Lompat ke isi

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 15 Juli 2023 14.41 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Memperbaiki pengalihan ganda ke Asy-Syafi'i)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Halaman pengalihan

Mengalihkan ke:

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (dikenal sebagai Imam Syafi'i) adalah pendiri Mazhab Syafi'i.[1] Ia termasuk salah satu Tabi'ut tabi'in.[2] Asy-Syafi'i merupakan salah satu ulama yang berpengaruh di bidang fikih melalui kitab yang ditulisnya dengan judul Al-Umm.[3] SiIsilah dari asy-Safi'i terhubung ke Nabi Muhammad dari jalur suku Quraisy melalui Abdu Manaf bin Quraisy.[4] Ia belajar dari banyak guru, antara lain dari Muslim bin Khalid az-Zanji, Ibrahim bin Sa'ad, dan Malik bin Anas. Asy-Syafi'i juga memiliki banyak murid antara lain Sulaiman bin Dawud al-Hasyimi, Abu Bakar ‘Abd Allah bin al-Zubair al-Humaidi, Ahmad bin Hanbal, Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwaithy, al-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady, dan al-Rabi’ bin Sulaiman al-Jiziy.[5]

Kelahiran[sunting | sunting sumber]

Tahun lahir[sunting | sunting sumber]

Para sejarawan menyepakati bahwa asy-Syafi'i dilahirkan pada tahun 150 Hijriah bertepatan dengan tahun kematian Abu Hanifah. Pendapat mengenai ketepatan tahun kelahiran asy-Syafi'i dengan meninggalnya Abu Hanifah dipersoalkan kebenarannya. Pendapat yang mendukung kelahiran asy-Syafi'i bertepatan dengan kematian Abu Hanifah hanya berasal dari informasi yang disampaikan oleh Abul Hasan Muhammad bin Husain bin Ibrahim. Ia memberitahukan informasi ini di dalam bukunya yang berjudul Manâqibusy Syafi'i dengan sanad jayyid. Dalam bukunya, kelahiran asy-Syafi'i yang bertepatan dengan hari kematian Abu Hanifah disampaikan oleh Ar-Rabi' bin Sulaiman. Pendapat ini dianggap kurang benar, karena penggunaan kata "yaum" yang diartikan sebagai hari kematian di dalam pernyataannya, dapat pula diartikan sebagai masa atau zaman. Beberapa pendapat lain juga menyebutkan bahwa Abu Hanifah wafat pada tahun 151 Hijriah atau 153 Hijriah. Semua pendapat ini memiliki kesamaan, yaitu tidak mengetahui bulan wafatnya Abu Hanifah. Dari pendapat-pendapat tersebut, disepakati bahwa asy-Syafi'i lahir pada tahun 150 Hijriah dengan bulan kelahiran yang tidak dapat dipastikan.[6]

Tempat lahir[sunting | sunting sumber]

Informasi mengenai tempat kelahiran asy-Syafi'i ada dalam banyak riwayat dengan lokasi yang berbeda. Pendapat yang paling umum adalah asy-Syfi'i lahir di kota Gaza. Sedangkan riwayat lainnya menyatakan bahwa asy-Syafi'i lahir di Ashkelon atau di Yaman. Riwayat yang menyatakan kelahirannya di Ashkelon adalah oleh Ibnu Abi Hatim dari Amr bin Sawad. Dalam riwayat ini, asy-Syafi'i hidup di Ashkelon hingga usia dua tahun, lalu ibunya membawanya ke Makkah setelahnya. Sementara riwayat kelahiran di negeri Yaman berasal dari riwayat Ibnu Abi Hatim melalui Abdullah bin Wahb yang merupakan keponakan dari asy-Syafi'i. Dalam riwayat ini, asy-Syafi'i dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah pada usia 10 tahun. Sementara dalam riwayat Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi dengan sanad dari Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakim, asy-Syafi'i dilahirkan di Gaza lalu kemudian ibunya membawanya ke Ashkelon.[7] Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi kemudian menyatukan beberapa pendapat tersebut dan menetapkan bahwa asy-Syafi'i dilahirkan di Gaza pada lingkungan keturunan Yaman lalu kemudian pindah ke Ashkelon dan pindah lagi ke Makkah.[8]

Ibnu Hajar al-'Asqalani lebih lanjut mengatakan bahwa Gaza adalah nama sebuah kampung di kota Ashkelon. Sehingga riwayat-riwayat sebelumnya tidak saling bertentangan tetapi saling mendukung satu sama lain. Ibnu Hajar juga menambahkan pendapatnya bahwa asy-Syafi'i dibawa oleh ibunya ke Hijaz karena ibunya berasal dari salah satu suku di negeri Yaman, yaitu suku Azdiyah. Di Hijaz, ia hidup bertetangga dengan penduduk yang berasal dari suku-suku di Yaman.[8]

Silsilah[sunting | sunting sumber]

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i merupakan keturunan dari suku Quraisy. Informasi ini berasal dari penyebutan Muhammad bin Ismail al-Bukhari mengenai dirinya. Al-Bukhari menyebut asy-Syafi'i dengan nama Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Quraisyi. Pendapat ini ditolak oleh kelompok pengikut mazhab Maliki dan mazhab Hanafi yang fanatik. Mereka meyakini bahwa hubungan antara Muhammad dengan garis keturunan asy-Syafi'i hanya sebatas persahabatan.[9]

Ibnu al-Jauzi menyebutkan bahwa nama lengkap dari asy-Syafi'i adalah Abu Abdillah Muhamad bin Idris bin Abbas bin Usman bin al-Syafi` bin al-Saib bin Ubaid bin Yazid bin Hasyim bin al-Muthallib bin Abd al-Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib. Dalam penamaan ini, Ghalib adalah putra dari Fihr yang mempunyai julukan Quraisy. Selain itu, terdapat silsilah yang lebih panjang dari Fihr yaitu ia sebagai anak dari Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan bin Udd bin Udad.[10]

Masa muda[sunting | sunting sumber]

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i merupakan anak yatim sejak kelahirannya. Ia hanya hidup bersama dengan ibunya di Gaza dengan kemiskinan. Pada usia dua tahun, ia dibawa oleh ibunya untuk diperkenalkan pada keluarganya di Makkah. Kemudian, pada usia sepuluh tahun, ia dan ibunya pindah ke Makkah.[11] Tujuan dari ibunya adalah untuk menjaga garis keturunannya hilang atau dilupakan.[8] Setelah tinggal di Makkah. asy-Syafi'i mulai menghafalkan Al-Qur'an dan menyelesaikan hafalannya pada usia tujuh tahun.[12]

Pengembaraan dan pengasingan[sunting | sunting sumber]

Pedusunan suku Hudzail[sunting | sunting sumber]

Asy-Syafi'i mulai mengadakan pengembaraan ketika memasuki usia dewasa. Ia mengawali pengembaraannya dengan meninggalkan Makkah menuju ke pedusunan suku Hudzail. Di dusun-dusun tersebut, ia mulai menghafal dan belajar mengenai syair-syair suku Hudzail. Syair-syair dan bahasa Arab dari suku Hudzail merupakan salah satu yang memiliki kefasihan yang tinggi. Di pedusunan ini, ia mempelajari tentang syair, sejarah, peperangan bangsa Arab dan sastra Arab.[13]

Pengembaraan ke Madinah[sunting | sunting sumber]

Asy-Syafi'i mulai tertarik kepada ilmu fikih setelah pertemuannya dengan Mush'ab bin Abdullah az-Zubairi. Dalam pertemuan ini, az-Zubairi mengungkapkan bahwa ilmu syair yang dipelajari oleh asy-Syafi'i akan menghilangkan perangainya sebagai manusia jika ia tidak menyertainya dengan ilmu fikih. Pertemuan ini membuatnya mulai berminat pada ilmu fikih dan mengawali pembelajarannya dengan seorang guru bernama Muslim bin Khalid az-Zanji. Gurunya ini merupakan mufti di Makkah pada masanya. Setelah belajar dari az-Zanji, asy-Syafi'i kemudian menuju ke Madinah untuk belajar ke Malik bin Anas atas perintah dari az-Zanji.[14]

Sebelum keberangkatannya ke Madinah, asy-Syafi'i mengambil surat dari Gubernur Makkah yang akan diberikan kepada Gubernur Madinah dan Malik bin Anas. Setibanya di Madinah, Asy-Syafi'i bertemu dan menyerahkan surat tersebut untuk dibaca oleh Gubernur Madinah. Isi surat itu adalah perintah untuk menemui Malik bin Anas. Keduanya kemudian mengalami percakapan yang menyiratkan bahwa Malik bin Anas sangat sulit untuk ditemui.[15] Keduanya akhirnya pergi bersama menemui Malik bin Anas di rumahnya pada waktu ashar.[16] Malik bin Anas menerima asy-Syafi'i sebagai muridnya dan memintanya datang keesokan harinya untuk memperoleh pengajaran mengenai kitab Muwatta Malik. Asy-Syafi'i kemudian tinggal menetap di Madinah hingga Malik bin Anas wafat.[17] Selama tinggal di Madinah, asy-Syafi'i tetap mengunjungi ibunya di Makkah dan menyempatkan diri untuk belajar syair dari suku Hudzail dan belajar dari para ulama di Makkah. Menurut beberapa riwayat, pengembaraan asy-Syafi'i ke Madinah dimulai pada tahun 163 Hijriah ketika ia berusia 13 tahun. Sedangkan wafatnya Malik bin Anas pada tahun 179 Hijriah. Setelah kematian Malik bin Anas, asy-Syafi'i kembali ke Makkah.[18]

Pengembaraan ke Yaman[sunting | sunting sumber]

Sekembalinya asy-Syafi'i ke Makkah, ia tidak langsung melakukan pengembaraan ke Yaman karena kemiskinan. Ia hanya mendengarkan mengenai ilmu para ulama di Yaman dari para sahabatnya yang sering berkunjung ke sana. Pada masanya, pemuka ulama di Yaman hanya dua orang yaitu Hisyam bin Yusuf dan Mutharrif bin Mazin. Kedua ulama ini merupakan sahabat dari Ibnu Juraij.[19] Asy-Syafi'i akhirnya melakukan pengembaraan ke Yaman setelah ibunya meminta para saudaranya untuk memohon kepada seorang pejabat di Yaman untuk mengikutsertakannya dalam perjalanan ke Yaman. Biaya perjalanan ini dibayarkan oleh ibunya dengan 16 Dinar setelah menggadaikan rumahnya. Setelah menetap di Yaman, asy-Syafi'i memperoleh pekerjaan selama di sana.[20]

Pengasingan ke Irak[sunting | sunting sumber]

Asy-Syafi'i menjadi terkenal di Yaman karena keilmuannya. Pada masa ini, ia hidup di dalam pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid. Salah satu panglima dari kehalifahan mengirimkan surat kepada khalifah yang berisi hasutan yang berkaitan dengan keamanan pemerintahannya di negeri Hijaz. Dalam surat ini, panglima tersebut menghasut Harun Ar-Rasyid untuk mengasingkan Alawiyyin yang salah satunya ialah asy-Syafi'i.[21] Setelah Harun Ar-Rasyid membaca surat tersebut, ia memerintahkan kepada Gubernur Yaman untuk mengasingkan Alawiyyin ke Irak, termasuk asy-Syafi'i. Selama perjalanan menuju ke Irak, mereka disiksa dengan kedua tangan dirantai. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa setelah sampai di Irak, Alawiyyin dipertemukan dengan Harun Ar-Rasyid.[22] Pertemuan antara Harun Ar-Rasyid dengan asy-Syafi'i terjadi ketika asy-Syafi'i berusia 30 tahun pada tahun 184 Hijriah di Bagdad. Selama pertemuan ini terjadi percakapan antara keduanya yang diamati oleh Muhammad bin al-Hasan. Hasil dari pertemuan ini membuat asy-Syafi'i dibebaskan dari tuduhan yang diberikan kepadanya.[23]

Pengajaran[sunting | sunting sumber]

Pengajaran di Makkah[sunting | sunting sumber]

Asy-Syafi'i kembali ke Makkah setelah berguru dari para ulama di Irak. Ia meyakini bahwa ilmu yang diperolehnya dari ulama di Hijaz dan Irak telah cukup untuk memulai pengajaran. Setibanya di Makkah, ia menjadi pengajar di Masjidil Haram. Pengajian utamanya berlangsung selama masa haji di Makkah.[24] Asy-Syafi'i mengajar di Makkah sekitar 9 tahun sebelum memulai perjalanan ke Irak.[25] Pada tahun 195 Hijriah, ia melakukan perjalanan ke Irak atas keinginannya sendiri. Ia mendapatkan dukungan dari masyarakat di Bagdad atas pengajarannya.[25] Asy-Syafi'i mengadakan pengajaran di Irak dan di Makkah secara bergantian. Ia mengadakan perjalanan secara bolak-balik. Ia datang ke Irak pada tahun 195 Hijriah dan menetap selama dua tahun untuk tinggal selama beberapa bulan. Setelah itu, asy-Syafi'i pindah ke Mesir.[26]

Pengajaran di Mesir[sunting | sunting sumber]

Asy-Syafi'i meninggalkan Irak akibat dari peristiwa yang terjadi di ibu kota kehalifahan. Pada masa tersebut yang menjadi khalifah adalah Ma'mun Ar-Rasyid. Pada masa pemerintahannya, kekuasaan di dalam pemerintahan dipengaruhi oleh para ulama ilmu kalam. Kondisi ini membuat sunnah mulai ditinggalkan dan bid'ah mulai bermunculan.[26] Beberapa bahaya yang ditimbulkannya ialah ditetapkan hukum halal dalam pembunuhan ulama dan hukuman penjara bagi mereka. Kondisi ini timbul karena Ma'mun Ar-Rasyid menjadikan para ulama ilmu kalam sebagai sahabat dan penulis keputusan-keputusannya. Bahaya terbesar yang timbul pada masa ini ialah anggapan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Akhirnya, asy-Syafi'i memilih untuk pindah ke negeri yang belum terpengaruh oleh ajaran filsafat. Ia memutuskan untuk pindah ke Mesir. Alasan pemilihannya ini ialah bahwa Mesir pada saat itu memperoleh pengaruh dari Mazhab Maliki yang melandaskan pemikirannya dari hadits serta menjauhi bid'ah dan ilmu kalam.[27] Setelah tiba di Mesir, asy-Syafi'i mengajar di Masjid Amr bin Al-'Ash.[28]

Kewafatan[sunting | sunting sumber]

Masa-masa terakhir dari kehidupan asy-Syafi'i disibukkan dengan kegiatan berdakwah di Mesir. Karena kesibukannya ini, ia menderita penyakit bawasir hingga mengeluarkan darah. Asy-Syafi'i tetap melanjutkan pekerjaannya dalam kondisi sakit hingga ia wafat pada bulan Rajab tahun 204 Hijriah.[29]

Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Ia belajar ilmu Al-Qur'an dari gurunya yang bernama Isma'il bin Qasthanthin. Pelajaran yang diperolehnya berasal dari riwayat Syibl, dari Ibnu Katsir, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Ubay bin Ka'ab dan bersambung ke Nabi Muhammad.[30] Asy-Syafi'i kemudian belajar kepada Muslim bin Khalid az-Zanji lalu ke Malik bin Anas.[30] Kitab Muwatta Malik telah ia hafal ketika berusia 10 tahun.[30] Asy-Syafi'i belajar kepada Malik bin Anas di Madinah ketika berusia 10 atau 12 tahun. Ia mempelajari kitab Muwatta Malik. Sebelum memplejarinya, ia terlebih dahulu telah menghafalkannya.[31] Pada usia 15 tahun atau 18 tahun, asy-Syafi'i belajar dari Muslim bin Khalid az-Zanji dan memberikan fatwa atas izinnnya.[30] Ia juga belajar bahasa Arab, syair dan balagah dari suku Hudzail. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa asy-Syafi'i belajar dari suku Hudzail selama 10 tahun atau 20 tahun.[30]

Karya tulis[sunting | sunting sumber]

Asy-Syafi'i menulis banyak kitab diantaranya ialah al-Umm, al- Risalah, al-Muhadzab, Mugh al-Muhtaj, Fath al-Wahhab, Nihayah al-Muhtaj, I’anah al-Thalibin, al-Asybah al- Nazhair, Fiqh al-Ibadah, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, dan Fat’u al-Mu’in.[32] Dua karyanya secara khusus mengkaji tentang ushul fikih yaitu Al-Umm dan Ar-Risalah.[33]

Guru-guru[sunting | sunting sumber]

Muhammad bin al-Hasan[sunting | sunting sumber]

Asy-Syafi'i mulai berguru kepada Muhammad bin al-Hasan setelah ia mengatasi tuduhan yang ditujukan kepadanya di Irak. Dari Muhammad bin al-Hasan, ia belajar tentang ilmu fikih dan hadits dari jalur periwayatan ulama di Irak. Asy-Syafi'i menuliskan buku-buku yang kemudian dibacakan kepada Muhammad bin al-Hasan untuk didengarnya. Keduanya sering mengalami perselisihan dan perdebatan akibat perbedaan pendapat. Perselisihan ini merupakan akibat dari sumber keilmuan. Muhammad bin al-Hasan menggunakan akal sebagai sumber utama, sedangkan asy-Syafi'i mengutamakan penggunaan hadits.[34]

Mazhab Syafi'i[sunting | sunting sumber]

Asy-Syafi'i mendasarkan hukum-hukum Islam di dalam mazhab Syafi'i melalui argumentasi yang dilandasi oleh keputusan hukum dari para Sahabat Nabi. Ini dilandasi oleh kelangsungan hubungan antara Nabi Muhammad dengan mereka. Hubungan ini membuat sumber hukum Islam dapat diperoleh melalui tindakan dan ucapan Nabi Muhammad serta dari keputusan para Sahabat Nabi yang berdasarkan kepada pengamatan mereka terhadap sunnah.[35] Selain menggunakan Al-Qur'an dan sunnah, asy-Syafi'i juga menggunakan ijtihad untuk memutuskan suatu hukum di dalam Islam. Metode ini ia landasi sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Ash oleh Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Imam Muslim, dan Ahmad bin Hanbal mengenai pahala dari ijtihad. Dalam hadits ini disebutkan bahwa ijtihad memperoleh dua pahala ketika keputusannya benar, dan memperoleh satu pahala jika keputusannya salah. Dalam artian ini, ijtihad merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad.[36] Metode lain yang digunakan oleh asy-Syafi'i dalam menetapkan hukum Islam adalah kias.[37] Asy-Sayfi'i juga menerima penggunaan istishhab dalam fikih.[38] Sebaliknya, asy-Syafi'i menolak penggunaan istihsan dan menyatakan kedudukannya sebagai haram ketika tidak lagi bersesuaian dengan ayat Al-Qur'an dan sunnah. Ini disampaikannya dalam bukunya yang diberi judul Ar-Risalah.[39]

Mazhab Syafi'i berkembang di dua negara yang ada di Asia Tenggara, yaitu Indonesia dan Malaysia.[40] Masyarakat di Nusantara mulai menggunakan kitab kuning dari mazhab Syafi'i yang berasal dari Mesir pada abad ke-13 Masehi.[41] Beberapa kesultanan di Nusantara telah menerapkan syariat Islam yang didasari oleh Mazhab Syafi'i sebelum kedatangan Perusahaan Hindia Timur Belanda. Beberapa kesultanan ini ialah Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Aceh, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, Kesultanan Ternate, Kesultanan Buton, Kesultanan Sumbawa, Kesultanan Palembang dan Kesultanan Pontianak. Penerapan syariat Islam ini diserahkan kepada lembaga peradilan yang dilaksanakan oleh para ulama. Nama lembaga peradilan ini berbeda-beda di tiap kesultanan.[42]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 59.
  2. ^ Marzuki 2017, hlm. 104.
  3. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 107.
  4. ^ Hudaya 2017, hlm. 61.
  5. ^ Hudaya 2017, hlm. 62.
  6. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 17.
  7. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 18.
  8. ^ a b c Al-'Aqil 2018, hlm. 19.
  9. ^ Afrizal 2020, hlm. 18.
  10. ^ Afrizal 2020, hlm. 20.
  11. ^ Misbah 2016, hlm. 34.
  12. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 20.
  13. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 22.
  14. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 23.
  15. ^ Al'Aqil 2018, hlm. 24.
  16. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 25.
  17. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 25-26.
  18. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 26.
  19. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 27.
  20. ^ Al-Aqil 2018, hlm. 27-28.
  21. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 28.
  22. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 29.
  23. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 32.
  24. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 35.
  25. ^ a b Al-'Aqil 2018, hlm. 37.
  26. ^ a b Al-'Aqil 2018, hlm. 38.
  27. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 39.
  28. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 40.
  29. ^ Al-'Aqli 2018, hlm. 41.
  30. ^ a b c d e Al-'Aqil 2018, hlm. 21.
  31. ^ Misbah 2016, hlm. 35.
  32. ^ Rohmansyah 2018, hlm. 44.
  33. ^ Rohmansyah 2018, hlm. 43.
  34. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 33.
  35. ^ Marzuki 2017, hlm. 99.
  36. ^ Marzuki 2017, hlm. 105-106.
  37. ^ Marzuki 2017, hlm. 117.
  38. ^ Marzuki 2017, hlm. 121.
  39. ^ Marzuki 2017, hlm. 118.
  40. ^ Adawiyah 2019, hlm. 11.
  41. ^ Adawiyah 2019, hlm. 104-105.
  42. ^ Adawiyah 2019, hlm. 105-106.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]