Lompat ke isi

John Prior (Teolog)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 1 Juli 2023 22.08 oleh Servi. Nahak (bicara | kontrib) (Pengaruh formasi dasar SVD)

ANGGOTA SERIKAT SABDA ALLAH (SVD) kelahiran Ipswich-Inggris, 14 Oktober 1946 ini adalah seorang pastor Katolik yang berkarya selama 49 tahun di Maumere-Flores.

Dalam berbagai bukunya John Prior sering merefleksikan identitas seorang misionaris "pelintas batas" yang berakar dalam spirtualitas passing over. Tentang gaya hidup "pelintas batas" ini dia pernah berkisah pada suatu sesi kuliah di Ledalero demikian:

Suatu hari saya diundang dalam jamuan makan malam di Vatikan. Saya semeja dengan para kardinal dan tentu minum anggur terbaik. Pagi-pagi buta saya naik pesawat kelas satu ke Jakarta. Namun, dari Ibu kota ke Flores saya mulai "turun kelas" dengan pesawat baling-baling. Lantas dari Bandara Waioti (Frans Seda, red.) menuju rumahku saya naik angkot. Di lorong menuju Candraditya saya diturunkan konjak dan jalan kaki. Ransel di punggung, sepatu kutenteng melewati jalan berlumpur sehabis hujan. Jadi, pada hari yang sama saya turun dari jantung kekuasaan Katolik menuju jalan berlumpur di kota kecil Maumere. Sukacita seorang misionaris ialah bersentuhan dengan realitas. Kata pepatah Sikka, pupuk terbaik adalah tapak kaki para petani.

Walaupun bekerja di wilayah pinggiran Indonesia, John Prior mempunyai jejaring lintas benua. Julukan "Merambah ke segala arah" mulai dikaitkan dengannya ketika dua jilid buku berjudul Menerobos Batas Merobohkan Prasangka terbit tahun 2011. Artikel para penulis dari berbagai belahan dunia dalam buku tersebut menegaskan tentang pengaruhnya yang luas. Satu dekade kemudian, Hsu Monika kembali menggunakan ungkapan yang sama pada judul buku biografi yang didedikasikan untuk John Prior.

Di kalangan para teolog dan ilmuwan sosial John Prior dikenal sebagai sosok intelektual progresif di kawasan Asia, yang berani menerobos dengan sikap profetis ­kritis, kreatif dan inovatif. Ketika mendengar kematiannya, Edmund Chia, seorang teolog asal Australia, menulis bahwa John telah menjadi seorang figur yang sangat penting dalam teologi Asia. Kontribusi-kontribusi dan pengaruhnya tersebar luas, menjangkau banyak negara dan generasi.

Dalam berbagai tulisannya John Prior mengandalkan pendekatan interdisipliner untuk mengungkapkan kebenaran. Kebenaran empiris­ disingkap lewat pemanfaatan ilmu-­ilmu sosial, sedangkan kebenaran teologis disingkap lewat refleksi biblis, tradisi Gereja, dokumen­-dokumen Gereja dan berbagai kebijakan dan pengalaman pastoral. Dia senantiasa bertolak dari realitas sosial untuk masuk ke dalam realitas iman.

Mengutip Robert Mirsel, coeditor buku kenangannya, kemampuan John Prior untuk mensintesekan pengalaman konkret di medan pastoral dengan refleksi-refleksi teologis yang bersumber dari Tradisi Gereja dan Kitab Suci menjadikannya bak pemain sepak bola serba bisa.

Dia bisa menjadi penjaga gawang dengan membantu Gereja untuk dapat mempertahankan identitas dan hakikatnya yang universal, tetapi dengan memberikan nasihat­-nasihat yang berkaitan dengan dialog antara Gereja universal dengan kebudayaan­-kebudayaan serta tradisi setempat atau menjadi pemain belakang yang berusaha memperlihatkan prinsip-­prinsip yang tepat untuk menjamin kehidupan iman dalam konteks budaya dan tradisi masyarakat tertentu, dalamnya wajah Kekristenan selalu bisa diperbarui (Ecclesia semper reformanda).

Dia juga menjadi pemain tengah yang bisa memperkuat barisan belakang dan pengumpan bola ke barisan depan lewat pemikiran­-pemikirannya yang provokatif dan bersifat membongkar tradisi-­tradisi yang mapan baik dalam Gereja maupun dalam tradisi setempat.

Namun, John Prior juga bisa menjadi pemain depan yang jitu dalam menggolkan ide­-ide pembaruan dalam Gereja. Pemikiran-­pemikirannya yang segar dan menantang tetap mendorong Gereja mulai dari akar rumput hingga elite Gereja untuk melakukan perubahan­-perubahan berarti.

PEMBENTUKAN INTELEKTUAL

John Prior lahir sebagai anak kelima dari enam bersaudara. Ayahnya, Vincent Thomas Prior, seorang karyawan percetakan, yang bertugas menyusun huruf, sedangkan ibunya, Kathleen Mary Mansford, seorang penata rambut.

Ayah dan ibunya sangat memperhatikan pelajaran anak-­anak mereka. Menurut John Prior, ibunya lebih ambisius. Konon, kalau bagi ayah, anak naik kelas atau lulus saja sudah cukup, ibu malah selalu mengusahakan agar anak-­anaknya mendapatkan pendidikan yang bermutu dengan prestasi tinggi. Mereka dimasukkan ke Bockfield College milik Bruder­-bruder de La Salle, sekolah favorit ­anak-anak diplomat. Di sana sistem kelas sosial sangat kuat. Meski demikian, berkat adanya beasiswa, anak­-anak keluarga kelas bawah juga punya akses ke sekolah tersebut, termasuk John Prior dan saudara­-saudaranya. Menarik bahwa justru day boys – sebutan untuk anak-­anak desa yang biasa bersepeda ke sekolah – selalu masuk sepuluh besar setiap semester.

Dengan keadaan ekonomi yang pas­-pasan kedua orangtua John Prior tak pernah bermimpi bahwa anak­-anak mereka dapat meraih doktor. Mereka sudah pasrah dan hanya menargetkan anak-­anak mereka bisa menyelesaikan SMA.

Namun, kenyataannya semua anak berhasil meraih pendidikan akademis yang tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang cukup prestisius. Anak sulung bekerja di bank, anak kedua bekerja di pusat riset Telkom, anak ketiga menjadi biarawan Fransiskan dan mendapat gelar doktor, anak keempat menjadi insinyur dan instruktur untuk perbaikan pesawat terbang, dan John Prior sendiri menjadi teolog, staf pengajar dan peneliti. Adik bungsu mereka dan anak perempuan satu-­satunya, Mary Prior, menjadi dekan di salah satu sekolah tinggi dan mengambil bidang spesialisasi sistem komunikasi.

Menurut John, dari ayah mereka diwarisi ketekunan, sedangkan dari ibu mereka belajar sikap ambisius. Dan justru ambisi inilah yang membuat mereka mampu memperoleh prestasi akademis yang tinggi dan mendapat beasiswa dari pemerintah untuk studi mereka.

Kedua orangtua menanamkan semangat membaca pada diri anak­-anaknya. Anak-anak diwajibkan meminjam buku-­buku di perpustakaan daerah dan orang tua memantau sejauh mana mereka sungguh membaca. Biasanya anak-anak diminta untuk menceritakan kembali isi ringkas setiap buku yang mereka baca. Pada akhir pekan buku lama dikembalikan dan buku baru dipinjam lagi. Ibu mereka juga selalu memperhatikan pekerjaan rumah anak-­anak dan mendorong mereka untuk belajar dengan tekun dan sungguh­-sungguh.

Pendidikan Menengah dan Tinggi

Sejak di Bockfield College John Prior berminat pada sastra Inggris, sejarah, ilmu sosial, agama, matematika, dan beberapa kali mendapat hadiah pada saat naik kelas karena mendapat nilai sangat bagus. Di kelas II SMA dia mulai menaruh minat pada Kitab Suci. Tahun 1965­-1968 John Prior mulai belajar filsafat, pengantar Kitab Suci dan sosiologi di Donamon Castle, Irlandia.

Les sosiologi yang diajarkan Michael Laughlin sangat menarik minatnya. Dosen jebolah salah satu universitas di Amerika ini memberi kuliah teologi dogmatik tetapi dengan pendekatan sosiologis. Sejak itulah ia sangat suka menggabungkan studi Kitab Suci dan teologi dengan ilmu­-ilmu sosial. Sosok lain yang juga menanamkan minat dan memberi pengaruh pada John Prior dalam hal riset adalah Michael Higgins, dosen metodologi.

Tahun 1968-­1972 ia belajar teologi dan antropologi sosial di Missionary Institute London (MIL), Inggris. Di lembaga inilah ia sendiri mengakui dipengaruhi oleh sejumlah pemikir dan pemikiran yang sangat banyak memberi arti kepada hidup dan karyanya di kemudian hari. Ia aktif dalam pertemuan-­pertemuan teologi di Dublin. Pertemuan-­pertemuan ini menggugat berbagai pendekatan lama dalam teologi, hal yang kemudian mencemaskan John Charles McVey, Uskup Dublin pada waktu itu, sehingga ia meminta untuk menghentikan dan membungkam para mahasiswa dan anggota kelompok diskusi ini.

Beberapa dosennya yang memberi andil dan pengaruh bagi pembentukan watak intelektualnya antara lain Mary Douglas dan Adrian Edwards, Jack Goody, Evans Pritchard (keempatnya mengajar antropologi sosial), Geoffrey Parrinder (pengantar Islam), Douglas Hyde (kepemimpinan dan keadilan sosial internasional), Agnellus Andrew OFM dan Wyndham Goldie (politik dan persoalan­-persoalan aktual), Louis Marteau (psikologi pastoral), Jack Dominian (teologi seks), Arthur McCormack, MHM (demografi), Clifford Howell, SJ dan Harold Winston (liturgi).

Selama di MIL, John aktif dalam diskusi dan kelompok-­kelompok ilmiah. Dia pernah menjadi wakil mahasiswa pada Dewan Akademik dan terlibat aktif dalam Student Christian Movement (SCM) sejak 1968 hingga 1973. Aktivitas akademis tersebut membuka wawasannya lebih luas kepada dunia lain di luar Inggris dan Eropa, terutama ke Amerika Latin karena perjumpaannya dengan Helder Camara (uskup Agung Refice, Brazil) dan Daniel Berrigan SJ, penyair yang pernah dipenjarakan karena melawan perang Vietnam.

Tahun 1970 John Prior diangkat menjadi anggota Dewan Pelaksana SCM Inggris-­Irlandia, yang membawanya ke sejumlah pertemuan nasional dan internasional, termasuk di dalamnya pertemuan Dewan Gereja-­gereja se-­Eropa (Council of European Churches) di Jerman. Tahun 1970­-1972 John Prior menjadi wakil mahasiswa pada Dewan Direksi Penerbit SCM, yang memperbesar minat menulisnya di waktu-­waktu kemudian.

Sesudah ditahbiskan imam pada 21 Mei 1972, John kembali ke London untuk mengikuti ujian pasca-sarjana dalam bidang studi agama (religious education) di Universitas Cambridge, Inggris. Di lembaga ini ia belajar Kitab Suci dan teologi patristik. Pada tahun 1973 ia tiba di Indonesia.

Pada tahun 1987 John Prior meraih gelar Ph.D di bidang teologi interkultural di Universitas Birmingham, Inggris, dengan disertasi berjudul Church and Marriage in an Indonesian Village. Setelah itu, John Prior kembali ke Indonesia dan menjadi pengajar di STFK Ledalero (sekarang IFTK Ledalero) dan di sejumlah tempat baik di Indonesia maupun di luar negeri hingga akhir hidupnya.

Pengaruh Formasi Dasar SVD

Dalam Jurnal Verbum edisi 2018 John Prior menulis satu artikel tentang ziarah hidupnya sebagai misionaris serikat Sabda Allah (SVD). Ia mengangkat beberapa kejadian kunci yang dialaminya pada tahun awal formasinya di dalam SVD, lalu menelaah inspirasi dan dampaknya yang tetap bertahan untuk hidup pribadi dan keterlibatan misionernya. John mengatakan bahwa tahun 1968 memberi bentuk pada pola seumur hidup.

Konsili Vatikan II tahun 1965 membawa perubahan dan guncangan untuk banyak orang yang hidup pada tahun-tahun awal pasca Konsili. Tentang masa novisiat tahun 1968, John menulis, "Jadwal novisiat memberi kami konsistensi lahiriah yang terlihat dan jelas, sementara diri kami sendiri nomaden tanpa henti, dalam ziarah penemuan yang konstan".

Ia mencatat bahwa pada tahun-tahun itu, tiga rektor komunitas di mana dia tinggal waktu itu secara berturutan meninggalkan SVD. Lalu, seorang konfrater yang sangat baik, John melukiskan sebagai berikut, "Dia menerima kami apa adanya dan mendorong kami untuk menerima karunia-karunia pribadi dan menjadi orang yang kami sendiri kehendaki. Kami diberi kebebasan untuk mencari dan menemukan."

Konfrater tersebut bekerja di Novisiat, bermisi ke Caribia, lalu kembali ke Irlandia, dan kemudian meninggalkan SVD dan malah keyakinan religiusnya. John lalu menulis kalimat kunci berikut ini:

Kami condong untuk hidup dengan ketidakpastian tertentu yang genting. Namun, yang lebih penting untuk dipahami bahwa kami harus bertanggungjawab secara pribadi atas panggilan kami. Dan, kami menjadi lebih bebas. Tidak terlalu bergantung pada afirmasi atau penilaian negatif dari orang lain.

Pastor Eman Embu, dalam khotbah pada misa pemakaman mengatakan, kepribadian John Prior yang mandiri dan kukuh, tolak bungkam, tolak tunduk, orang yang lurus atau malah orang menyebutnya subversif atau provokatif lantaran ia sering keluar dari kelaziman, sejatinya sudah dibentuk sejak masa novisiat.

Ia merasa tak aman dengan kemapanan. Ia seorang yang lurus dan dapat mengatakan apa adanya di tengah budaya diam dan sopan-santun orang Indonesia kebanyakan. Menurutnya, keterbukaan merupakan tanda kasih yang otentik terhadap yang lain. Bahkan, ia sangat kritis terhadap budaya feodal dan klerikalisme yang menghantui pendidikan calon imam Katolik.

Menurut Pastor Eman Embu, hidup hariannya asketik. Ia menerapkan standar yang tinggi untuk dirinya sendiri dalam penghayatan kaul-kaul religius. Semua penghasilan dimasukkan ke komunitas; termasuk intensi misa yang tak seberapa besarnya. Laporan-laporan keuangan dalam kegiatan-kegiatan yang ia jalankan dibuat dengan teliti. Ia tak punya buku bank dan mobil pribadi. Ia terbuka, berupaya membangun relasi yang dewasa dan adil dengan orang lain. Ia taat dan punya komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugas-tugas misioner. John mempunyai marwah dan integritas dalam memberikan kesaksian dan berbicara tentang tuntutan-tuntuan Injili bagi orang-orang religius.

"Irama hidupnya di rumah hampir selalu tetap: jam 04.00 atau 04.30 bangun. Mungkin di antara jam 04.00 dan jam 04.30 dia sembahyang atau bermeditasi, tetapi sekurang­-kurangnya jam 04.30 John Prior sudah di kantor. Saya tahu, dia sedang mengakses internet atau membaca koran, tabloid atau buletin langganannya guna meng­-update pengetahuan. Tidak mengherankan kalau John selalu tahu apa yang sedang terjadi secara aktual di dunia setiap hari tanpa sekalipun menonton televisi," kenang Robert Mirsel, rekan peneliti di Puslit Candraditya.

Ada banyak contoh yang menjelaskan tentang integritas dan keteguhan pribadinya. Ketika orang masih tabu atau enggan, misalnya, bicara tentang pelecehan seksual dalam Gereja, John, dengan berani mengatakannya. Ia punya empati dan keberpihakan pada para korban. Kritiknya jelas dan tegas terhadap otoritas Gereja yang melindungi pelaku kejahatan seksual. Ia tanpa rasa takut mengatakan apa yang dia yakini dalam keterlibatan misionernya.