Lompat ke isi

Hokushin-ron

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 24 Juli 2023 22.37 oleh Rafka Aditia (bicara | kontrib) (Menerjemahkan)
Peta rencana Hokushin-ron yang menggambarkan rencana serangan ke Uni Soviet. Tanggal di gambar ini menunjukkan tanggal ketika Jepang memperoleh wilayah tersebut.

Doktrin Ekspansi Utara (北進論, Hokushin-ron atau Jalan Utara) adalah doktrin politik di Kekaisaran Jepang sebelum meletusnya Perang Dunia II yang menyatakan bahwa Manchuria dan Siberia adalah wilayah yang penting untuk ekspansi ekonomi dan wilayah Jepang. Pendukung doktrin ini kadang-kadang disebut Kelompok Serangan Utara.

Doktrin ini didukung oleh banyak orang di Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang selama periode antarperang, tetapi pada akhirnya dibatalkan pada tahun 1939 setelah kekalahan Jepang dalam Pertempuran Khalkhin Gol di Mongolia (di Jepang disebut insiden Nomonhan).

Doktrin ini digantikan oleh doktrin "Doktrin Ekspansi Selatan" (南進論, Nanshin-ron atau Jalan Selatan), yang menganggap Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik sebagai bagian dari lingkup pengaruh politik dan ekonomi Jepang dan bertujuan untuk mengambil sumber daya di koloni-koloni Eropa sembari menetralisir ancaman militer Barat di Pasifik.

Asal-usul

Pada saat Perang Tiongkok-Jepang Pertama tahun 1890-an, Hokushin-ron mendominasi kebijakan luar negeri Jepang. Kebijakan itu memandu dalam invasi Jepang ke Taiwan (1895) dan perjanjian Jepang–Korea 1910, yang menganeksasi Korea ke Jepang.[1] Setelah Perang Rusia-Jepang (1904-1905) Marsekal Lapangan Pangeran Yamagata Aritomo, seorang arsitek ideologi politik dan militer dari Hokushin-ron, menelusuri garis strategi pertahanan dalam melawan Rusia. Pedoman Pertahanan Kekaisaran Nasional Februari 1907 membayangi dua startegi: Nanshu Hokushin Ron (南守北進, pertahanan di selatan dan maju di utara) dan Hokushu Nanshin Ron (北守南進, pertahanan di utara dan maju di selatan).[2] Ada wacana intens di Jepang tentang dua teori yang berbeda. Setelah Perang Dunia I, pasukan Jepang dikerahkan sebagai bagian dari intervensi Siberia selama intervensi Sekutu pada Perang Saudara Rusia, dengan harapan bahwa Jepang bisa terbebas dari ancaman Rusia selanjutnya dengan memisahkan Siberia dan membentuk sebuah negara penyangga yang merdeka.[3] Pasukan Jepang bertahan hingga tahun 1922, yang mendorong diskusi oleh perencana startegis Jepang tentang gagasan pendudukan permanen Jepang di Siberia di timur Danau Baikal.[1]

Invasi ke Manchuria

Sebuah langkah penting dalam proposal Hokushin-ron adalah bagi Jepang dalam merebut kendali atas Manchuria untuk mendapatkan perbatasan darat yang luas dengan Uni Soviet. Pembangkangan oleh personel militer Jepang yang nakal di Tentara Kwantung pada tahun 1931 menyebabkan insiden Mukden dan memberikan dalih untuk invasi Jepang ke Manchuria. Karena Tentara Kwantung memiliki 12.000 orang yang tersedia untuk invasi ke Manchuria, diperlukanlah bala bantuan. Menteri Perang Sadao Araki adalah pendukung kuat Hokushin-ron dan usulan penyerangan ke Timur Jauh Soviet dan Siberia. Dia mengatur agar Tentara Chōsen dipindahkan dari utara Korea ke Manchuria tanpa izin dari Tokyo untuk mendukung Tentara Kwantung. Alur untuk merebut Manchuria berjalan sesuai rencana, dan ketika diajukan sebagai fait accompli, yang bisa diajukan Perdana Menteri Wakatsuki Reijiro hanyalah protes lemah dan mengundurkan diri dengan kabinetnya. Ketika kabinet yang baru telah terbentuk, Araki, sebagai Menteri Perang, merupakan kekuatan yang nyata di Jepang. Sebuah negara boneka di Tiongkok Timur Laut dan Mongolia Dalam, dinamakan Manchukuo, dan diperintah di bawah bentuk monarki konstitusional.

Faksionalisme dalam militer

Hokushin-ron didukung oleh sebagian besar Tentara Kekaisaran Jepang. Jenderal Kenkichi Ueda sangat percaya dalam kebijakan Hokushin-ron karena dia percaya bahwa musuh utama Jepang adalah komunisme dan bahwa takdir Jepang terletak pada penaklukkan sumber daya alam di daratan Asia Utara yang berpenduduk sedikit. Jenderal Yukio Kasahara juga merupakan pendukung utama filosofi Hokushin-ron dan sangat yakin bahwa Uni Soviet merupakan ancaman besar dan peluang besar bagi Jepang.

Namun, kelompok perwira saingan di Angkatan Darat mengaku mewakili "keinginan sejati" Kaisar. Fraksi Jalan Kaisar (Kōdōha) ultranasionalis radikal memiliki banyak aktivis muda yang sangat mendukung strategi Hokushin-ron dan serangan pendahuluan terhadap Uni Soviet. Mereka ditentang oleh Fraksi Kontrol (Tōseiha) konservatif yang lebih moderat, yang menyukai perluasan pertahanan yang lebih berhati-hati dan berusaha untuk menerapkan disiplin yang lebih besar atas Angkatan Darat dan berperang dengan Tiongkok sebagai keharusan strategis.[4]

Hubungan antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang tidak pernah bersahabat dan sering ditandai dengan permusuhan yang mendalam, situasi yang dapat ditelusuri kembali ke periode Meiji. Sejak awal 1930-an, Angkatan Darat melihat Uni Soviet sebagai ancaman terbesar Jepang dan sebagian besar mendukung konsep Hokushin-ron bahwa kepentingan strategis Jepang ada di benua Asia. Angkatan Laut melihat ke seberang Samudra Pasifik dan melihat Amerika Serikat sebagai ancaman terbesar dan, sebagian besar, mendukung konsep Nanshin-ron bahwa kepentingan strategis Jepang ada di Asia Tenggara dan kepulauan Pasifik.[5] Pada pertengahan tahun 1930-an, ada kemungkinan serius terjadi bentrokan antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut karena gagasan ekspansionis mereka yang tidak sesuai.[6]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Yenne, Bill (2014). The Imperial Japanese Army: The Invincible Years 1941-42. Osprey Publishing. hlm. 17–18, 38. ISBN 978-1782009320. 
  2. ^ Ramcharan, Robin (2002). Forging a Singaporean Statehood, 1965-1995: The Contribution of Japan. International Law in Japanese Perspective. 9. Martinus Nijhoff Publishers. hlm. 75. ISBN 978-9041119520. 
  3. ^ Humphreys, Leonard (1995). The Way of the Heavenly Sword: The Japanese Army in the 1920s. Stanford University Press. hlm. 25. ISBN 978-0804723756. 
  4. ^ Samuels, Richard (2008). Securing Japan: Tokyo's Grand Strategy and the Future of East Asia. Cornell Studies in Security Affairs. Cornell University Press. hlm. 27. ISBN 978-0801474903. 
  5. ^ Brian Dollery; Zane Spindler; Craig Parsons (2003). "Nanshin: Budget- Maximising Behavior, The Imperial Japanese Navy And The Origins Of The Pacific War" (PDF). Working Paper Series in Economics. University of New England School of Economics: 4 & 12. Diakses tanggal 27 Juli 2015. 
  6. ^ Nish, Ian Hill (2000). Japanese Foreign Policy in the Interwar Period. Praeger Studies of Foreign Policies of the Great Powers. Praeger. hlm. 112–113. ISBN 978-0275947910.