Suku Bukitan
| |
---|---|
Jumlah populasi | |
± 860 | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Indonesia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur)[1] | |
Nama wilayah | |
Kalimantan Timur[1] | 570 |
Kabupaten Kapuas Hulu[1] | 290 |
Bahasa | |
Agama | |
Suku Bukitan adalah kelompok etnis atau suku bangsa yang berasal dari dan banyak mendiami daerah Nanga Palin di Embaloh Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Indonesia. Pada masa kini, diaspora Bukitan juga dapat ditemui di daerah-daerah sekitar Nanga Palin, yang mana termasuk distrik Bintulu di Sarawak.[2]
Sejarah
Masyarakat Suku Bukitan berasal dari Palin, Kalimantan. Pada abad ke-19, mereka berpindah ke Sarawak melalui Lubok Antu dan menetap di sana. Di sana, mereka mengadopsi cara bertani orang Iban sehingga menghilangkan kebiasaan berburu-mengumpul mereka. Proses 'Ibanisasi' berlanjut hingga rumah panjang orang Bukitan dan sebuah sungai diambil alih oleh orang Iban. Banyak anggota suku yang menikahi anggota suku Iban, dan di rumah panjang, mereka juga bertutur bahasa Iban selain bahasa mereka sendiri.[2]
Tak lama kemudian, orang-orang Suku Iban dari Kapuas menyerang dan mangusir mereka dari kediaman mereka.[3][4] Mereka melarikan diri ke Saribas yang sekarang dikenal dengan nama Betong. Di sana, mereka menetap dan membangun komunitas. Pada akhirnya, pernikahan antara Demong, anak laki-laki kepala suku mereka, Entingi, dengan Rinda, anak perempuan kepala Suku Iban, Tindin menandai perdamaian dan mereka lanjut tinggal bersama orang-orang Suku Iban.[5][6]
Setelah bertahun-tahun, akibat beberapa kesalahpahaman, perang pecah di antara mereka dan Suku Bukitan kalah. Mereka lalu kabur ke berbagai tempat sebelum akhirnya menetap di Sungai Merit, anak Sungai Batang Tatau di Bintulu dan sekitarnya hingga kini.[7]
Bukti kehadiran Suku Bukitan dapat dijumpai di berbagai daerah seperti Saribas dan Lubok Antu dalam bentuk pekuburan dan nama-nama tempat kuno.[8]
Tokoh-tokoh
- Jonathan Tinggang Ngabang, atlet lompat jauh Malaysia.[9]
Referensi
- ^ a b c Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia (Hasil Sensus Penduduk 2010) [Bancian Warganegara, Bangsa, Ugama, dan Bahasa Ibu Rakyat Indonesia (Hasil Banci 2010)], Jakarta: Central Bureau of National Statistics of the Republic of Indonesia, 2010
- ^ a b Bissonnette, Jean-Franc̦ois, 1983-; Bernard, Stéphane, 1969-; Koninck, Rodolphe de. (2011). Borneo transformed : agricultural expansion on the Southeast Asian frontier. Singapore: NUS Press. hlm. 83. ISBN 9789971698300. OCLC 899264932.
- ^ Traude Gavin (2004). Iban Ritual Textiles. NUS Press. hlm. 4. ISBN 99-716-9294-5.
- ^ Vinson H. Sutlive & Joanne Sutlive, ed. (2001). The Encyclopaedia of Iban Studies: O-Z. Tun Jugah Foundation. hlm. 1593. ISBN 98-340-5133-6.
- ^ Barau Anak Gelayan (2016). Nalong Anak Buda, ed. Betie Tajak Ngakak Tajai Ngelayang. Johnny Anak Chuat. hlm. 99. ISBN 967-10174-8-7.
- ^ Vinson H. Sutlive & Joanne Sutlive, ed. (2001). The Encyclopaedia of Iban Studies: A-G. Tun Jugah Foundation. hlm. 449. ISBN 98-340-5131-X.
- ^ Sutlive, Vinson H. Sutlive, Joanne. (2001). The encyclopaedia of Iban studies : Iban history, society, and culture. Published by the Tun Jugah Foundation in cooperation with the Borneo Research Council. hlm. 449. ISBN 9834051301. OCLC 49515181.
- ^ Rob A. Cramb (2007). Land and Longhouse: Agrarian Transformation in the Uplands of Sarawak. NIAS Press. hlm. 108. ISBN 87-7694-010-1.
- ^ "Host state treats Sarawak athletes to Gawai gathering". The Borneo Post. 3 June 2014. Diakses tanggal 2015-08-26.