Perang Yom Kippur
Perang Yom Kippur | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Tentara Mesir menyebrangi Terusan Suez. | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Israel |
Mesir Libya Suriah Yordania Irak | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Moshe Dayan David Elazar Ariel Sharon Shmuel Gonen Benjamin Peled Israel Tal Rehavam Zeevi Aharon Yariv Yitzhak Hofi Rafael Eitan Abraham Adan Yanush Ben Gal |
Saad El Shazly Ahmad Ismail Ali Muammar al-Qaddafi Hosni Mubarak Mohammed Aly Fahmy Anwar Sadat Hafez Assad Abdel Ghani el-Gammasy Abdul Munim Wassel Abd-Al-Minaam Khaleel Abu Zikry Ahmad Rafel | ||||||
Kekuatan | |||||||
415.000 tentara; 1.500 tank, 3.000 pengangkut lapis baja; 945 artileri;[1] 561 pesawat, 84 helikopter; 38 kapal perang.[2] |
Mesir: 800.000 tentara; 2.400 tank, 2.400 pengangkut lapis baja; 1.120 artileri;[1]Libya: 200.000 tentara; 1.700 tank, 2.400 pengangkut lapis baja; 1.090 artileri;[1] 690 pesawat, 161 helikopter; 104 kapal pperang Suriah: 150.000 tentara; 1.400 tank, 800-900 pengangkut lapis baja; 600 artileri;[1] 350 pesawat, 36 helikopter; 21 kapal perang Irak: 60.000 tentara; 700 tank; 500 pengangkut lapis baa; 200 artileri;[1] 73 pesawat[2] | ||||||
Korban | |||||||
2.656 tewas 7.250 terluka 400 tank hancur 600 dapat diperbaiki 102 pesawat hancur[3] |
8.528 tewas 19.540 terluka (Perkiraan Barat) 15.000 tewas 35.000 terluka (Perkiraan Israel) 2.250 tank hancur atau tertangkap 432 pesawat hancur[3] |
Perang Yom Kippur, dikenal juga dengan nama Perang Ramadan atau Perang Oktober (bahasa Ibrani: מלחמת יום הכיפורים Milẖemet Yom HaKipurim atau מלחמת יום כיפור Milẖemet Yom Kipur; bahasa Arab: حرب أكتوبر ḥarb ʾUktōbar atau حرب تشرين ḥarb Tišrīn) adalah perang yang terjadi pada tanggal 6 - 26 Oktober 1973 antara negara Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah.
Perang ini berakhir dengan diadakannya gencatan senjata.
Jalannya perang
Pada tanggal 6 Oktober 1973, pada hari Yom Kippur, hari raya Yahudi yang paling besar, ketika orang-orang Israel sedang khusyuk merayakannya, yang juga bertepatan dengan bulan Ramadan bagi ummat Islam sehingga dinamakan "Perang Ramadan 1973", Suriah, Libya dan Mesir menyerbu Israel secara tiba-tiba. Di Dataran Tinggi Golan, garis pertahanan Israel yang hanya berjumlah 180 tank harus berhadapan dengan 1400 tank Suriah. Sedangkan di terusan Suez, kurang dari 500 prajurit Israel berhadapan dengan 80.000 prajurit Mesir.
Mesir mengambil pelajaran pada Perang Enam Hari pada tahun 1967 tentang lemahnya pertahanan udara sehingga saat itu 3/4 kekuatan udara Mesir hancur total sementara Suriah masih dapat memberikan perlawanan. Sadar bahwa armada pesawat tempur Mesir masih banyak menggunakan teknologi lama dibandingkan Israel, Mesir akhirnya menerapkan strategi payung udara dengan menggunakan rudal dan meriam anti serangan udara bergerak yang jarak tembaknya dipadukan. Angkatan udara Israel akhirnya kewalahan bahkan banyak yang menjadi korban karena berusaha menembus "jaring-jaring" pertahanan udara itu.
Pada permulaan perang, Israel terpaksa menarik mundur pasukannya. Tetapi setelah memobilisasi tentara cadangan, mereka bisa memukul tentara invasi sampai jauh di Mesir dan Suriah. Israel berhasil "menjinakkan" payung udara Mesir yang ternyata lambat dalam mengiringi gerak maju pasukkannya, dengan langsung mengisi celah (gap) antara payung udara dengan pasukan yang sudah berada lebih jauh di depan. Akibatnya beberapa divisi Mesir terjebak bahkan kehabisan perbekalan. Sementara di front timur, Israel berhasil menahan serangan lapis baja Suriah.
Melihat Mesir mengalami kekalahan, Uni Soviet tidak tinggal diam. Melihat tindakan Uni Soviet, Amerika Serikat segera mempersiapkan kekuatannya. Kemudian, Raja Faisal bin Abdul Aziz dari Arab Saudi mengumumkan pembatasan produksi minyak. Krisis energi muncul dan negara negara industri kewalahan lantaran harga minyak dunia membumbung tinggi. Dua minggu setelah perang dimulai, Dewan Keamanan PBB mengadakan rapat dan mengeluarkan resolusi 339 serta gencatan senjata dan dengan ini mencegah kekalahan total Mesir.
Secara total 2.688 tentara Israel tewas dan kurang lebih 7.000 orang cedera, 314 tentara Israel dijadikan tawanan perang dan puluhan tentara Israel hilang (17 di antaranya bahkan sampai tahun 2003 belum ditemukan). Tentara Israel kehilangan 102 pesawat tempur dan kurang lebih 800 tank. Di sisi Mesir dan Suriah 35.000 tentara tewas dan lebih dari 15.000 cedera. 8300 tentara ditawan. Angkatan Udara Mesir kehilangan 235 pesawat tempur dan Suriah 135.
Akhir Perang
Israel
Setelah perang berakhir, banyak terjadi protes di Israel sampai-sampai Perdana Menteri Golda Meir dan Menteri Pertahanan Moshe Dayan dari Partai Buruh serta Panglima Angkatan Bersenjata Israel, David Eliazar, harus mengundurkan diri.
Israel mengambil pelajaran secara teknologi dan strategi pasca Perang Yom Kippur tersebut. Secara teratur Israel memodernkan angkatan bersenjatanya baik dengan bantuan Amerika Serikat maupun swadaya. Insiden peledakkan pesawat sipil di bandar udara Lebanon yang dilakukan oleh agen Mossad pada akhir 1970-an sebagai pembalasan peristiwa "Black September", dimana atlet Olympiade Israel dibunuh oleh "gerilyawan PLO" di München, Jerman Barat, menyebabkan Prancis mengembargo persenjataan ke Israel. Karena khawatir Amerika Serikat melakukan hal yang sama. Israel berupaya keras melakukan upaya swasembada persenjataan. Diantaranya memproduksi pesawat tempur Mirage III tanpa izin yang dikenal dengan tipe Dagger yang digunakan Argentina dalam Perang Falkland, mengadakan riset pengacau radar dan gelombang radio, memproduksi pesawat tempur rancangan sendiri Kfir dan Lavi, serta memproduksi tank Merkava yang didesain berdasarkan pengalaman Israel mengoperasikan tank Amerika Serikat dan Inggris serta tank lawan yang rusak atau dirampas.
Kesiapan Israel ini terbukti dalam Invasi ke Lebanon Selatan pada tahun 1982 yang berhasil menduduki kawasan Lebanon Selatan serta menghancurkan kekuatan Angkatan Udara Suriah dalam Insiden Lembah Beka'a
Mesir dan Timur Tengah
Meskipun Mesir mengalami kalah perang lagi tetapi perang ini setidaknya bisa sedikit menghibur dan mengobati sedikit kehormatan dan rasa percaya diri mereka setelah kalah dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967. Mesir sempat berhasil memasuki wilayah israel walaupun akhirnya kalah dalam pertempuran berikutnya yang berakhir dengan kekalahan Mesir dan negara-negara Arab. Ketika tentara Israel mengundurkan diri dari Port Sa’id, penduduk Mesir dengan pawai dan arak-arakan besar-besaran serta pesta memasuki kota ini. Israel lalu mengundurkan diri dari seluruh daerah Sinai setelah Mesir sepakat akan membuat bufferzones.
Negara-negara Pro Arab tetap mengklaim Mesir dan dunia Arab sebagai pemenang dengan alasan pada hari pertama perang, pasukan Arab berhasil menerobos garis pertahanan Israel yang minim penjagaan.
Pada tahun 1978 di Camp David, Amerika Serikat, disepakati perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Camp David di mana Israel berjanji akan mengundurkan diri sampai ke perbatasan internasional dan di mana seluruh daerah Sinai menjadi daerah demilitarisasi dan diserahkan kepada Mesir. Perjanjian kedua yang akan disepakati hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak bangsa Palestina, tetapi ditolak para pemimpin Palestina (PLO). Setahun kemudian sebuah kesepakatan perdamaian ditanda tangani oleh Menachem Begin, Jimmy Carter dan Anwar Sadat yang bersama-sama mendapat penghargaan Nobel untuk perdamaian. Perjanjian ini disponsori oleh Amerika Serikat.
Akibat penandatanganan perjanjian ini, Anwar Sadat mendapat tekanan dari dalam negeri khususnya dari kelompok fundamentalis Islam dan para pelajar Mesir yang menyebabkan Anwar Sadat mengambil tindakan represif yang mendapat kecaman karena terdapat banyak pelanggaran HAM. Akibat tindakan ini pula, Anwar Sadat akhirnya terbunuh dalam parade Militer pada ulang tahun ke-8 perang Yom Kippur.
Sesudah perang usai, Anwar Sadat mengakui bahwa ia sengaja melancarkan perang terhadap Israel dengan tujuan untuk mengalihkan perhatian rakyat Mesir dari beban kesulitan ekonomi dan mengalihkan kemarahan rakyat akibat merajalelanya korupsi & nepotisme di kalangan para pejabat Mesir.
Posisi Palestina setelah perang Yom Kippur 1973 ini semakin tidak jelas. Terlebih setelah Yordania, negeri yang ditempati sebagian besar bangsa Palestina mengambil sikap netral akibat kekalahannya pada Perang Enam Hari 1967 yang menyebabkan Yordania kehilangan Tepi Barat dan Jerussalem Timur. Sikap Yordania ini, menyebabkan kemarahan dikalangan Palestina terutama dari PLO yang saat itu berkedudukan di sana. Karena PLO bertindak sebagai negara dalam negara di Yordania dan berencana untuk mengkudeta Raja Yordania maka untuk menghindari ketidakstabilan keamanan, Raja Hussein bin Talal akhirnya mengambil sikap represif dengan mengusir PLO dari negaranya. PLO akhirnya pindah ke Libanon dan Tunisia.
Syria sendiri mengalami kerugian yang cukup besar, tetapi akhirnya Suriah menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan Israel namun tidak mengadakan perjanjian perdamaian, terutama sebelum wilayah Dataran Tinggi Golan dikembalikan oleh Israel dalam perang tahun 1967. Dataran tinggi Golan sendiri akhirnya ditetapkan secara sepihak oleh Israel dengan dukungan Amerika Serikat. Namun, sikap Suriah terhadap Palestina yang kurang lebih sama dengan sikap Yordania menyebabkan terjadinya pergolakan-pergolakan terutama dengan kalangan fundamentalis Islam terutama yang berkedudukan di kota Hama. Pergolakan ini berlanjut ketika Hafez Al Assad mengambil tindakan represif semakin keras yang memuncak pada peristiwa pembantaian Hama di akhir dekade 1970-an.