Cin Mleng
Cin Mleng atau Nok Nik adalah kesenian rakyat yang berasal dari Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga. Kesenian yang berkembang pada zaman Hindia Belanda ini mirip dengan Lenong dari Jakarta, Ludruk dari Surabaya, dan Ketoprak Mataram dari Surakarta dan Yogyakarta. Dialog yang dibawakan dalam kesenian tersebut merupakan cerita umum bertema mengenai kondisi sosial masyarakat. Kesenian ini merupakan salah satu alat perjuangan masyarakat setempat untuk menentang Belanda. Melalui kesenian itu, para pelaku menyampaikan pesan-pesan perjuangan melawan penjajah.
Asal-usul
[sunting | sunting sumber]Menurut Didik Indaryanto selaku ketua Forum Komunikasi Media Tradisional (FK Metra) Tri Sala Salatiga dan pemilik Sanggar Seni Tari Bibasari, kesenian yang berkembang pada zaman Hindia Belanda ini mirip dengan Lenong dari Jakarta, Ludruk dari Surabaya, dan Ketoprak Mataram dari Surakarta dan Yogyakarta. Namun, sejak 50 tahun terakhir, kesenian tersebut nyaris punah karena tidak pernah lagi dimainkan oleh para pelaku kesenian di Kota Salatiga sebagai upaya melestarikan keberadaannya.[1][2]
Didik memperjelas bahwa kesenian yang berasal dari wilayah Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga tersebut merupakan salah satu alat perjuangan masyarakat untuk menentang Belanda. Melalui kesenian ini, para pelaku menyampaikan pesan-pesan perjuangan melawan penjajah.[1][2][3] Namun, untuk memperoleh izin pementasannya saat itu tidaklah mudah. Pentas biasanya dilakukan di desa-desa sebagai hiburan rakyat dan pemerintah Belanda sendiri tentu mengawasinya dengan ketat karena kesenian ini dicurigai sebagai alat propaganda perjuangan kemerdekaan.[4] Salah satu cara yang dilakukan oleh para pelaku kesenian untuk mendapatkan izin dan menyiasati hal itu adalah dengan menyamarkan peran noni Belanda yang diperagakan oleh laki-laki.[1][2] Dikarenakan selalu ada pemeran noni itulah kesenian tersebut juga kerap disebut dengan Nok Nik. Dalam perkembangannya, kesenian ini tidak pernah lagi dimainkan, terutama sejak awal Orde Baru dikarenakan pengaruh politik. Masyarakat takut mementaskannya karena organisasi kesenian tertentu waktu itu dicurigai berhaluan komunisme. Akhirnya, kesenian ini sampai sekarang tidak ada lagi yang memainkannya, sehingga keberadaannya nyaris punah.[4]
Didik menengarai bahwa kesenian ini juga berkembang di wilayah perbatasan antara Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang, yaitu Desa Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Ada beberapa orang di daerah itu yang masih hidup dan dahulu pernah menonton pementasan Cin Mleng. Dia menjelaskan bahwa kata "cin mleng" bukan berasal dari bahasa Tionghoa. Kata tersebut muncul karena orang Jawa sering menirukan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh irama tertentu, yaitu jin-jin pleng dari alat musik terbangan atau jedor. Alat-alat musik itu adalah komponen utama yang mengiringi kesenian Cin Mleng. Selain itu, jika ditelusuri lebih lanjut, kesenian ini malah kental dengan nuansa Timur Tengah.[4]
Unsur kesenian
[sunting | sunting sumber]Kesenian ini dimainkan dengan dialog bertema umum mengenai kondisi sosial masyarakat. Dalam dialognya, para pemeran mengajak berinteraksi dengan penonton dan di sela-sela dialog tersebut terdapat iringan suara gamelan.[3] Para pemeran selalu menari ketika memasuki atau meninggalkan babak dialog. Hal inilah yang membuat unsur komedi terlihat lebih dominan dalam setiap pementasannya, meskipun dalam dialog terkadang terdapat kesan marah. Dalam setiap pementasannya, kesenian ini juga selalu dilengkapi dengan pesindhén. Adapun kostum yang dikenakan oleh para pemainnya adalah pakaian tradisional Jawa,[1][2] sedangkan kostum yang digunakan saat pementasan terakhir oleh FK Metra di Kecamatan Tingkir adalah perpaduan adat Jawa, pesisir, dan Belanda.[4]
Upaya pelestarian
[sunting | sunting sumber]Salah satu forum yang berupaya menggali kembali kesenian ini adalah FK Metra, yang merupakan bentukan dari Dinas Komunikasi dan Informasi.[1] Terakhir, forum tersebut menggelar pementasan kesenian tradisional ini di panggung Kirab Budaya Kecamatan Tingkir pada 8 September 2019.[2] Pementasan itu sendiri masih mencari bentuk ideal seperti aslinya dengan melakukan kajian-kajian dan penelusuran orang-orang yang minimal pernah menontonnya pada zaman dahulu.[4] Forum itu ke depannya terus berupaya agar kesenian Cin Mleng dapat hidup kembali dan menjadi ciri khas kebudayaan tradisional di Kota Salatiga dengan sering melakukan pentas. Selain itu, Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Salatiga, Muhammad Nasirudin, menambahkan bahwa forum ini juga berfungsi untuk menyampaikan informasi mengenai kesenian tersebut kepada masyarakat di berbagai lapisan melalui berbagai media dengan pendekatan seni budaya dan gelar kesenian.[1][2] Penyebarluasan informasi itu tidak hanya melalui media cetak, media elektronik, atau media sosial saja, tetapi juga melalui media seni tradisional.[2]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f "Mencari Kesenian Asli Salatiga yang Nyaris Punah". Suara Merdeka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Desember 2021. Diakses tanggal 21 Agustus 2020.
- ^ a b c d e f g "Seni: Nyaris Punah, Kesenian Cin Mleng Dipentaskan". Suara Merdeka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 September 2021. Diakses tanggal 21 Agustus 2020.
- ^ a b "Cin Mleng". Perpustakaan Digital Budaya Indonesia. Diakses tanggal 21 Agustus 2020.
- ^ a b c d e "Menghidupkan Kesenian Cin Mleng di Salatiga: Kembali Dipentaskan Setelah Setengah Abad". Suara Merdeka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 November 2021. Diakses tanggal 21 Agustus 2020.