Lompat ke isi

Detik (tabloid)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 18 Januari 2023 14.07 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Rescuing 0 sources and tagging 1 as dead.) #IABot (v2.0.9.3)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Detik
KategoriTabloid berita
FrekuensiMingguan
Sirkulasi600.000 (1994)[1]
PenerbitYayasan Pancasila Mulya
Terbitan pertama1977
Terbitan terakhir22 Juni 1994
NegaraIndonesia
BahasaBahasa Indonesia

Detik (digayakan sebagai DëTIK) adalah sebuah tabloid yang pernah diterbitkan di Indonesia.

Cikal-bakal tabloid ini dapat ditarik ke sebuah surat kabar mingguan dengan nama Mimbar Berita[2] yang memiliki izin SIT 0751/SK/Dir PDLN/SIT/1969 dan mulai diterbitkan pada 27 April 1969. Memiliki slogan "Membawakan suara hati nurani rakyat" (awalnya "Membawa Suara Kebenaran"),[3] pimpinan Mimbar Berita terdiri dari Abdul Aziz (Pemimpin Redaksi) dan Syamsinar (Pemimpin Umum), dengan saat itu berkantor di Jl. Kebahagiaan No. 4, Jakarta.[4]

Pada tahun 1977, penerbit Mimbar Berita, Yayasan Pancasila Mulya, mengubah penerbitannya menjadi sebuah majalah mingguan bernama Detik, yang memfokuskan dirinya pada berita kriminal dan detektif (sehingga memiliki slogan "Teman Pencari Keadilan, Partner Bagi Para Penegak Hukum").[5][6] Di tanggal 17 Februari 1986, majalah tersebut diubah kembali menjadi sebuah tabloid bernama sama, dengan slogan dan isi yang sama pula (berita kriminal), namun kurang sukses.[6][7] Akibatnya, tabloid Detik juga mulai membahas tentang hiburan, meskipun SIUPP-nya saat itu (No. 43/SK/Menpen/C.1/1986 di tanggal 17 Februari 1986) adalah untuk tabloid kriminal. Untuk posisi Pemimpin Umum dan Redaksi sendiri (masih) dijabat Abdul Aziz, sedangkan Pemimpin Perusahaan dijabat oleh Rudy Sujana.[8]

Keadaan berubah ketika pada akhir 1992, PT Surya Persindo (milik Surya Paloh) masuk dan menyuntikkan modal ke Yayasan Pancasila Mulya.[7] Ia lalu mengajak budayawan Eros Djarot untuk duduk di kursi Wakil Pemimpin Redaksi, sedangkan Abdul Aziz masih menjadi Pemimpin Umum dan Redaksi.[2] Eros yang kemudian menjadi pengelola sehari-hari tabloid ini, merombak isinya menjadi tabloid mingguan berita dan opini[6] berfokus politik, dengan wajah baru dan nama baru (DëTIK) serta slogan "Bagi Yang Berpikir Merdeka".[2][9] Selain Aziz dan Eros, juga ada pimpinan lain seperti Budiono Darsono yang duduk di kursi Redaktur Pelaksana[10] dan Haryanto Taslam di bagian Sirkulasi.[2] Para pimpinan ini kemudian memperkerjakan 40 wartawan, yang kebanyakan adalah lulusan universitas seperti Universitas Gadjah Mada.[7] Kantor redaksinya kini berpusat di Gondangdia Lama, Jakarta.[2]

Versi baru dari DëTIK kemudian diluncurkan dalam nomor 001/Th. XVII/3 Maret 1993,[2][11] dan selama dua bulan masih dalam bentuk percobaan[6] yang dicetak sebanyak 10.000 eksemplar.[10] Tidak disangka, respon publik pada tabloid ini sangat positif.[11] Dengan berita-beritanya yang tajam dan kritis, seperti menguliti isu suksesi yang tabu di era Orde Baru dan penyimpangan pejabat negara,[2] DëTIK langsung mendapat tempat di berbagai kalangan masyarakat.[12] Tidak hanya berita aktual yang tajam, tabloid DëTIK juga hadir dengan foto-foto, opini dan wawancara mendalam.[7] Dalam waktu setahun, tabloid yang dijual dengan harga Rp 900-1.200 ini, naik sirkulasinya menjadi 215.000 kopi.[7] Menurut pengamat Daniel Dhakidae, perkembangan DëTIK yang pesat ini diperoleh tanpa menggantungkan diri pada pengiklan, melainkan lebih ke isi jurnalistiknya. Di bulan Juni 1994, tabloid ini bahkan menjadi salah satu pemimpin pasar, dengan sirkulasi 600.000 kopi.[1]

Akhirnya, tulisan tabloid ini rupanya tidak menyenangkan rezim Orde Baru. Ketika kasus Bapindo pecah, DëTIK menyiarkan berita yang menyebut peran elit saat itu dalam megaskandal tersebut, belum lagi wawancaranya dengan sejumlah jenderal mengganggu citra Orde Baru yang penuh stabilitas, ditambah mengorek isu suksesi dan persaingan pejabat. Akhirnya, setelah kemarahan Presiden Soeharto pada 9 Juni 1994, pada 21 Juni 1994, Menteri Penerangan Harmoko mencabut SIUPP DëTIK (lewat SK Menpen No. 125/KEP/MENPEN/1994)[13] bersama dua majalah, Tempo dan Editor. Alasan formal yang diberikan adalah karena tabloid ini menyimpang dari SIUPP-nya yang berbasis majalah detektif dan kriminal menjadi tabloid berita politik, meskipun dianggap berbagai kalangan hanya mengada-ada.[14][15] Pemerintah menjelaskan bahwa redaksi tabloid ini sudah berusaha dilakukan "pembinaan", sebelum pencabutan SIUPP-nya, namun gagal.[16] Edisi terakhir DëTIK yang diterbitkan adalah dengan nomor 67/Th. XVII/22-28 Juni 1994.[2]

Perkembangan pasca-bredel

[sunting | sunting sumber]

Untuk menyiasati pembredelan itu, karyawan dan redaksi DëTIK mencoba menerbitkan tabloidnya kembali dalam nama baru: Simponi, di bulan Oktober 1994, setelah membeli dari pemilik lamanya. Tabloid yang sudah terbit sejak 1972 ini kemudian isinya dirombak oleh penulis dan jurnalis yang tidak jauh berbeda dengan DëTIK,[7] dan memiliki slogan "Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa". Sayangnya, usia tabloid ini hanya berumur pendek karena Persatuan Wartawan Indonesia melarang tabloid itu kembali setelah sempat diterbitkan di edisi pertama pada 4 Oktober 1994,[17][18] meskipun sukses menjual 130.000 kopi di edisi tersebut.[7] Pihak DëTIK juga berusaha meminta bantuan Komnas HAM agar pemerintah mengembalikan kembali izin mereka. Ketika ditawarkan pemerintah bahwa mereka dapat terbit kembali dengan syarat harus mengganti kepemilikannya, pihak DëTIK menolak.[15]

Beberapa opini tulisan AS Laksamana yang pernah ditulis dalam tabloid ini, kemudian dibukukan dalam buku berjudul Pödium DëTIK yang diambil dari rubrik bernama sama di tabloid DëTIK.[19]

Eros Djarot sempat menerbitkan tabloid "reinkarnasi" DëTIK bernama DëTAK yang terbit mulai 14 Juli 1998,[2] dengan membawa semangat yang sama seperti DëTIK berupa jurnalisme yang kritis dan mendalam.[15][20] DëTAK sendiri tercatat sempat terjual jutaan kopi dan merajai pasar sesaat setelah peluncurannya.[21] Namun belakangan, tabloid dengan 24 halaman ini[22] mendapat banyak saingan baru yang sejenis,[23] dan kemungkinan karena kalah saing, kini tidak terbit lagi.

Sementara itu, Budiono Darsono dalam perkembangannya bersama rekannya di tabloid ini (Yayan Sopyan) dan seorang redaktur majalah SWA, Abdul Rahman, merintis portal berita detik.com pada Juli 1998.[24] detik.com pada perkembangannya sempat menerbitkan majalah berita mingguan daring Detik pada bulan Desember 2011 selama lima tahun, walau tidak terkait secara langsung dengan tabloid Detik.[25][26]

Referensi

[sunting | sunting sumber]