Kabupaten Kerinci
Keakuratan artikel ini diragukan dan artikel ini perlu diperiksa ulang dengan mencantumkan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. |
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Kabupaten Kerinci | |
---|---|
Daerah tingkat II | |
Koordinat: 2°05′02″S 101°28′48″E / 2.0839°S 101.48°E | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Jambi |
Jumlah satuan pemerintahan | Daftar |
Pemerintahan | |
• Bupati | H. Fauzi SIIN |
Luas | |
• Total | 4,200km² km2 (Formatting error: invalid input when rounding sq mi) |
Populasi | |
• Total | 300,000 |
Demografi | |
Zona waktu | UTC+07:00 (WIB) |
Kode BPS | |
Kode area telepon | 0748 |
Kode Kemendagri | 15.01 |
Situs web | www.kerincikab.go.id |
Kabupaten Kerinci adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jambi, Indonesia. Luas wilayahnya 4.200 km²; dengan populasi 300.000 jiwa. Ibu kotanya ialah Sungai Penuh.
Nama Kerinci
Nama ‘Kerinci’ berasal dari bahasa Tamil “Kurinci”. Tanah Tamil dapat dibagi menjadi empat kawasan yang dinamakan menurut bunga yang khas untuk masing-masing daerah. Bunga yang khas untuk daerah pegunungan ialah bunga Kurinci (Latin Strobilanthus. Dengan demikian Kurinci juga berarti 'kawasan pegunungan'.
Di zaman dahulu Sumatra dikenal dengan istilah Swarnadwipa atau Swarnabhumi (tanah atau pulau emas). Kala itu Kerinci, Lebong dan Minangkabau menjadi wilayah penghasil emas utama di Indonesia (walaupun kebanyakan sumber emas terdapat di luar Kabupaten Kerinci di daerah Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin). Di daerah Kerinci banyak ditemukan batu-batuan Megalitik dari zaman Perunggu (Bronze Age) dengan pengaruh Budha termasuk keramik Tiongkok. Hal ini menunjukkan wilayah ini telah banyak berhubungan dengan dunia luar.
Awalnya ‘Kerinci’ adalah nama sebuah gunung dan danau (tasik), tetapi kemudian wilayah yang berada di sekitarnya disebut dengan nama yang sama. Dengan begitu daerahnya disebut sebagai Kerinci (Kinci atau Kince atau “Kincai” dalam bahasa setempat), dan penduduknya pun disebut sebagai orang Kerinci.
Sejarah Kerinci
Menurut Tambo Alam Minangkabau, Daerah Rantau Pesisir Barat (Pasisie Barek) pada masa Kerajaan Alam Minangkabau meliputi wilayah-wilayah sepanjang pesisir barat Sumatra bahagian tengah mulai dari Sikilang Air Bangis, Tiku Pariaman, Padang, Bandar Sepuluh, Air Haji, Inderapura, Muko-muko (Bengkulu) dan Kerinci. Dengan demikian Kerinci merupakan daerah Minangkabau.
Pada waktu Indonesia merdeka, Sumatera bagian tengah mulai dipecah menjadi 3 provinsi:
- Sumatera Barat (meliputi daerah Minangkabau)
- Riau (meliputi wilayah kesultanan Siak, Pelalawan,Rokan,Indragiri, Riau-Lingga ditambah Rantau Minangkabau Kampar dan Kuantan)
- Jambi (meliputi bekas wilayah kesultanan Jambi ditambah Rantau Minangkabau Kerinci)
Kerinci pernah berada dibawah Kerajaan Inderapura bersama wilayah Kabupaten Pesisir Selatan dan sebagian wilayah Provinsi Bengkulu diantaranya Muko-Muko.
Letak Kerinci
Kerinci berada di ujung barat Provinsi Jambi, berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat (Minangkabau) di sebagian barat dan utara. Di selatan mereka berbatasan dengan Provinsi Bengkulu.
Daerah Kerinci ditetapkan sebagai sebuah Kabupaten sejak awal berdirinya Provinsi Jambi, dengan pusat pemerintahan di Sungai Penuh. Daerah Kerinci memiliki luas 4.200 km2 terdiri atas 11 kecamatan (yang merupakan rangkaian kampung atau pemukimam). Statistik tahun 1996 menunjukkan populasi suku Kerinci sekitar 300.000 jiwa.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Kerinci merupakan kawasan yang telah memiliki kekuasaan politik tersendiri. Sebelum Belanda masuk Kerinci mencatat tiga fase sejarahnya yaitu: Periode Kerajaan Manjuto atau Kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum, Periode Depati, dan Periode Depati IV Alam Kerinci. Kerajaan Manjuto, sebuah kerajaan yang berada di antara Kerajaaan Minangkabau dan Kerajaan Jambi, beribukotakan di Pulau Sangkar. Berikutnya, pada dua periode Depati, Pulau Sangkar memainkan peran sentral sebagai salah satu dari empat pusat kekuasaan di Kerinci (Rasyid Yakin, hal. 4 -14).
Tetapi semenjak Belanda mulai menduduki Kerinci pada 1914, peran sentral Pulau Sangkar secara politik pemerintahan mulai mengalami penyusutan. Ketika Belanda menetapkan Kerinci sebagai sebuah afdelling dalam kekuasaaan Karesidenan Jambi (1904) maupun di bawah Karesidenan Sumatera Barat (1921), dan ketika Kerinci menjadi sebuah kabupaten sendiri dalam wilayah Propinsi Jambi (pada 1958), Pulau Sangkar hanyalah sebuah ibukota kemendapoan (sebuah unit pemerintahan setingkat di bawah kecamatan dan setingkat di atas desa).
Budaya Kerinci
Budaya Kerinci sangat khas. Tari-tariannya adat merupakan campuran Minang dan Kerinci serta Melayu. Misalnya, Tari Joged Sitinjau Laut. Lagu-lagu Kerinci juga terkenal unik. Pakaian adatnya juga sangat indah. Rumah suku Kerinci disebut "Larik" karena terdiri dari beberapa deretan rumah petak yang bersambung-sambung. Di Jambi, Kerinci adalah satu-satunya wilayah yang menganut adat matrilineal.
Bahasa Kerinci
Bahasa Kerinci termasuk salah satu anak cabang bahasa Austronesia yang dituturkan dengan dialek Kerinci. Bagi masyarakat Sumatera bagian tengah, Bahasa Kerinci tidak begitu asing, namun menjadi agak aneh bagi orang daerah lain di Jambi yang condong ke Melayu Palembang dan Melayu Riau karena pengucapannya yang cenderung cepat.
Ada lebih dari 30 dialek bahasa yang berbeda di tiap-tiap desa di daerah Kerinci. Seperti pengucapan 'Anda', di Desa Lempur (Kec. Gunung Raya) diucapakan dengan 'Kaya' sedangkan di Kec. Sungai Penuh diucapkan dengan 'Kayo'. Perbedaan dialek ini juga ditandai dengan dengan perbedaan budaya yang ada di masing-masing desa di Kerinci.