Heungseon Daewongun
Heungseon Daewongun atau Pangeran Heungseon (흥선대원군;興宣大院君) adalah ayah dari Raja Gojong, yang naik tahta tahun 1863 sebagai raja ke-26 Dinasti Joseon.[1] Heungseon Daewongun tidak dilahirkan sebagai seorang pangeran namun mendapatkan gelar Daewongun (pangeran) dikarenakan diangkatnya Gojong sebagai raja.[1] Sebagai pengendali Gojong yang masih berusia 12 tahun, ia menjadi pemimpin de facto Joseon dan mengendalikan kekuatan negara selama sepuluh tahun.[1]
Heungseon Daewongun meyakini bahwa ia harus mengeliminasi musuh dalam negeri dan menyatukan masyarakat agar dapat menghadapi kekuatan asing.[1] Ia memerintahkan pengeksekusian ribuan umat Katolik di Korea guna mencegah terjadinya pembangkangan.[1] Ia juga membuat kebijakan reformasi pajak untuk mencegah penindasan dan eksploitasi terhadap para petani oleh bangsawan, yang merupakan penyebab utama dari perlawanan petani di Joseon.[1] Dalam pandangannya, raja adalah kekuatan untuk membuat negara yang tersentralisasi, dan kebijakan politiknya dimaksudkan untuk merealisasikan visi bagi pendirian kerajaan.[1] Programnya untuk merestorasi Istana Gyeongbok secara besar-besaran dimaksudkan untuk meningkatkan otoritas kerajaan.[1]
Pada tahun 1866 dan 1871, dua buah insiden meletus antara Joseon dengan Amerika Serikat dan Prancis.[1] Prancis dan Amerika Serikat meminta Joseon membuka pintu dan menjalin hubungan dagang dan budaya dengan dunia luar, tetapi Heungseon Daewongun menolak dengan asumsi bahwa negosiasi dengan negara asing sama dengan mengkhianati kepentingan negara.[1] Setelah Restorasi Meiji pada tahun 1868, Jepang pun meminta Korea membuka diri, tetapi ditolak oleh Heungseon Daewongun.[1] Ia bersikeras bahwa pihak asing hanya akan memanfaatkan kepentingan Joseon.[1]
Pada tahun 1873, Raja Gojong mulai mengambil alih kekuasaan dan memaksa ayahnya untuk pensiun.[1] Pada tahun 1876, Gojong menandatangani Perjanjian Ganghwa dan membuka Korea untuk Jepang.[1] Terdapat banyak pihak yang menentang kebijakan Heungseon Daewongun untuk menutup negara dari pihak asing, salah satunya adalah Gojong.[1] Dengan terbukanya Joseon terhadap dunia luar, maka teknologi dan kebudayaan baru dapat diperkenalkan.[1] Namun, perjanjian Ganghwa tahun 1876 adalah paksaan yang menyebabkan Korea kehilangan statusnya di dunia internasional.[1]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]