Lompat ke isi

Empati

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Seorang anak kecil memeluk anak yang lebih tua yang terluka
Memeluk seseorang yang terluka adalah tanda empati.

Empati (dari Bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti "ketertarikan fisik") didefinisikan sebagai respons afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang lain.[1] Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.[1] Definisi lain dari empati yaitu kemampuan individu untuk mengidentifikasi dan memahami bagaimana perasaan dan kondisi orang lain.[2] Kata empati dalam bahasa inggris (Empathy) ditemukan pada tahun 1909 oleh E.B. Titchener sebagai usaha dari menerjemahkan kata bahasa Jerman "Einfühlungsvermögen", fenomena baru yang dieksplorasi oleh Theodor Lipps pada akhir abad ke-19. Setelah itu, diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Jerman sebagai "Empathie" dan digunakan di sana.[3]

Sejarah

Istilah bahasa Inggris, Empathy, diperkenalkan oleh seorang psikolog bernama Edward Titchener pada 1909. Istilah tersebut merupakan terjemahan istilah bahasa Jerman yaitu Einfühlung.[3] Sebelumnya, istilah simpati (bahasa Inggris: sympathy) biasa digunakan untuk merujuk pada fenomena yang berhubungan dengan empati.[3]

Definisi

Empati adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup spektrum yang luas, berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong sesama, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri dan orang lain.[4]

Jenis empati

  • Empati kognitif adalah kemampuan untuk memahami perasaan dan pemikiran seseorang. Empati kognitif membuat kita menjadi komunikator yang lebih baik, karena membantu kita menyampaikan informasi dengan cara yang paling baik menjangkau orang lain.
  • Empati emosional (juga dikenal sebagai empati afektif) adalah kemampuan untuk membagikan perasaan orang lain. Beberapa orang menggambarkannya sebagai "rasa sakit di hatiku". Jenis empati ini membantu Anda membangun hubungan emosional dengan orang lain.
  • Empati welas asih (juga dikenal sebagai perhatian empatik) lebih dari sekadar memahami orang lain dan berbagi perasaan mereka; itu benar-benar menggerakkan kita untuk mengambil tindakan, membantu sebisa kita.[5]

Aspek empati

Terdapat dua aspek dari empati, yaitu kognitif dan afektif.[6] Aspek kognitif terdiri dari komponen perspective taking dan fantasy. Perspective taking mengukur kecenderung individu untuk memandang peristiwa dari perspektif orang lain. Sedangkan komponen fantasy adalah perubahan pola diri individu yang diaktualisasikan pada pemikiran, perasaan, serta perilaku dari karakter khayalan di film, buku, maupun permainan. Komponen ini mengukur bagaimana individu dapat menempatkan diri dan ikut hanyut dalam perasaan dan perilaku dari orang lain.

Kemudian pada aspek afektif terdiri dari komponen emphatic concern dan personal distress. emphatic concern merupakan perasaan simpati pada orang lain dan berkaitan dengan kepekaan serta kepedulian pada orang lain. Lalu personal distress melihat bagaimana individu dapat mengendalikan reaksi diri pada penderitaan orang lain, seperti cemas, khawatir, terkejut, takut, serta tidak berdaya.

Faktor yang memengaruhi empati

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi tinggi rendahnya empati yang dimiliki individu. Faktor yang pertama adalah pengembangan kemampuan untuk memahami dan mengekpresikan perasaan individu yang diasah sejak dari kecil.[7] Individu yang di masa perkembangannya dilatih untuk selalu menyembunyikan kesedihannya dapat menyebabkan potensi rasa empati yang dimiliki menurun. Hal ini biasasanya sering terjadi pada laki-laki yang dituntut untuk bersikap maskulin.

Kemudian faktor yang paling penting adalah pengaruh dari keluarga, khususnya orang tua.[8] Orang tua yang sering menunjukkan rasa empati dalam kehidupan sehari-hari akan dicontoh oleh anak, sehingga anak akan menumbuhkan rasa empati terhadap orang lain. Faktor lainnya adalah kecanduan gadget yang dapat menyebabkan individu memiliki rasa empati rendah.[9] Kecanduan tersebut dapat menyebabkan individu menjadi jarang untuk berinteraksi dengan orang lain. Padahal interaksi sosial dapat melatih rasa empati yang dimiliki individu.

Faktor lainnya yang dapat memengaruhi empati adalah kognitif. Individu yang memiliki kecerdasan verbal yang tinggi akan mudah berempati secara akurat.[10] Lalu faktor komunikasi yang tidak berjalan dengan baik juga akan menghambat proses empati karena terjadi ketidakpahaman.[11]

Cara membangun empati

Empati dapat dikembangkan sejak anak usia dini. Maka dari itu, pola asuh yang tepat dari orang tua dapat menumbuhkan empati yang dimiliki anak.[12] Orang tua dapat menunjukkan bagaimana rasa empati kepada orang lain, seperti menunjukkan rasa kepedulian dan kasih sayang. Pola asuh demokratis cenderung dapat meningkatkan rasa empati yang dimiliki anak.

Penggunaan media seperti film juga dapat mengembangkan rasa empati.[2] Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menonton film yang menunjukkan tokoh yang memiliki empati yang tinggi akan membuat individu terinspirasi tokoh tersebut. Individu akan belajar dengan cara mengamati dan meniru tokoh tersebut, sehingga rasa empati dapat dikembangkan. Selain itu, pelatihan self-hypnosis juga dapat meningkatkan empati yang dimiliki individu.[4]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Baron & Byrne, Psikologi Sosial Jilid 2, Jakarta: Erlangga, 2004, hal. 111.
  2. ^ a b Widiarti, Pratiwi Wahyu (2013-01-01). "PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS EMPATI PADA ANAK-ANAK USIA SD". Informasi (dalam bahasa Inggris). 39 (2). doi:10.21831/informasi.v0i2.4446. ISSN 2502-3837. 
  3. ^ a b c Stueber, Karsten (2019). Zalta, Edward N., ed. Empathy (edisi ke-Fall 2019). Metaphysics Research Lab, Stanford University. 
  4. ^ a b (Inggris)Hodges, S.D., & Klein, K.J. (2001). Regulating the costs of empathy: the price of being human. Journal of Socio-Economics.
  5. ^ Razy, Yurry; Kosasih, Danny; Cahyono, Fiter Bagus. "Three Types of Empathy". Design Thinking Indonesia. 
  6. ^ Fatimah, Siti; Zahrotul Uyun, M. Si (2015). "Hubungan Antara Empati Dengan Perilaku Altruisme Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta" (dalam bahasa Inggris). Universitas Muhammadiyah Surakarta. 
  7. ^ Sari, Anggit Nurmalita; Fauziah, Nailul (2017-02-01). "HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA SUAMI YANG MEMILIKI ISTRI BEKERJA". Jurnal EMPATI (dalam bahasa Inggris). 5 (4): 667–672. ISSN 2337-375x Periksa nilai |issn= (bantuan). 
  8. ^ Nurfazrina, S. A., Muslihin, H. Y., & Sumardi, S. (2020). Analisis Kemampuan Empati Anak Usia 5-6 Tahun (Literature Review). Jurnal PAUD Agapedia, 4(2), 285-299.
  9. ^ Adi Prasetyo, Rahmad; Drs. Muhammad AMir, MSi Psi (2017-11-08). "Hubungan Antara Kecanduan Gadget (Smartphone) Dengan Empati Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta" (dalam bahasa Inggris). Universitas Muhammadiyah Surakarta. 
  10. ^ Ni'mah, Roudlotun (2017). "HUBUNGAN EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK". AT-TUHFAH: JURNAL STUDI KEISLAMAN (dalam bahasa Inggris). 6 (1): 99–115. doi:10.36840/jurnalstudikeislaman.v6i1.85. ISSN 2614-493X. 
  11. ^ Anissa Wardhani, Hapsari; Wisnu Sri Hertinjung S. Psi., M. Psi (2018-02-10). "Empati Ditinjau Dari Pola Asuh Orang Tua dan Jenis Kelamin" (dalam bahasa Inggris). Universitas Muhammadiyah Surakarta. 
  12. ^ Prananingrum, Angghi; Rini Lestari, S. Psi (2015). "Hubungan Antara Pola Asuh Demokratis Dengan Empati" (dalam bahasa Inggris). Universitas Muhammadiyah Surakarta.