Hamengkubuwana VII
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait, atau pranala luar, tetapi sumbernya belum jelas karena belum menyertakan kutipan pada kalimat. |
Hamengkubuwana VII ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧗꧇ | |||||
---|---|---|---|---|---|
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana | |||||
Sultan Yogyakarta | |||||
Bertakhta | 13 Agustus 1877 - 30 Januari 1921 | ||||
Penobatan | 13 Agustus 1877 | ||||
Pendahulu | Sultan Hamengkubuwana VI | ||||
Penerus | Sultan Hamengkubuwana VIII | ||||
Kelahiran | Gusti Raden Mas Murtejo 4 Februari 1839 (Senin Legi, 20 Dulkaidah Je 1766) Kraton Yogyakarta | ||||
Kematian | 30 Desember 1931 Pesanggrahan Ambarukmo, Yogyakarta | (umur 92)||||
Pemakaman | |||||
Permaisuri | Gusti Kanjeng Ratu Kencana/Gusti Kanjeng Ratu Wandhan
Gusti Kanjeng Ratu Hemas Gusti Kanjeng Ratu Kencana II | ||||
| |||||
Wangsa | Mataram | ||||
Ayah | Sultan Hamengkubuwana VI | ||||
Ibu | Gusti Kanjeng Ratu Sultan (Permaisuri kedua)[1] | ||||
Agama | Islam |
Sri Sultan Hamengkubuwana VII (bahasa Jawa: Sri Sultan Hamengkubuwana VII, 4 Februari 1839 – 30 Desember 1931) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877-1921. Dia juga dikenal dengan sebutan Sinuwun Behi dan Sultan Ngabehi (Sultan Sugih).
Riwayat pemerintahan
Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Murtejo, putra tertua Sultan Sri Sultan Hamengkubuwana VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Dia naik tahta menggantikan ayahnya pada tanggal 13 Agustus 1877.
Pada masa pemerintahan Hamengku Buwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar F200.000,00. Hal ini membuat Sultan sangat kaya sehingga sering memperoleh julukan Sultan Sugih.[1]
Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.
Pada tanggal 29 Januari 1921 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia 81 tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat putra mahkotanya yang keempat (Gusti Raden Mas Sujadi, bergelar Gusti Pangeran Harya Purbaya) sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota yang pertama (Gusti Raden Mas Akhaddiyat, bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara I), yang seharusnya menggantikan ayahnya, tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya. Penggantinya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara II (kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Juminah, kakek dari seniman Indonesia, Bagong Kussudiardja), diberhentikan karena alasan kesehatan. Putra mahkota yang ketiga, Gusti Raden Mas Putro (bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara III), meninggal dunia tanggal 21 Februari 1913 akibat sakit keras setelah kembali dari Kulon Progo.
Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan putera mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.
Biasanya dalam pergantian takhta raja kepada putera mahkota ialah menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup (Ada cerita bahwa sang ayah diasingkan oleh putera mahkota yang keempat ke Pesanggrahan Ngambarrukmo di luar keraton Yogyakarta)
Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan "Tidak pernah ada raja yang meninggal di keraton setelah saya" yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah Hamengkubuwono VII yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII (meninggal dunia setelah menjemput putra mahkota, Gusti Raden Mas Dorojatun, dari Batavia) dan Hamengkubuwono IX (meninggal dunia di Amerika Serikat). Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukmo pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Pemakaman Imogiri.
Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg pandita (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarrukmo.
Silsilah
- Anak tertua dari Sultan Hamengkubuwana VI dan istri pertamanya Kanjeng Ratu Sepuh/Gusti Kanjeng Ratu Sultan/Gusti Kanjeng Ratu Hageng dan diangkat anak oleh Gusti Kanjeng Ratu Kencana.
- Memiliki delapan belas istri:
- Bendara Raden Ayu Sukina/Bendara Raden Ayu Mangkubumi (b. 1836), putri termuda Hamengkubuwana V dengan istri keduanya, Bendara Raden Ayu Dewaningsih.
- Gusti Kanjeng Ratu Hemas, putri dari Kanjeng Raden Tumengung Jayadipura atau dari Pangeran Suryadiningrat.
- Gusti Kanjeng Ratu Kencana, kemudian diasingkan lalu bergelar Gusti Kanjeng Ratu Wandhan, putri dari Raden 'Ali Basa 'Abdu'l-Mustafa Senthot Prawiradirja.
- Gusti Kanjeng Ratu Kencana II/Bendara Raden Ayu Ratna Sri Wulan, putri dari Bendara Pangeran Harya Hadinegara.
- Bendara Raden Ayu Ratnaningsih.
- Bendara Raden Ayu Ratnaningdia.
- Bendara Raden Ayu Ratna Adi.
- Bendara Raden Ayu Ratnasangdia.
- Bendara Raden Ayu Ratnajiwata.
- Bendara Raden Ayu Puryaningdia.
- Bendara Raden Ayu Devaratna.
- Bensara Raden Ayu Puspitaningdiya.
- Bendara Raden Ayu Srengkara Adinindia.
- Bendara Raden Ayu Rukmidiningdia.
- Bendara Raden Ayu Ratna Adiningrum.
- Bendara Raden Ayu Ratna Puspita.
- Bendara Raden Ayu Tejaningrum.
- Bendara Raden Ayu Ratna Mandaya, putri dari Patih Dhanuraja VI.
- Memiliki 31 putra
- Memiliki 38 putri
Galeri
-
Sri Sultan Hamengkubuwana VII. Kassian Cephas, 1885. Koleksi KITLV.
-
Ratu Angger, saudara perempuan Sultan Hamengkubuwana VII, berpakaian kerajaan, sekitar tahun 1885.
-
Ratoe Madoeretna, putri Sultan Hamengkubuwono VII
Pranala luar
- ^ a b Biografi singkat HB VII. kratonjogja.id. 2019. Diakses tanggal 18/07/2019
- (Inggris) HB VII - Genealogy
Kepustakaan
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Hamengkubuwono VI |
Raja Kesultanan Yogyakarta 1877-1921 |
Diteruskan oleh: Hamengkubuwono VIII |