De Tjolomadoe

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

De Tjolomadoe adalah bekas pabrik gula yang terletak di Jalan Adi Sucipto No. 1 Malangjiwan, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah, Indonesia. De Tjolomadoe sebelumnya merupakan pabrik gula, kemudian diubah menjadi tempat wisata, landmark bersejarah, pusat konvensi, dan kawasan komersial. Museum ini hanya berjarak 5 menit dari Bandara Internasional Adisoemarmo dan 20 menit dari pusat kota.[1]

Sebelumnya dikenal sebagai Pabrik Gula Colomadu adalah salah satu pengolahan tebu yang pernah berdiri pada masa Hindia Belanda.[2]

Pabrik gula ini memiliki luas 1.3 ha di atas lahan 6.4 ha. Pada tahun 1928, pabrik ini mengalami perluasan area serta perombakan arsitektur.

Sejarah

Latar belakang

Ide mendirikan pabrik gula ini berasal dari Mangkunegara IV. Berawal dari niat untuk melakukan modernisasi perekonomian Mangkunegaran untuk memaksimalkan pemasukan Mangkunegaran.[3] Sebagai langkah awal, Mangkunegaran melakukan reformasi agraria yang dilakukan dengan melakukan pengambilalihan tanah apanage. Pengambilalihan ini mendapatkan ganti rugi, Mangkunegaran memberikan ganti rugi berupa uang sesuai dengan luas tanah yang dan tingkat kesuburan tanah. Selain itu, Mangkunegara IV juga melakukan penghentian kontrak sewa tanah dengan perusaahaan swasta Barat.[4]

Pabrik Gula Colomadu mulai dibangun pada tahun 1861 dengan menghabiskan dana sebesar ƒ400.000. Modal pembangunan pabrik berasal dari bantuan dana dari Gupermen dan Be Bin Cian, seorang mayor Tiongkok di Semarang. Pemilihan nama colomadu yang memiliki arti "gunung madu" tidak memiliki penjelasan resmi. Tetapi jika dilihat dalam tradisi penguasa Jawa nama ini memiliki suatu harapan agar kehadiran pabrik gula ini bisa menjadi alat penghasil kekayaan Mangkunegaran nantinya.[5]

Perkembangan

Keberadaan Pabrik Gula Colomadu sangat membantu penghasilan Mangkunegaran. Ditambah dengan iklim industri gula yang sangat baik pada saat itu menyebabkan surplus pendapatan dari pabrik yang dapat digunakan untuk membayar gaji para bangsawan dan menebus pembayaran tanah apanage yang belum lunas. Keberhasilan ini juga mendorong Mangkunegara IV untuk membangun pabrik gula kedua yang diberi nama Pabrik Gula Tasikmadu.[5]

Namun kejayaan ini tak berlangsung lama. Pada masa Mangkunegara V perkembangan industri gula mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh serangan hama yang merusak perkebunan tebu dan kesalahan manajemen dalam mengelola pabrik yang mengakibatkan defisit anggaran.[6] Tumpukan utang dari pihak swasta yang menumpuk membebani anggaran pabrik yang mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mengambilalih segala urusan keuangan Mangkunegaran termasuk pengelolaan pabrik-pabrik gula.[3]

Pada masa Mangkunegara VI kondisi pabrik-pabrik gula kembali membaik. Hal ini tak lepas dari kebijakan penghematan pengeluaran Mangkunegaran seperti menghapus prajurit margayuda (penjaga pintu), pengurangan pesta-pesta keluarga kerajaan serta pengurangan gaji para bangsawan. Kebijakan ini berhasil memperbaiki kondisi finansial Mangkunegaran sehingga pada tahun 1899 atas permintaan dari Mangkunegara VI pengelolaan pabrik gula milik Mangkunegaran dikembalikan dengan mewajibkan seorang ahli berkebangsaan Belanda sebagai superintendent.

Kejayaan PG Colomadu kembali pada masa pemerintahan Mangkunegara VII. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah panen tebu di PG Colomadu. Pada tahun 1929 PG Colomadu melakukan pemanenan tebu seluas 1187, 47 hektar kebun tebu. Sayangnya kejayaan ini tak berlangsung lama karena krisis malaise yang menimpa Hindia Belanda mengakibatkan intervensi kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap industri gula Mangkunegaran, seperti pengurangan lahan perkebunan tebu, pengaturan penjualan secara terpusat melalui NIVAS (Nederlandsch Indishche Vereeninging voor de Afzet van Suiker).[7]

Masa pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang produksi gula mengalami penurunan dikarenakan pabrik mengalami kesulitan untuk mendapatkan tenaga kerja dan lahan untuk melakukan penanaman tebu. Hal ini tak lepas dari tujuan pemerintah pendudukan Jepang yang memilih untuk melakukan tanaman pangan daripada menanam tebu. Selain itu, alihfungsi pabrik menjadi pabrik semen, amunisi dan butanol juga menjadi penyebab penurunan produksi gula.[3]

Masa kemerdekaan

Adanya Revolusi Sosial di Surakarta pada tahun 1946 mengakibatkan status Daerah Istimewa Surakarta dihapus. Hal ini berdampak pada pengambilalihan semua badan usaha termasuk industri gula milik Mangkunegaran dinasionalisasi oleh pemerintah Republik Indonesia jauh sebelum adanya program nasionalisasi tahun 1957.[8]

Pada tahun 1947 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 memuat tentang Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPPRI) sehingga Pabrik Gula Colomadu menjadi milik pemerintah Republik Indonesia. Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1963 tentang pembentukan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Gula dan Karung Goni yang berpusat di Jakarta memberikan hak dan wewenang kepada PPN dalam mengatur perusahaan pabrik gula seolah-olah merupakan perusahaan yang berdiri sendiri. Pabrik Gula Colomadu masuk wilayah PPN Kesatuan Jateng V. Pada tahun 1968 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 14 tentang pembentukan Perusahaan Nasional Perkebunan (PNP). Pada tahun 1981 dilakukan reorganisasi perkebunan sehingga PNP dibubarkan dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan tanggal 28 April 1981 yang mengatur tentang penggabungan eks PNP XV dan PNP XVI menjadi PT Perkebunan XV-XVI yang berkedudukan di Surakarta.[8]

Memasuki tahun 1990-an produksi gula mengalami penurunan. Hal ini tak lepas dari perubahan struktur lahan di Colomadu yang awalnya merupakan wilayah pertanian berubah menjadi wilayah pemukiman. Kemerosotan produksi gula dan peralihan lahan tebu juga disebabkan oleh regulasi yang berlaku yaitu UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman yang memberikan kebebasan kepada petani untuk mengolah lahannya dengan menanami tanaman yang dianggap menguntungkan.[3] Perubahan juga terjadi pada kondisi sosial masyarakat yang awalnya bekerja sebagai petani beralih menjadi pedagang atau pekerjaan lainnya yang lebih menjanjikan. Seiring dengan merosotnya hasil produksi dan berkurangnya lahan tanaman tebu maka pada tanggal 1 Mei 1997, Pabrik Gula Colomadu melakukan penggilingan terakhir dan berhenti beroperasi.[8]

Alih fungsi

Tahun 2017 beberapa BUMN seperti PT PP (Persero) Tbk, PT PP Properti Tbk. PT Taman Wisata Candi Prambanan, Borobudur, dan Ratu Boko (Persero), dan PT Jasa Marga Properti membentuk Joint Venture dengan nama PT Sinergi Colomadu untuk melakukan restorasi atau revitalisasi dengan mengikuti kaidah cagar budaya dan tetap mempertahankan nilai dan kekayaan historis yang ada. Mesin-mesin raksasa dengan bintik-bintik karat tetap dipertahankan untuk membarikan wawasan sejarah bagi pengunjung.

Proses restorasi sempat terkendala karena selain pabrik ini merupakan bangunan lama, juga sudah berhenti beroperasi selama 20 tahun. Selain itu juga terdapat kesulitan dalam mencari blue print serta foto-foto Pabrik Gula Colomadu.

De Tjolomadoe resmi diluncurkan pada 24 Maret 2018 dengan penambahan koleksi digital di akhir tahun 2018.[1]

Bangunan dan tata letak

De Tjolomadoe memiliki venue yang terdiri dari beberapa ruangan yang memiliki nama sesuai dengan nama asli ruangan saat menjadi Pabrik Gula Colomadu. Stasiun Gilingan akan difungsikan sebagai Museum Pabrik Gula, Stasiun Ketelan sebagai area F&B, Stasiun Penguapan sebagai area Arcade, Stasiun Karbonatasi sebagai area Art & Craft, Besali Cafe sebagai F&B, Tjolomadoe Hall atau concert hall dan Sarkara Hall sebagai multi-function hall. Concert all dapat menampung 2000-3000 pengunjung dengan 520 seat penonton yang tersedia di area tribun hall.[2]

Para wisatawan dapat mengunjungi museum ini dengan tiket masuk seharga Rp35.000,- pada hari Selasa-Kamis pukul 10.00-17.00 WIB dan akir pekan pada hari Jumat-Minggu pukul 10.00-17.00 WIB (Senin tutup).[3]

Pranala luar

Lihat Juga

Referensi

  1. ^ "Museum De Tjolomadoe, Bukti Peradaban Dunia Dipengaruhi oleh Butiran Gula". Diakses tanggal 2023-05-30. 
  2. ^ Idris, Muhammad (2020-06-07). Idris, Muhammad, ed. "PG Colomadu, Simbol Kekayaan Raja Jawa-Pengusaha Pribumi era Kolonial". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-09-29. 
  3. ^ a b c d Virgin, Nalurita Rizkiana (2022-05-12). "Perkembangan Pabrik Gula Colomadu dan Perubahan Kehidupan Ekonomi Masyarakat Tahun 1990-1998". Historia Vitae. Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Sanata Dharma. 2 (1): 36. doi:10.24071/hv.v2i1.3990. ISSN 2797-9415. 
  4. ^ Birsyada, Muhammad Iqbal; Wasino, Wasino; Suyahmo, Suyahmo; Joebagio, Hermanu (2016-06-15). "BISNIS KELUARGA MANGKUNEGARAN". Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. 24 (1): 111–136. doi:10.21580/ws.24.1.975. ISSN 2461-064X. 
  5. ^ a b Wasino (2012-08-06). "Mangkunegara IV, Raja-Pengusaha, Pendiri Industri Gula Mangkunegaran". Humaniora. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada. 17 (1): 31–37. doi:10.22146/jh.825. ISSN 2302-9269. 
  6. ^ Rantikah, Rantikah (2021). "Dinamika Pabrik Gula Tasikmadu di Mangkunegaran Tahun 1917-1935". Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah. Universitas Negeri Yogyakarta. 12 (2). doi:10.21831/moz.v12i2.45618. ISSN 2808-9308. 
  7. ^ Abidah, Salma (2018-10-29). "Perkembangan Perkebunan Tebu di Mangkunegara Tahun 1918-1937". Ilmu Sejarah - S1. Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta. 3 (6). 
  8. ^ a b c Prasetyo, Himawan (2022-07-24). "Tinjauan Sejarah Pabrik Gula Colomadu". Keraton: Journal of History Education and Culture. Universitas Veteran Bangun Nusantara, Sukoharjo. 4 (1): 14–19. doi:10.32585/keraton.v4i1.2663. ISSN 2686-0082. 
  1. De Tjolomadoe, Pabrik Gula Itu Kini Menjadi Destinasi Wisata. travel.kompas.com. Diakses tanggal 2022-05-28.
  2. Museum De Tjolomadoe, Bukti Peradaban Dunia Dipengaruhi oleh Butiran Gula. suarasurabaya.net. Diakses tanggal 2022-05-28.
  3. Museum De Tjolomadoe. detjolomadoe.com. Diakses pada 2022-05-28.