Lompat ke isi

Zhao Dengyu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 19 Agustus 2023 03.14 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Menghapus dari Semua artikel biografi)
Zhao Dengyu

Zhao Dengyu (Hanzi: 赵登禹, 1898-1937) adalah seorang pahlawan Tiongkok dalam Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Ia gugur dengan heroik dalam Pertempuran Beiping-Tianjin melawan Jepang.

Zhao dilahirkan dalam keluarga petani miskin di Heze, Shandong. Keluarganya terlalu miskin sehingga tidak mampu menyekolahkannya. Masa mudanya dihabiskan dengan membantu orang tuanya di sawah sambil memperdalam ilmu bela diri di waktu luangnya. Tahun 1914, ketika para panglima perang Tiongkok terlibat perang saudara, Zhao bergabung dengan pasukan dibawah pimpinan Jenderal Feng Yuxiang. Tidak lama kemudian Feng menjadikannya salah satu pengawal pribadinya karena terkesan dengan ilmu bela dirinya. Dalam setiap pertempuran ia selalu membuktikan keberanian dan keperkasaannya sehingga pangkatnya pun terus naik hingga tahun 1922 ia telah menjadi komandan divisi.

Tahun 1926, Zhao turut berpartisipasi dalam Ekspedisi Utara Chiang Kai-shek. Tahun 1930, ia membantu atasnya, Feng Yuxiang yang membangkang pada Chiang, dalam Perang Dataran Tengah. Setelah kekalahan Feng dalam perang ini, pasukannya diintegrasikan dalam Tentara Revolusi Nasional oleh pemerintah Kuomintang (nasionalis) pimpinan Chiang. Zhao tetap melanjutkan pengabdiannya dalam militer, pada tahun 1933, ia diangkat menjadi komandan Brigade 109, Divisi 37, dari Tentara XXIX.

Pada awal tahun 1933, pasukan Jepang melintasi Terusan Shanhai (salah satu terusan Tembok Besar di Provinsi Hebei). Pada 4 Maret tahun itu mereka berhasil menduduki kota Chengde. Dari situ mereka mulai melancarkan serbuan berikutnya ke terusan-terusan Tembok Besar lainnya. Zhao ditugaskan untuk menghalau serbuan Jepang di Terusan Xifengkou. Pada tanggal 10 Maret, ia memimpin Brigade 109 bertolak dari Kabupaten Ji melancarkan serangan malam terhadap kamp pasukan Jepang di Pegunungan Hai’er. Pasukan Tiongkok berhasil memukul mundur pasukan pelopor Jepang di sana serta mengamankan garis depan. Mereka berhasil merebut belasan senapan mesin musuh dan menghancurkan lebih dari 10 kendaraan pembawa perbekalan.

Keesokan harinya, tanggal 11, Zhao memerintahkan agar pasukannya bersembunyi menunggu pasukan Jepang yang hendak melakukan serangan balasan mendekat hingga beberapa ratus meter. Begitu mendengar perintah menyerbu, pasukan Tiongkok keluar dari persembunyian dan menyerang pasukan Jepang. Setelah ledakan granat mengacaukan barisan Jepang, pasukan Tiongkok mendekati mereka dan terlibat pertempuran jarak dekat yang sengit dengan golok dan bayonet. Dalam situasi sedemikian kacau alat-alat berat seperti meriam dan tank Jepang tidak dapat berfungsi efektif. Dalam pertempuran itu, paha Zhao terluka oleh pecahan bom, tetapi ia tetap memimpin pasukannya dan bertempur dengan gagah berani. Menjelang malam, Zhao memanfaatkan situasi pasukan Jepang yang masih dilanda kepanikan dengan memimpin 3000 orang melakukan serangan kejutan dari dua arah terhadap garis belakang Jepang. Pasukan Jepang kocar-kacir, banyak dari mereka yang terluka dan tewas, sejumlah besar peralatan perang seperti senapan dan mesiu ditinggalkan begitu saja dan berhasil direbut pasukan Tiongkok. Serangan Jepang selama beberapa hari ke depan pun selalu berhasil dipatahkan oleh Tiongkok sehingga semangat mereka akhirnya jatuh dan mengundurkan diri. Dengan demikian Tiongkok berhasil memenangkan pertempuran ini, total kerugian di pihak Jepang mencapai 5-6 ribu pasukan. Atas prestasinya, Zhao dipromosikan menjadi komandan Divisi 132 dari Pasukan XXIX, ia dikirim ke Chahar, Mongolia Dalam, untuk memperkuat pertahanan di sana.

Agustus 1935, Zhao dan pasukannya dipindahkan ke Beiping (nama lama Beijing). Pada 7 Juli 1937, meletus Insiden Jembatan Lugou/ Jembatan Marco Polo, pasukan Jepang menyerang dan menduduki Kota Wanping (sekarang Distrik Fengtai, Beijing). Komandan Tentara XXIX, Song Zheyuan, mengangkat Zhao sebagai komandan penjaga Nanyuan dan Tong Lin'ge sebagai wakilnya. Keduanya bertanggung jawab penuh atas pertahanan kota Nanyuan, sebuah kota kecil 10 km di selatan Beijing. 28 Juli, Jepang mengerahkan puluhan ribu pasukannya didukung lebih dari 30 pesawat menyerbu Beiping, Tianjin, dan wilayah sekitarnya. Pasukan ke-29 melawan dengan gigih, tetapi karena kalah jumlah dan persenjataan, korban di pihak mereka sangat besar. Wanping diserang dari timur dan barat, pesawat-pesawat musuh datang secara bergelombang membombardir kota itu didukung 3000 pasukan dari angkatan darat yang dipersenjatai tank-tank dan artileri berat. Serangan dahsyat ini menyebabkan pasukan Tiongkok tercerai-berai dan terkepung erat. Namun semangat juang mereka tetap tak tergoyahkan, Zhao bersama 30 orang pengawalnya, sisa-sisa tentara XXIX dan beberapa tentara pelajar melakukan sergapan terhadap Jepang. Mereka terlibat pertempuran sengit jarak dekat, tetapi kalah dan terpaksa mundur.

Belakangan keluar perintah dari pusat yang memerintahkan Zhao dan pasukannya mundur ke Dahongmen untuk melakukan konsolidasi dan menyiapkan serangan balasan. Sayangnya rencana mundur ini diketahui oleh Jepang, mereka pun mempersiapan penyergapan di sepanjang jalan dari Nanyuan menuju Dahongmen. Untuk meningkatkan moral pasukannya, Zhao memerintahkan mobil yang ditumpanginya berjalan di paling depan. Ketika akan menyeberangi jembatan di Sungai Yu, tidak jauh dari Dahongmen, pasukan Jepang menyergap mereka dan meledakkan jembatan itu. Zhao terluka parah, tetapi ia menolak ketika pengawalnya hendak melarikannya ke tempat aman, ia tetap melawan musuh dan membuka jalan bagi sisa pasukannya untuk mundur. Akhirnya Zhao terkena bom yang membuatnya pingsan dan kehilangan kedua kakinya. Ia sempat sadar sebentar dan menyampaikan pesan terakhir sebelum menutup mata selama-lamanya, katanya pada pengawalnya, “Jangan pedulikan aku, kau cepatlah kembali ke Beiping untuk memberitahu ibuku, katakan padanya jangan khawatir karena putranya telah gugur demi membela negara dan juga telah membuat bangga para leluhurnya!”

Bangsa Tionghoa baik dari pihak Komunis maupun Kuomintang kagum akan kepahlawanan Zhao. Pada 31 Juli 1937, pemerintah Kuomintang secara anumerta menaikkan pangkat Zhao menjadi jenderal penuh. Tahun 1945, setelah Tiongkok memenangkan perang melawan Jepang, pemerintah kota Beiping mengubah nama Jalan Beiheyan tempat Zhao pernah tinggal menjadi Jalan Zhao Dengyu. Setelah komunis menguasai Tiongkok, pemerintah melakukan pemugaran terhadap makamnya yang terletak di sebelah barat Jembatan Lugou. Mao Zedong memujinya sebagai tokoh yang pantas diteladani karena pengorbanannya dalam menjalankan tugas suci bagi negara.

Pranala luar