Perkembangan sosiologi di Indonesia
Sosiologi di Indonesia telah dimulai dalam waktu yang lama. Pada masa Sri Paduka Radit IV dari Surakarta, terdapat ajaran Wulang Reh yang mengajarkan tentang tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan berbeda. Dalam ajaran tersebut terdapat banyak aspek sosiologi, khususnya pada bidang hubungan antar golongan. Selain itu, Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia juga telah menyumbangkan sosiologi dalam konsep-konsepnya tentang kekeluargaan dan kepemimpinan. Praktik dari ajaran ini diterapkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.[1]
Kala itu sosiologi belum dianggap sebagai ilmu yang penting untuk dipelajari. Akan tetapi, hanya sebatas ilmu pembantu untuk ilmu pengetahuan lainnya. Itu dikarenakan banyak karya orang Belanda, seperti tulisan-tulisan ter Haar dan Duyvendak yang mencakup unsur-unsur sosiologis namun kala itu dikupas secara ilmiah dari aspek nonsosiologis dan belum menjadi ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.[1]
Sebelum perang dunia kedua, Indonesia hanya memiliki Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta, satu-satunya lembaga perguruan tinggi sebelum era kemerdekaan yang memberikan kuliah tentang sosiologi di Indonesia. Berhubung belum ada spesialisasi sosiologi baik di Indonesia maupun di Belanda, maka para pengajar kala itu tidak berasal dari latar belakang psikologi. Adapun teori yang diajarkan bersifat filsafat sosial dan teoretis, berdasarkan buku-buku karya Leopold von Wiese, Bierens de Haan dan sebagainya.[1]
Kegiatan perkuliahan di sekolah tersebut sempat ditiadakan pada 1934 hingga 1935. Penyebabnya karena para guru besar memiliki opini bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat dan proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam hubungan dengan pelajaran hukum. Mereka juga berpandangan bahwa yang penting untuk dipelajari adalah hukum positif, yakni peraturan-peraturan yang berlaku dengan sah pada suatu waktu dan suatu tempat tertentu selesai.[1]