Nyi Hajar Dewantara
Nyi Hajar Dewantara, Nyi Hadjar Dewantara atau Nyi Hajar Dewantoro (14 September 1890 – 16 April 1971)[1] adalah seorang pegiat pendidikan dan pergerakan perempuan Indonesia. Ia bernama lahir Raden Ajeng Sutartinah sebagai putri keenam dari pasangan Kanjeng Pangerah Haryo (KPH) Sosroningrat putra K.P.A.A Pakualam III dan R.A.Y. Mutmainah yang setelah bersuami bernama B.R.A.Y. Sosroningrat putri dari K.R.T. Mertonegoro II.[1]
R.A. Sutartinah menamatkan Europease Lagere School (ELS) pada tahun 1904. Lalu, melanjutkan ke sekolah guru. Dia kemudian menjadi guru bantu di sekolah yang didirikan Priyo Gondoatmodjo. Ia menikahi Ki Hajar Dewantara atau Suwardi Suryaningrat. Ia pun ikut mendampingi Ki Hajar Dewantara dalam pembuangan ke negeri Belanda sejak 13 September 1913 - 26 Juli 1919. Ia tak pernah absen dalam tiap perjuangan Ki Hajar kecuali dalam hal yang khusus.[2]
Untuk membantu mencukupi kebutuhan rumah tangga para buangan politik itu, Sutartinah bekerja di sebuah Frobel School (Taman Kanak-kanak) di Weimar, Den Haag. Keadaan ekonomi waktu itu sangat sulit karena Eropa dilanda suasana konflik yang kemudian berpuncak pada Perang Dunia I yang pecah pada 1914. Suwardi dan Sutartinah mendirikan Indonesische Pers Partiy yang memberikan masukan berita kepada surat kabar di Belanda tentang berbagai peristiwa yang terjadi di tanah jajahan Hindia Belanda. Selain itu, Indonesische Pers Partiy juga menerbitkan brosur-brosur dan tulisan mengenai Budi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain.
Berkat usaha Sutartinah dan Suwardi, terbukalah cara pandang dan pikiran orang Belanda tentang Hindia-Belanda dan kaum pejuang (rakyat pribumi) di daerah jajahan itu, sekaligus membuat golongan demokrat dan progresif mengecam kebijaksanaan pemerintah Hindia-Belanda yang eksploitatif dan menyesengsarakan kaum pribumi.
Keberhasilan Sutartinah dan Suwardi dalam memberikan cara pandang dan pikiran baru orang-orang Belanda berujung pada kemenangan golongan progresif dalam pemilu di negeri Belanda. Sebagai akibat kemenangan golongan progresif itu, maka gubernur Graaf van Limburg Stirum mengeluarkan keputusan membebaskan Dr. Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker dari hukuman buangan. Keputusan itu sangat menggembirakan kaum pergerakan terutama Sutartinah sendiri. Sutartinah dan Suwardi kembali ke tanah air dan berlabuh di Jakarta (Batavia) pada akhir 1919.
Inisiator Kongres Perempuan I
Sekembalinya di tanah air, kondisi politik dan situasi pada waktu itu ternyata tidak memungkinkan Tiga Serangkai untuk berjuang bersama lagi. Karenanya, mereka membubarkan ‘Indische Partij’. Sutartinah, dengan bantuan KH Ahmad Dahlan mampu membujuk Suwardi Suryaningrat untuk mengalihkan perjuangan di bidang pendidikan sebagaimana dulu mereka lihat reformasi pendidikan mampu mengguncang Eropa. Berdirilah Taman Siswa pada 1922 dan Sutartinah melahirkan gerakan wanita Indonesia lewat ‘Wanita Taman Siswa’. Di sini ia menjabat sebagai ketua sekaligus anggota badan penasehat pemimpin umum. Selain membina organisasi wanita, Sutartinah juga membina Taman Indria (Taman kanak-Kanak) dan Taman Muda Sekolah Dasar dalam perguruan Taman Siswa. Ketika Suwardi Suryaningrat mencapai umur 40 tahun pada tahun 1928, secara resmi Suwardi dan Sutartinah mengganti namanya masing-masing dengan Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara.
Kegiatan dalam organisasi wanita Taman Siswa semakin ditingkatkan. Dalam kedudukannya sebagai ketua, Nyi Hajar aktif menulis beberapa artikel kewanitaan di berbagai surat kabar dan mengadakan siaran-siaran radio. Dalam usaha meningkatkan usaha pergerakan kaum wanita Nyi Hajar menemukan pasangan yang berfikiran sama yang ingin menyatukan seluruh gerakan wanita Indonesia ke dalam suatu wadah. Mereka adalah R.A Soekonto dan R.A Suyatin. Atas inisiatif Nyi Hajar Dewantara terhimpunlah 7 organisasi yang kemudian mensponsori Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Walaupun Nyi Hajar adalah pendiri dan pengambil inisiatif utama Kongres Perempuan Indonesia I, Ia hanya berkedudukan sebagai anggota biasa. Di dalam kongres Nyi Hajar mendapat kesepatan berpidato pada 23 Desember dalam penyampaian pokok-pokok pikiran kongres dengan judul ‘Adab Perempuan’.
Taman Siswa
Pekerjaan sebagai guru Taman Siswa terus dijalani, digeluti, oleh Nyi Hajar Dewantara sampai Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan ordonanasi “sekolah liar” dan menutup kegiatan sekolah Taman Siswa. Oleh Pemerintah Kolonial, Taman Siswa dianggap Sekolah Liar. Di mana ada penindasan, di situ ada perlawanan! Nyi Hajar dan Ki Hajar mengadakan perlawanan yang gigih atas kebijakan Penjajah itu. Jika Ki Hajar Dewantara dan Ki Suwardi mengadakan kampanye terbuka atas larangan sekolah liar di Jakarta dan Bogor, Nyi Hajar dan para pemimpin Taman Siswa lainnya di Yogyakarta melancarkan ‘Gerilya Pendidikan’. Di bawah arahan Nyi Hajar, guru Taman Siswa mendatangi setiap rumah rakyat untuk mengajar siswa-siswa di rumah masing-masing. Dalam hal seorang guru ditangkap karena tindakan mengajar itu, sukarelawan akan datang menggantikan tugas guru yang tertangkap. Dengan demikian, siswa dapat terus melanjutkan pendidikannya.
Dengan aksi perlawanan heroik itu, Taman Siswa mendapat simpati dari berbagai organisasi pergerakan. Berpuluh-puluh orang mendaftar sebagai sukarelawan yang siap menggantikan guru yang tertangkap dengan konsekuensi siap pula untuk ditangkap. Gerilya Pendidikan Nyi Ahmad Dahlan ini mempunyai slogan “Patah tubuh hilang berganti. Patah satu tumbuh seribu”. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika Nyi Hajar dikatakan sebagai pendamping setia dan teman seperjuangan Ki Hajar Dewantara. Hal ini kiranya benar juga apa yang pernah dikatakan Ki Hajar dalam peresmian Pendopo Agung Taman Siswa bahwa, “Betapapun juga Nyi Hajar Dewantara ikut ‘ambuko raras pangesti wiji’ yang berarti ikut menguak zaman dan menebar benih kebajikan.”
Bahkan sebenarnya, di tangan Nyi Hajar lah Ki Hajar Dewantara menemukan takdir terbaiknya. Di depan Presiden Soekarno yang menghadiri pemberian gelar doktor bidang kebudayaan di Universitas Gajah Mada pada tahun 1957, Ki Hajar berkata, “Tanpa Nyi Hajar saya hanya akan jadi orang biasa yang tak punya peran apa-apa bagi bangsa ini.”
Setelah meninggalnya Ki Hajar pada tahun 1958, Nyi Hajar memimpin Taman Siswa sampai tahun 1970. Pada tahun 1960-an ikut mendirikan Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa dan menjabat sebagai rektor pada tahun 1965. Pada 16 April 1971 Nyi Hajar meninggal di Rumah Sakit Panti Rapih setelah menderita sakit beberapa hari. Ia meninggalkan 6 orang anak dan sejumlah cucu.
Atas jasa-jasa perjuangannya bagi bangsa dan negara Indoensia, Nyi Hajar ditetapkan sebagai pahlawan pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan Republik Indonesia dengan keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No.Pal. 52/61/PK/ tertanggal 16 April 1971. Atas jasanya membina Taman Siswa Nyi Hajar Dewantara mendapat penghargaan berupa anugerah tanda kehormatan Satya Lencana Kebudayaan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 017/Tk/1968 tertanggal 13 April 1968.[1]