Lompat ke isi

Konflik Keraton Surakarta

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hangabehi bersama Tedjowulan di Gedung DPR-MPR RI, Jakarta

Konflik Keraton Surakarta atau konflik Keraton Solo adalah sebuah perebutan tahta atas Keraton Solo antara Hangabehi dan Tedjowulan yang bermula pada tanggal 11 Juni 2004 saat Paku Buwono XII wafat tanpa sempat menunjuk permaisuri maupun putera mahkota.[1]

Konflik ini akhirnya mendorong campur tangan pemerintah Republik Indonesia dengan menawarkan dualisme kepemimpinan, dengan Paku Buwono XIII sebagai Raja dan KGPH Panembahan Agung Tedjowulan sebagai wakil atau Mahapatih. Penandatanganan kesepahaman ini didukung oleh empat perwakilan menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pekerjaan Umum serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun konflik belum selesai karena beberapa keluarga keraton masih menolak penyatuan ini.[2]

Puncaknya adalah penolakan atas Raja dan Mahapatih untuk memasuki Keraton pada tanggal 25 Mei 2012. Keduanya dicegat di pintu utama Keraton di Korikamandoengan.[3] Wali kota Surakarta Joko Widodo (kemudian Presiden Indonesia) akhirnya berperan menyatukan kembali perpecahan ini setelah delapan bulan menemui satu per satu pihak keraton yang terlibat dalam pertentangan.[4] Pada tanggal 4 Juni 2012, akhirnya Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan berakhirnya konflik Keraton Surakarta yang didukung oleh pernyataan kesediaan melepas gelar oleh Panembahan Agung Tedjowulan, serta kesiapan kedua keluarga untuk melakukan rekonsiliasi.[2]

Konflik tersebut kembali muncul saat Hangabehi dituduh melakukan tindakan pelecehan terhadap seorang gadis SMK berusia 15 tahun[5] tidak pernah menjalankan atau mengikuti upacara adat, serta mengangkat pemberontak menjadi pejabat[6] sehingga Lembaga Adat Keraton memberhentikannya dan mengangkat GPH Puger sebagai Pelaksana jabatan raja.[6] Tak digubris Hangabehi, Tedjowulan dan kerabat lainnya, seperti GPH Suryo Wicaksono, GPH Benowo dan GPH Dipokusumo, menyingkirkan Hangabehi dari keraton dan menempati Sasana Narendra menggalang kekuatan untuk melawan Lembaga Dewan Adat yang menguasai keraton.[6]

Pada 27 Agustus 2013, sebuah mobil Hardtop Land Cruiser milik mantan Bupati Wonogiri, Begug Purnomosidi ditabrakkan ke pintu gerbang Keraton Solo dengan alasan bahwa PB XIII terkunci dalam keraton.[7] Anggota polisi dan TNI terpaksa diturunkan bersiaga, menjaga agar tidak terjadi bentrok fisik.[8]

Pada 15 Maret 2017, Hangabehi digugat oleh salah satu anaknya, GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani, dan keponakan bernama BRM Aditya Soerya Harbanu dengan alasan "telah melakukan tindakan melanggar hukum".[9] Pada 15 April 2017, Putri Raja Keraton Solo, GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani, dikurung di dalam keputren atau kediaman putri-putri raja terkait konflik keraton Solo.[10]

Pada 18 Oktober 2017, seorang pembantu dari Timoer bernama Sriyatun atau Mbah Atun diusir tujuh pria berbadan besar suruhan pamannya, KGPH Benowo, dari keraton.[11]

Pada tahun 2022, situasi kembali memanas ketika PB XIII mengangkat putra mahkota dan permaisuri pada acara Tingalan Jumenengan ke-18 pada tanggal 27 Februari 2022. Asih Winarni, istri ketiganya diangkat menjadi permaisuri (prameswari dalem) dengan gelar GKR Pakubuwono. Sedangkan anak dari permaisuri yakni KGPH Purboyo diangkat menjadi putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Adipati Anom Sudibyo Rajaputra Narendra Ing Mataram. Pengangkatan tersebut menuai kritik dari kubu Lembaga Dewan Adat. Mereka menilai bahwa pengangkatan seorang permaisuri atau putra mahkota tidak boleh sembarangan, terlebih dengan memberi gelar "gusti" pada kedua belah pihak, untuk menghindari penyimpangan tertentu[12]. Dewan Adat juga menganggap pengangkatan tersebut tidak sah karena terjadi atas kemauan pribadi Sinuhun, bukan atas mufakat bersama antara Sinuhun dengan para sentana dalem.[13]

Referensi