Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad | |
---|---|
Lahir | Goenawan Soesatyo Mohamad 29 Juli 1941 Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Hindia Belanda |
Pekerjaan |
|
Dikenal atas | Manifesto Kebudayaan, Catatan Pinggir, Tempo, Aliansi Jurnalis Independen, Partai Amanat Nasional, Jaringan Islam Liberal, Komunitas Salihara. |
Karya terkenal | Majalah Tempo, beberapa buku |
Suami/istri | Widarti Djajadisastra |
Anak | Paramita Mohamad |
Kerabat | Kartono Mohamad |
Penghargaan |
|
Penghargaan
| |
Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir 29 Juli 1941) adalah seorang sastrawan Indonesia. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Ia merupakan adik Kartono Mohamad, seorang dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.
Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang memiliki pandangan yang liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.
Masa muda
Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum. Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas 6 SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian kakaknya yang dokter, ketika itu berlangganan majalah Kisah asuhan H.B Jassin. Goenawan yang biasanya dipanggil Goen, belajar psikologi di Universitas Indonesia, ilmu politik di Belgia, dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak. [note 4]
Dunia jurnalistik
Karier GM—panggilan singkatnya—dimulai dari redaktur Harian KAMI (1969-1970), redaktur Majalah Horison (1969-1974), pemimpin redaksi Majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin redaksi Majalah Swasembada (1985).[2] Dan sejak 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo.
Dia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam bahasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wayang kulit yang dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan Dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.[3]
Jaringan Islam Liberal
Setelah pembredelan Tempo pada 1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama rekan-rekan dari Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen, serta sejumlah cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan ekspresi. Secara sembunyi-sembunyi, antara lain di Jalan Utan Kayu 68H, ISAI menerbitkan serangkaian media dan buku perlawanan terhadap Orde Baru. Sebab itu di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen: aktivis pro-demokrasi, seniman, dan cendekiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu.
Dari ikatan inilah lahir Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar, Kedai Tempo, Jaringan Islam Liberal, dan terakhir Sekolah Jurnalisme Penyiaran, yang meskipun tak tergabung dalam satu badan, bersama-sama disebut “Komunitas Utan Kayu”. Semuanya meneruskan cita-cita yang tumbuh dalam perlawanan terhadap pemberangusan ekspresi. Goenawan Mohamad juga punya andil dalam pendirian Jaringan Islam Liberal.[4][5][6]
Bacaan
- (Indonesia) Herlambang, Wijaya. Kekerasan Budaya Pasca 1965 - Bagaimana Orde Baru melegitimasi anti-komunisme melaui sastra dan film. Marjin Kiri. ISBN 978-979-1260-26-8
Lihat pula
Pranala luar
- (Indonesia) Goenawan Mohamad di Tokoh Indonesia
- (Indonesia) Blog Catatan Pinggir
- (Indonesia) Situs Jaringan Islam Liberal Diarsipkan 2005-06-13 di Wayback Machine.
Catatan
- ^ Presiden Joko Widodo atas nama negara menyematkan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada Budayawan Goenawan Susatyo Mohamad. Acara penyematan berlangsung di Istana Negara. Jakarta, 13 Agustus 2015[1]
- ^ Tahun 2005 ia bersama wartawan Joesoef Ishak mendapatkan penghargaan tersebut.
- ^ Bersama esais dan pejuang kemerdekaan Polandia, Adam Michnik, dan musikus Amerika, Yo-yo-Ma (2006).
- ^ Melanjutkan pendidikan ke Fakultas Psikologi UI, GM -- demikian ia dipanggil di kalangan dekat -- segera terbilang di kalangan intelektual muda yang gelisah menjelang keruntuhan Orde Lama. Bersama antara lain Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan H.B. Jassin, ia ikut menyusun Manifesto Kebudayaan, yang pada zaman Soekarno diejek sebagai Manikebu. Begitu Orde Lama tumbang, GM malah seperti menyingkir, menuntut ilmu ke College of Europe, Belgia. Pulang dari sana, ia sempat menjadi wartawan harian Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kemudian turut mendirikan majalah Ekspres, dan terakhir, bersama sejumlah rekan, memisahkan diri dan mendirikan Majalah Berita Mingguan Tempo.[2]
Referensi
- ^ Hutasoit, Moksa (Kamis 13 Aug 2015, 11:18 WIB). "Jokowi Beri Tanda Kehormatan ke 46 Orang, dari Paloh Sampai Goenawan Mohamad". Jakarta: News.detik.com. Diakses tanggal 13 Agustus 2015.
- ^ a b "Pusat Data & Analisis TEMPO Apa & Siapa '85/86". Diakses tanggal 1 Juli, 2015. [pranala nonaktif permanen]
- ^ JPNN.com, Esy (1 Juni 2018). "Kekuatan Warna Lukisan Goenawan Mohamad". JPNN.com. Diakses tanggal 1 Juni 2018.
- ^ Republika.co.id (Senin, 13 Oktober 2014, 14:49 WIB). "Apa Itu Jaringan Islam Liberal (JIL)?". Diakses tanggal 3 September 2015.
- ^ Fadh Ahmad Arifan (2014). "Jaringan Islam Liberal, Riwayatmu Kini". UIN-Maliki Press. Diakses tanggal 3 September 2015.
- ^ Budhy Munawar Rachman, Moh. Shofan (Ed.), M. Dawam Rahardjo (Pengantar) (2010). Sekularisme, liberalisme, dan pluralisme - Islam progresif dan perkembangan diskursusnya. Jakarta: PT Grasindo Widiasara Indonesia.
- Orang hidup berusia 83
- Kelahiran 1941
- Kusala Sastra Khatulistiwa
- Sastrawan Indonesia
- Penyair Indonesia
- Tokoh dari Batang
- Wartawan Indonesia
- Tokoh Angkatan 66
- Kritikus sastra Indonesia
- Esais Indonesia
- Tokoh Jawa Tengah
- Tokoh Jawa
- Penulis Indonesia
- Budayawan Indonesia
- Tokoh Indonesia
- Penerima Bintang Budaya Parama Dharma
- Jaringan Islam Liberal