lokakarya Nasional Ilmu Keolahragaan di Surabaya pada tahun 1998. Dalam forum yang dihadiri oleh para ilmuwan keolahragaan dan juga para ilmuwan disiplin ilmu lain yang relevan, telah dicanangkan deklarasi yang mengukuhkan eksistensi Ilmu Keolahragaan. Berdasarkan hasil Seminar dan Lokakarya tersebut yang ditindaklanjuti dengan pembentukan dan berfungsinya Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, maka dapat dihasilkan dokumen dalam bentuk buku yang berjudul Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya. Dokumen ini dapat digunakan sebagai acuan pengembangan selanjutnya.

Hakikat

Ilmu keolahraga pada dasarnya mempunyai akar pada pengetahuan yang melingkupi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat multi dimensi. Hidup dan kehidupan manusia selalu berada dalam dimensi kelahiran, pertumbuhan-perkembangan, dan kematian; dimensi fisikal, mental, dan emosional; dimensi biologis, personal, dan behavioral ; dimensi individual dan sosial; dimensi ruang dan waktu; dimensi natural, humanitis, dan kultural. Ilmu keolahragaan mengkaji fenomena keolahragaan, dan yang berolahraga adalah manusia, karena itu ilmu keolahragaan memiliki dimensi kajian yang sangat kompleks sejalan dengan kompleksnya keberadaan manusia. Ilmu Keolahragaan berkembang dari ilmu-ilmu pendahulu yang mengkaji tentang manusia dalam berbagai dimensinya, melalui pemfokusan kajian pada manusia yang melakukan aktivitas olahraga, olahraga yang dilakukan, dan segala seluk-beluk yang menyertainya.

Secara sederhana olahraga dapat dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dimanapun, tanpa memandang dan membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan lain sebagainya. Toho Cholik Mutohir (2007: 23) menjelaskan bahwa, hakekat olahraga adalah sebagai refleksi kehidupan masyarakat suatu bangsa. Di dalam olahraga tergambar aspirasi serta nilai-nilai luhur suatu masyarakat, yang terpantul melalui hasrat mewujudkan diri melalui prestasi olahraga. Kita sering mendengar kata-kata bahwa kemajuan suatu bangsa salah satunya dapat tercermin dari prestasi olahraganya. Harapannya adalah olahraga di Indonesia dijadikan alat pendorong gerakan kemasyarakatan bagi lahirnya insan manusia unggul, baik secara fisikal, mental, intelektual, sosial, serta mampu membentuk manusia seutuhnya. Menurut Giriwijoyo (2005: 30) mengatakan bahwa olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana yang dilakukan orang dengan sadar untuk meningkatkan kemampuan fungsionalnya. Kusmaedi (2002: 1) menyatakan bahwa kata olahraga berasal dari: 1) Disport, yaitu bergerak dari satu tempat ke tempat lain. 2) Field Sport, kegiatan yang dilakukan oleh para bangsawan yang terdiri dari kegiatan menembak dan berburu 3) Desporter, membuang lelah 4) Sport, pemuasan atau hobi 5) Olahraga, latihan gerak badan untuk menguatkan badan, seperti berenang, main bola, agar tumbuh menjadi sehat.

Jane Ruseski (2014: 396 ) mengatakan dengan berolahraga atau melakukan aktifitas fisik yang teratur dapat mengurangi resiko penyakit kronis, mengurangi stress dan depresi, meningkat kesejahteraan emosional, tingkat energi, kepercayaan 15 diri dan kepuasan dengan aktivitas sosial. Douglas Hartmann, Christina Kwauk. (2011: 285) mengatakan pada dasarnya olahraga adalah tentang partisipasi. Olahraga menyatukan individu dan komunitas, menyoroti kesamaan dan menjembatani perbedaan budaya atau etnis. Olahraga menyediakan forum untuk belajar keterampilan seperti disiplin, kepercayaan diri, dan kepemimpinan dan mengajarkan prinsip-prinsip inti seperti toleransi, kerja sama, dan rasa hormat. Olahraga mengajarkan nilai usaha dan bagaimana mengatur kemenangan dan juga kekalahan. Saat ini aspek positif dari olahraga ditekankan, olahraga menjadi kendaraan yang kuat yang melaluinya. Berdasarkan penjelasan menurut para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa olahraga merupakan suatu kegiatan yang bersifat fisik mengandung unsur-unsur permainan serta berisi perjuangan dengan diri sendiri dengan orang lain yang terkait dengan interaksi lingkungan atau unsur alam yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kemampuan dan kesenangan. Kegiatan olahraga tergantung dari sikap sesorang dari mana dia memaknainya, karena beragam definisi olahraga disebabkan oleh karakteristik olahraga itu sendiri yang semakin berkembang, semakin lama semakin berubah dan semakin kompleks baik dari jenis kegiatannya, dan juga penekanan motif yang ingin dicapai ataupun konteks lingkungan sosial budaya tempat pelaksanaannya.


Dari perspektif sosiologis, olahraga dipandang sebagai bagian dari budaya, dan karena itu masyarakatlah yang membentuknya sebagai bagian dari hidupnya. Itulah sebabnya. dari waktu ke waktu definisi olahraga berubah sesuai dengan persepsi kelompok masyarakat. Misalnya, definisi olahraga yang disepakati pada era tahun 1960an lebih diwarnai oleh nuansa upaya perjuangan melawan unsur alam atau diri sendiri”. Seiring dengan gerakan olahraga yang bersifat inklusif, “Sport for All” sejak tahun 1972 di Eropa, Europe Council sepakat untuk mengartikan olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas dan dilaksanakan pada waktu luang.” Dengan kata lain, olahraga mencakup pengertian yang luas bukan hanya olahraga kompetitif yang berisi kegiatan perlombaan atau pertandingan untuk memperagakan prestasi yang optimal, tetapi juga kegiatan jasmani pada waktu senggang sebagai pelepas telah, misalnya untuk tujuan pembinaan kebugaran jasmani.

Definisi semacam ini terangkum dalam paparan Herbert Haag (1986) yang menyatakan bahwa olahraga tidak diartikan dalam lingkup sempit, olahraga kompetifif, tetapi maknanya adalah mencakup kegiatan jasmani, baik formal maupun informal sifatnya, dari bahkan juga dalam bentuk kegiatan fundamental seperti pembinaan kebugaran jasmani. Menghadapi kenyataan bahwa olahraga itu sangat kompleks, pakar Olahraga di Indonesia telah mencoba untuk menggolongkannya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai ’sehingga dikenal olahraga pendidikan (pendidikan jasmani) yang menekankan aspek kependidikan, olahraga rekreasi untuk tujuan yang bersifat rekreatif, olahraga kompetitif untuk tujuan mencapai prestasi. Jenis dan bentuk olahraga berkembang sesuai dengan motif kelompok masyarakat pelakunya. Meskipun amat beragam bentuk dan jenisnya, tetapi masih dapat diidentifikasi persamaan umum yang menunjukkan ciri khas, atau “inner horizon” olahraga.

Sisi bagian dalam olahraga, memimjam istilah Husserl (1972), merupakan medan penelaahan dari objek formal pengembangan ilmu keolahragaan. Namun kemudian, intinya yang paling hakiki ialah fenomena gerak yang ditampilkan dalam suasana bermain (play), sehingga kriteria penilaian tertuju pada adanya faktor kebebasan dan kesengajaan secara sadar untuk melaksanakannya. Dengan kata lain fenomena gerak itu didasarkan pada kesadaran manusia untuk menggerakkan dirinya. Dalam kaitan itu maka esensi lainnya dari olahraga ialah tindakan yang mengandung unsur kesukariaan(joy) dan kebabagiaan. Keseluruhan ciri yang disebutkan tadi menempatkan hakikat olahraga sebagai subsistem bermain. Persoalannya tidak berbenti sampai di situ. Dunia olahraga tentu berbeda banyak dengan dunia bermain atau berbeda pula dengan kegiatan permainan yang mengandung unsur kebetulan(misalnya, permainan domino) atau permainan yang lebih banyak mengandalkan kemampuan intelektual (misalnya, catur).

Gambaran yang lebih spesifik pada olahraga menekankan aspek gerak insani (human movement) sebagai unsur utama sebagai kegiatan yang nyata dan berkecenderungan untuk menampilkan performa. Orientasi fisikal, seperti yang tampak pada kegiatan olahraga merupakkan ciri yang utama, sehingga di dalamnya terlibat unsur gerak yang melibatkan daya tahan, kecepatan, kekuatan, power, dan keterampilan (skill) itu sendiri. Kegiatan olahraga. selalu menampakkan diri dalam ujud nyata kehadiran fisik, peragaan diri secara sadar  bertujuan disertai dengan penggunaan alatalat konkret seperti bola, raket dan bentuk lainnya.Perwujudan gerak itu terkait dengan aspek dorongan pada manusia yang terkait dengan faktor sosial dan budaya, pengaruh suasana kejiwaan, emosi dan motif.

Pelaksanaan olahraga selalu melibatkan keterampilan yang dipelajari yang dapat dilakukan hanya melalui proses ajar, yang dalam pelaksanaannya melibatkan suasana van yang menjalin hubungan sosial. Karena itu di dalam proses itu ada unsur pendidik dan peserta didik bahkan juga ada unsur persaingan untuk menunjukkan ketangkasan atau kelebihan pribadi. Perilaku olahraga itu juga sering digambarkan sebagai sesuatu yang riil, bukan bersifat artifisial yang dirancang dalam lakon-lakon bertema (misalnya, dalam gulat professional “Smackdown” yang sering disebut olahraga sirkus), Kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang olahragawan atau atlet tidak samata-mata terpaku pada pokok  peranan yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan tugas gerak berupa teknik-teknik dasar. Yang terjadi ialah seseorang, bersama yang lain, memainkan sebuah permainan yang benar-benar nyata, tidak berpura-pura dalam semangat kesungguhan yang menyerap seluruh perhatian. Karena itu di dalamnya ada kesungguhan, bukan kepurapuraan, dan bahkan ada unsur kejutan, sehingga praktik “main sabun” dalam sepakbola misalnya, yang skornya sudah ditentukan sungguh dianggap sebagai tindakan sadar menghancurkan ciri permainan yang amat bertentangan dengan ciri olahraga.

Pada kebanyakan kegiatan olahraga maka prinsip performa dan prestasi begitu menonjol. Di dalamnya ada ketegangan karena melibatkan pengerahan tenaga yang melibatkan nuansa kejutan dan bahkan keberuntungan, sehingga hasil yang dicapai sukar diprediksi. Dalam kaitan ini maka prestasi yang meskipun diperagakan melalui faktor jasmaniah, tetapi pada dasarnya melibatkan diri manusia secara utuh. Kegiatan olahraga dilaksanakan secara suka rela,dan tertuju pada pengembangan diri.

Ruang lingkup

Mengacu pada Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 3 tahun 2005 Bab II pasal 4 menetapakan bahwa keolahragaan nasional bertujuan memelihara dan meningkatkan kesehatan, kebugaran, prestasi, kualaitas manusia, 16 menanmkan nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan kesatuan bangsa, memperkokoh ketahanan nasional, serta mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa. Selanjutnya pada Bab VI pasal 17 menetapkan ruang lingkup olahraga itu sendiri mencakup tiga pilar, yaitu: olahraga pendidikan, olahraga prestasi, dan olahraga rekreasi.

Ketiga pilar olahraga tersebut dilaksanakan melalui pembinaan dan pengembangan olahraga secara terencana, sistematik, berjenjang, dan berkelanjutan, yang dimulai dari pembudayaan dengan pengenalan gerak pada usia dini, pemassalan dengan menjadikan olahraga sebagai gaya hidup, pembibitan dengan penelusuran bakat dan pemberdayaan sentra-sentra olahraga, serta peningkatan prestasi dengan pembinnaan olahraga unggulan nasional sehingga olahragawan andalan dapat meraih puncak pencapaian prestasi. Adapun ruang lingkup dari ketiga pilar olahraga dapat dijabarkan sebagi berikut: 1) Olahraga Pendidikan Olahraga pendidikan adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang dilaksanakan sebagai proses pendidikan yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani. Olahraga pendidikan sebagai bagian dari proses pendidikan secara umum yang dilaksanakan oleh satuan pendidikan baik satuan pendidikan formal maupun non formal, biasanya dilakukan oleh satuan pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, guru pendidikan jasmani dengan dibantu oleh tenaga olahraga membimbing terselenggaranya kegiatan keolahragaan.

Menurut Barrie Houlihan (2016: 171) dalam meningkatkan 17 prestasi olahraga, salah satunya adalah melalui jenjang sekolah dan juga sistem pendidikan yang baik. Kebijakan olahraga di dalam dunia pendidikan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan prestasi olahraga. Sehingga sangatlah penting dalam mempertimbangkan bagaimana perumusan dan kebijakan olahraga dalam dunia pendidikan, karena sekolah merupakan elemen yang penting dalam pembangunan olahraga di masa depan. Di Indonesia lebih dikenal dengan nama Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (Penjasorkes), hal tersebut sesuai dengan yang diamanatkan dalam Standar Nasional Pendidikan (PP RI No. 19 Tahun 2005 pasal 7 ayat 8). Selanjutnya dijelaskan bahwa Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan didalamnya terkandung 3 (tiga) komponen isi yang seharusnya ada, yaitu: Pendidikan Jasmani; Pendidikan Olahraga; dan Pendidikan Kesehatan.

Olahraga Prestasi Olahraga prestasi adalah olahraga yang membina dan mengembangkan olahragawan secara khusus dengan cara, terprogram, berjenjang dan berkelanjutan melalui kompetisi yang dilakukan selanjutnya para olahragawan yang memiliki potensi untuk dapat ditingkatakan prestasinya akan dimasukan kedalam asrama maupun tempat pelatihan khusus agar dapat dibina lebih lanjut guna mendapatkan prestasi yang lebih tinggi dan dengan didukung bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan yang lebih modern. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan adalah peningkatan kualitas maupun kuantitas pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaedah dan teori ilmu pengetahuan yang telah 22 terbukti kebenarannya untuk peningkatan fungsi, manfaat dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada atau menghasilkan teknologi baru bagi kegiatan keolahragaan.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kristiyanto (2012: 12) yang menyatakan bahwa, “Dalam lingkup olahraga prestasi, tujuannya adalah untuk menciptakan prestasi yang setinggi-tingginya. Artinya bahwa berbagai pihak seharusnya berupaya untuk mensinergikan hal-hal dominan yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi di bidang olahraga. Untuk mendapatkan atlet olahraga yang berprestasi, disamping proses latihan yang terprogram dan terencana dengan menerapkan prinsip-prinsip latihan, juga harus memperhatikan asupan gizi para atlet, selain itu harus pula di barengi dengan pengadaan kompetisi-kompetisi secara rutin agar atlet dapat menerapkan teknik dan taktik yang diperoleh selama pelatihan di arena sesungguhnya dan itu dapat mengasah mental para atlet itu sendiri dalam menghadapi kompetisi yang sesungguhnya. Semakin banyak jam terbang atlet dalam suatu kompetisi maka akan semakin berpengalaman pula atlet itu dalam megnhadapi situasi yang berubah-ubah dalam pertandingan. Pembinaan olahraga prestasi bertujuan untuk mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai yang prestasi yang tinggi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan.

Keterbatasan dari pemerintah menuntut cabang-cabang olahraga lain yang belum menjadi prioritas pendanaan pemerintah, perlu menggalang dana kolektif dari masyarakat dan swasta. Para pemerhati 23 olahraga di Indonesia perlu menyatukan suara guna membangun kejayaan olahraga. Salah satunya dengan menetapkan sebuah badan yang benar-benar independen dan hanya berfokus pada pembangunan olahraga di Indonesia serta bebas dari segala kepentingan politik di dalamnya. Pembinaan olahraga prestasi berbentuk segitiga atau sering disebut pola piramida adan berporos pada proses pembinaan yang berkelanjutan. Dikatakan berkelanjutan karena pola itu harus didasari cara pandang yang utuh dalam memaknai program pemassalan dan pembibitan dengan program pembinaan prestasinya.

Program tersebut memandang arti penting pemassalan dan pembibitan yang bisa jadi berlangsung dalam program pendidikan jasmani yang baik, diperkuat dengan program pengembangannya dalam kegiatan klub olahraga sekolah, dimatangkan dalam berbagai aktivitas kompetisi intramural dan idealnya tergodok dalam program kompetisi intersklastik, serta dimantapkan melalui pemuncakan prestasi dalam bentuk training camp bagi para bibit atlet yang terbukti berbakat. Membangun strategi pembinaan olahraga secara nasional memerlukan waktu dan penataan sistem secara terpadu. Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Pemuda dan Olahraga tidak dapat bekerja sendiri tanpa sinergi dalam kelembagaan lain yang terkait dengan pembinaan sistem keolahragaan secara nasional. Penataan olahraga prestasi harus dimulai dari pemassalan olahraga dimasyarakat yang diharapkan memunculkan bibit-bibit atlet berpotensi dan ini akan didapat pada atlet yang dimulai dari usia sekolah.

Pembinaan olahraga prestasi harus berjangka waktu kehidupan atlet, dimulai 24 pada saat merekrut seorang anak untuk dikembangkan menjadi seorang atlet. Dalam merekrut calon atlet, postur dan struktur tubuhnya harus dilihat apakah tubuh (termasuk kemampuan jantung dan paru-paru) calon atlet itu bisa dibentuk dengan latihan-latihan untuk menjadi kuat, cepat dan punya endurance atau daya tahan. Untuk dapat menggerakan pembinaan olahraga harus diselenggarakan dengan berbagai cara yang dapat mengikutsertakan atau memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga secara aktif, berkesinambungan, dan penuh kesadaran akan tujuan olahraga yang sebenarnya.

Pembinaan olahraga seperti ini hanya dapat terselenggara apabila ada suatu sistem pengelolaan keolahragaan nasional yang terencana, terpadu, dan berkesinambungan dalam semangat kebersamaan dari seluruh lapisan masyarakat. Pembinaan atlet usia pelajar sering kali tidak terjadi kesinambungan dengan pembinaan cabang olahraga prioritas. Hal ini bisa dilihat dari berbagai cabang olahraga yang merupakan andalan untuk meraih medali emas tidak dibina secara berjenjang. Untuk itu perlu dilakukan penyusunan program pembibitan atlet usia dini dengan cabang olahraga yang menjadi prioritas. Sebagai langkah berikutnya perlu melakukan kerja sama antara Menteri Pemuda dan Olahraga dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia Pusat serta induk organisasi cabang olahraga untuk membicarakan cabang-cabang olahraga yang menjadi prioritas utama baik didaerah, nasional maupun internasional. 25

3) Olahraga Rekreasi Olahraga rekreasi adalah olahraga yang dilakukan oleh masyarakat dengan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk kesehatan, kebugaran dan kegembiraan. Hal ini sejalan dengan pasal 19 Bab VI UU Nomor 3 Tahun 2005 dinyatakan bahwa “olahraga rekreasi bertujuan untuk memperoleh kesehatan, kebugaran jasmani dan kegembiraan, membangun hubungan sosial dan atau melestarikan dan meningkatkan kekayaan budaya daerah dan nasional”. Selanjutnya dinyatakan bahwa pemerintah daerah dan masyarakat berkewajiban menggali, mengembangkan dan memajukan olahraga rekreasi. Menurut Kristiyanto (2012: 6) berpendapat bahwa “olahraga rekreasi terkait erat dengan aktivitas waktu luang dimana orang bebas dari pekerjaan rutin. Waktu luang merupakan waktu yang ridak diwajibkan dan terbebas dari berbagai keperluan psikis dan sosial yang telah menjadi komitmennya”. Kegiatan yang umum dilakukan untuk rekreasi adalah pariwisata, olahraga, permainan, dan hobi dan kegiatan rekreasi umumnya dilakukan pada akhir pekan. Kegiatan rekreasi merupakan salah satu kegiatan yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Kegiatan tersebut ada yang diawali dengan mengadakan perjalanan ke suatu tempat dan sebagainya. Secara psikologi banyak orang yang di lapangan merasa jenuh dengan adanya beberapa kesibukan dari masalah, sehingga mereka membutuhkan istirahat dari bekerja, tidur dengan 26 nyaman, bersantai sehabis latihan, keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan, mempunyai teman bekerja yang baik, kebutuhan untuk hidup bebas, dan merasa aman dari resiko buruk. Melihat beberapa pernyataan di atas, maka rekreasi dapat disimpulkan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan sebagai pengisi waktu luang untuk satu atau beberapa tujuan, diantaranya untuk kesenangan, kepuasan, penyegaran sikap dan mental yang dapat memulihkan kekuatan baik fisik maupun mental. Beragam jenis olahraga rekreasi yang merupakan kekayaan asli dan jati diri bangsa Indonesia perlu dilestarikan, dipelihara dan diperkenalkan kepada generasi muda penerus, serta didokumentasikan dengan serius dan cermat, sehingga aset budaya dan jati diri bangsa Indonesia tidak hilang atau diakui oleh bangsa lain. Disamping itu, gerakan sport for all, yang menjadikan olahraga sebagai bagian dari upaya mendukung pembangunan kualitas sumber daya manusia, pendidikan, kesehatan dan kebugaran masayarakat serta aspek lain yang dibutuhkan oleh pembentukan karakter dan jati diri suatu bangsa, menjadikannya sebagai kekuatan yang ampuh dalam upaya memepersatukan bangsa Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Struktur

Prof. Haag dari Universitas Kiel, Jerman Barat, sejak tahun 1979 membagi ilmu keolahragaan menjadi tiga kelompok utama, yang meliputi tujuh bidang teori (Lutan, Rusli, 1991:24). Ketujuh bidang teori yang dimaksud meliputi:

1)     Ilmu kedokteran keolahragaan

2)     Biomekanika keolahragaan

3)     Psikologi keolahragaan

4)     Sosiologi keolahragaan

5)     Pedagogi keolahragaan

6)     Sejarah keolahragaan

7)     Filsafat keolahragaan

Penjelasan masing-masing bidang teori tersebut, sebagai berikut:

1.     Sport medicine, merupakan bidang teori dalam olahraga yang mengkaji tentang cara mendiaknosis suatu cedera, cara pencegahan cedera, cara penanganan cedera, dan rehabilitasi cedera yang dialami saat berolahraga. Penerapan ilmu kedokteran ke dalam bidang olahraga berkembang pesat, teruatama dalam kegiatan olahraga kompetitif. Penelaahan kemampuan biologic, pencarian paramerter kemampuan biloigs, penggunaan data medik untuk meramalkan presetasi atau kemampuan mengatasi beban latihan misalanya, merupakan kajian dari sport medicine. Yang banyak berkecimpung di wilayah ini yakni para dokter, seperti kecenderungan yang terjadi di Indonesia. Persoalan tentang gizi, proses rehabilitasi cidera, juga termasuk dalam sport medicine.

2.     Sport biomechanic, merupakan bidang teori yang mengkaji tentang gerak tubuh saat melakukan olahraga menggunakan hukum mekanika dan fisika, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih besar tentang pelaksanaan gerak pada olahraga, sehingga dapat memperagakan, menggambarkan, dan mengukur gerakan yang lebih baik. Bidang teori sport biomechanic, juga memberikan pemahaman tentang aplikasi prinsip-prinsip fisika dalam olahraga, seperti gerakan, perlawanan, momentum, dan pergesekan. Konsentrasi wilayah masalah ditekankan pada wilayah kajian aspek mekanika dari performan seseorang dalam olahraga. Analisa tentang bentuk dan arus gerak, berikut hukum-hukum mekanika yang tersangkut di dalamnya dalam rangka mencapai efisiensi gerak yang optimal merupakan wulayah kajian bio-mekanika olahraga. Dewasa ini, subdispilin biomekanika olahraga berkembang pesat dengan dukungan teknologi komputer. Degan menggunakan hasil rekaman performan tiga dimensi yang kemudian dihubungkan dengan program khusus komputer, para ahli dapat menganalisa struktur gerak secara teliti sehingga dapat mengetahui posisi anggota tubuh yang ideal atau kesalahan yang terjadi.

3.     Sport psychology, merupakan bidang teori olahraga yang mengkaji tentang psikologi atlet atau pelaku olahraga. Menurut divisi 47 American Psychological Association, sports psychology meliputi barisan topik mencangkup motivasi untuk  tetap berusaha dan mencapai sukses, psikologis pertimbangan atau perhatian dalam cedera olahraga dan rehabilitasi, menasehati teknik atlet, menafsirkan bakat, latihan ketaatan and menjadi baik, memahami diri berhubungan dalam menuju keberhasilan, latihan olahraga, pemula dan peningkatan prestasi serta teknik pengaturan diri (Kendra Cherry, About.com Guide). Konsentrasi masalah ditekankan pada gejala psikologis terutama pada tingkat individual. Beberapa konsep seperti motivasi (termasuk motif berprestasi), kecemasa, arousal dalam kaitannya dengan fermorman seseorang termasuk dalam psikologi olahraga. Akhir-akhir ini juga berkembang pengetahuan tentang psikologi kepelatihan, yakni subdisiplin ilmu yang mengkhususkan perhatiannya apda aspek psikologis dalam kegiatan melatih olahraga kompetitif.

4.     Sport sociology, bidang ini mengkaji tentang sosiologi dalam olahraga yang mencangkup kelakuan atau kebiasaan manusia, interaksi sosial yang tibul dalam aktifitas fisik, keterlibatan media dalam perkembangan olahraga. Biasanya tiap jenis olahraga dan juga even olahraga yang diadakan akan memberikan pengaruh sosial yang berbeda-beda pada masyarakat dan juga pelakuolahraga itu sendiri. Konsentrasi masalah terutama tentang gejala sosial budaya dalam olahraga. Sebagai contoh, apakah ada kaitan antara minat terhadap olahrga dengan status sosial ekonomi anak remaja tergolong kajian sosiologis. Proses pembentukan kelompok penggemar sepakbola, gejala perilaku agresif, identifikasi tokoh, penularan minat, perkembangan olahraga kemasyarakatan, masalah-masalah dalam tinju profesional misalnya, merupakan isu dalam sosiologi olahraga. Topik tertentu agak tumpang tindih dengan psikologi sosial, seperti misalnya kajian tentang sikap mahasiswa terhadap olahraga, atau peranan olahraga di kampus.

5.     Sport pedagogy, bidang ini mengkaji tentang ilmu mendidik dalam olahraga. Mempersiapkan pemahaman dan pengertian yang tepat dalam aktifitas fisik sesuai dengan perkembangaan peserta didik dan menggunakan strategi untuk menemukan potensi yang ada pada peseta didik. Konsentrasi masalah yang dapat digali dari wilayah ini ialah isu olahraga yang bersifat kependidikan, termasuk proses belajar-mengajar keterampilan motorik. Pengembangan teori belajar-mengajar dengan berbagai aspek didalamnya (misalnya, transfer latihan, mental practice, gejala lupa, dan lain-lain) termasuk ke dalam pedagogi olahraga, meskipun kini subwilayah itu telah berkembang pesat sebagai subdisiplin ilmu yang semakin mandiri. Bagaimana meningkatkan efektifitas pengajaran, mempersiapkan tenaga guru olahraga, penyelengaraan program in-service misalnya, tergolong wilayah pedagogi.

6.     Sport history, bidang ini mengkaji tentang sejarah perkembangan olahraga, sejarah terbentuknya cabang- cabang olahraga yang ada saat ini, dan sejarah permulaan adanya even pertandingan dan perlombaan di seluruh dunia. Subwilayah ini banyak membahas isu sejarah. Kaitannya memang erat dan yang menajdi topik utama antara lain asal mulanya, siapa tokohnya, teori yang dikembangkan dan pengaruhnya dalam ilmu keolahragaan.

7.     Sport philosophy, bidang yang ketujuh ini merupakan salah satu bidang yang mempelajari tentang filsafat olahraga. Memberikan pemahaman terhadap hakekat dan kebenaran dalam olahraga, sehingga para pelaku olahraga dapat memanfaatkan, mempelajari, mengajarkan dan mengembangkan olahraga dengan baik dan benar. Falsafah olahraga membahas secara kritis isu olahraga. Analisis kritis tentang hakikat olahraga dalam konteks pendidikan atau pembangunan, apa tujuan yang ingin dicapai, apa makna olahraga itu sedniri, bagaimana kaitan jiwa dan badan misalnya merupakan kajian folosofis.

Metode penelitian

Ilmu Keolahragaan dapat diartikan sebagai pengetahuan yang sistematis dan terorganisasi tentang fenomena keolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah. Sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri pada hakekatnya Ilmu Keolahragaan dapat didukung dengan kajian ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Kajian ontologis dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang apa sebenarnya yang menjadi obyek studi ilmu keolahragaan yang dianggap unik dan tidak dikaji oleh disiplin ilmu lain. Kajian epistemologis dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara dan sistem kajian yang dipergunakan untuk mengembangkan ilmu keolahragaan. Sedangkan kajian aksiologis dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang apa sebenarnya nilai-nilai yang diberikan oleh ilmu keolahragaan bagi kemaslahatan hidup umat manusia. Kajian ontologis dapat menunjukkan bahwa studi ilmu keolahragaan memiliki obyek material yaitu gerak manusia (human movement) dan obyek material yaitu gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan. Dengan obyek studi tersebut kajian ilmu keolahragaan Dimensi Kajian Ilmu Keolahraga Sport Science, Vol. 01 No. 01 5 menjadi sangat kompleks karena di dalam obyek studi itu terkandung dimensi biologis, psikologis, budaya, dan antropologis. Sementara itu, gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan telah menjelma dalam spektrum aktivitas jasmani yang luas, yang meliputi: play, games, physical education and health, sport, dance, recreation and leisure. Kajian ilmu keolahragaan menjadi semakin kompleks ketika berbagai aktivitas jasmani tersebut berkorelasi dan berinteraksi dengan aspek-aspek sosial, budaya, ekonomi, ideologi, politik, hukum, keamanan, dan ketahanan bangsa. Kajian epistemologis dapat menunjukkan bahwa ilmu keolahragaan dapat dikembangkan melalui beberapa pendekatan kajian dan metode penelitian. Ada 4 pendekatan kajian yang dapat digunakan yaitu pendekatan: 1) multi-disiplin; 2) inter-disiplin; 3) lintas-disiplin; dan 4) trans-disiplin. Pendekatan multi-disiplin merupakan pendekatan dimana berbagai disiplin ilmu dengan perspektifnya masing-masing tanpa kesatuan konsep mengkaji fenomena keolahragaan. Pendekatan interdisiplin merupakan pendekatan dimana dua atau lebih disiplin ilmu berinteraksi dalam bentuk komunikasi ide atau konsep yang kemudian dipadukan untuk mengkaji fenomena keolahragaan. Pendekatan lintasdisiplin merupakan pendekatan dimana aspek-aspek yang ada dalam fenomena keolahragaan menjadi pusat orientasi penyusunan konsep secara terpadu dengan menggunakan teori-teori beberapa disiplin ilmu yang relevan. Dengan pendekatan lintas disiplin, batas-batas disiplin ilmu sumbernya menjadi tersamar atau tidak tampak.. Pendekatan transdisiplin merupakan pendekatan yang relatif baru dalam pengembangan ilmu, yaitu pendekatan dimana suatu disiplin ilmu dikembangkan dengan menggunakan metode, teknik, atau cara-cara yang telah lazim digunakan oleh disiplin ilmu lain. Dari aspek metodologis dalam penelitian keolahragaan dapat digunakan 3 pendekatan yaitu pendekatan: 1) positivistik-empirik; 2) fenomenologis; dan 3) hermeneutik. Pendekatan positivistik-empirik menekankan pada data empirik hasil observasi dengan menggunakan instrumen tertentu, dan dalam posisi terpisah antara peneliti dengan obyek yang diteliti. Pendekatan fenomenologis menekankan pada pengungkapan fenomena empirik melalui pengamatan langsung yang kemudian ditafsirkan dan diberi makna. Pendekatan hermeneutik menekankan pada pemaparan pengetahuan berdasarkan pemahaman dan penafsiran atas obyek kajian dengan menggunakan teori yang sudah ada. Dimensi Kajian Ilmu Keolahraga Sport Science, Vol. 01 No. 01 6 Kajian aksiologis dapat menunjukkan bahwa ilmu keolahragaan dan aplikasinya dalam bentuk aktivitas keolahragaan ternyata memiliki nilainilai positif berkenaan dengan realitas kehidupan individu maupun masyarakat luas secara universal. Disamping nilai-nilai pembentukan dan pendidikan sebagai nilai-nilai utama, nilai survival bagi kehidupan umat manusia merupakan nilai yang lebih esensial. Nilai-nilai lain sebagai nilai ikutannya adalah berpotensi untuk memberikan sumbangan dalam membentuk kehidupan masyarakat dan umat manusia dalam kebersamaan tanpa mamandang perbedaan suku, ras, bangsa, agama, dan budaya. Dalam skala yang lebih bersifat sektoral, memiliki nilai-nilai dapat menyumbang terbentuknya dinamika kehidupan sosial, budaya, ekonomi, ideologi, politik, hukum, keamanan, dan ketahanan bangsa.

Referensi

  1. ^ https://eprints.uns.ac.id/1977/1/158-288-1-SM.pdf
  2. ^ "Sejarah Ilmu Olahraga | PDF". Scribd. Diakses tanggal 2022-02-22. 
  3. ^ "Ilmu Olahraga PDF | PDF". Scribd. Diakses tanggal 2022-02-22. 
  4. ^ "Tugas Kajian Ilmu Keolahragaan | PDF". Scribd. Diakses tanggal 2022-02-22.