Lompat ke isi

Ratu Sanjaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ratu Sanjaya
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
Raja Medang ke-1
Berkuasa(717 - 4 Oktober 746 M)
PendahuluSanna
Penerus-
KelahiranSanjaya
Pasangan
Keturunan
WangsaSanjaya
Ayah-
IbuSannaha
AgamaHindu

Sanjaya adalah raja Medang pertama yang memerintah sekitar tahun 717 - 746 masehi dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dugaan ini didasarkan atas perhitungan permulaan tarikh Sanjaya yang hanya digunakan oleh Daksottana di dalam dua prasastinya.[1] Jika dugaan ini benar maka Sanjaya memerintah antara tahun 717 masehi sampai sebelum atau pada tahun 746 M.

Akhir masa pemerintahannya ditetapkan berdasarkan awal pemerintahan Rakai Panangkaran yang memerintah setelah Sanjaya. Prasasti Wanua Tengah lll tidak menyebut nama Sanjaya, namun dapat dipastikan bahwa Rahyangta ri Mdang yang disebut sebagai kakak Rahyangta i Hara adalah Sanjaya.

Pendiri kerajaan Medang

Menurut prasasti Mantyasih yang dikeluarkan Rakai Watukura Dyah Balitung tahun 907, raja yang berkuasa sebelum Rakai Panangkaran adalah Sanjaya sebagai urutan pertama dari para raja yang pernah memerintah di Kerajaan Medang. Sanjaya mengeluarkan prasasti Canggal (732 M), yang berisi tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja, yang ditemukan di atas [[Gunung Wukir], dekat Kedu.

Prasasti ini juga mengisahkan sebelum Sanjaya bertakhta sudah ada raja lain bernama Sanna yang memerintah Pulau Jawa dengan adil dan bijaksana. Setelah Sanna meninggal dunia karena gugur dalam pertempuran, keadaan menjadi kacau. Sanjaya putra Sannaha (saudara perempuan Sanna) kemudian tampil sebagai raja. Dengan gagah berani ia menaklukkan raja-raja lain di sekitarnya, sehingga Pulau Jawa kembali tentram. Akan tetapi, prasasti Canggal ternyata tidak menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin Sanna dan Sanjaya.

Sementara itu, prasasti Mantyasih menyebut Sanjaya sebagai raja pertama Kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu. Adapun nama Sanna sama sekali tidak disebut dalam prasasti tersebut. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa Sanna bukanlah raja Medang. Dengan kata lain, Sanjaya mungkin mewarisi takhta Sanna namun mendirikan sebuah kerajaan baru yang berbeda dari sebelumnya. Kisah ini mirip dengan kejadian pada akhir abad ke-13, yaitu Raden Wijaya mewarisi takhta Kertanagara raja terakhir Singhasari, tetapi ia mendirikan sebuah kerajaan baru bernama Majapahit.

Pada zaman kerajaan Medang terdapat suatu tradisi mencantumkan jabatan lama di samping gelar sebagai maharaja. Misalnya, raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907) adalah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambhu. Itu artinya, jabatan lama Dyah Balitung sebelum menjadi raja Medang adalah sebagai kepala daerah Watukura.

Sedangkan gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dapat diperkirakan ketika Sanna masih berkuasa, Sanjaya bertindak sebagai kepala daerah Mataram (daerah Yogyakarta sekarang). Disebutkan pula dalam prasasti Mantyasih bahwa Sanjaya adalah raja pertama yang bertakhta di kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu (‘’rahyangta rumuhun i Medang i Pohpitu’’). Dengan demikian, Pohpitu adalah ibu kota Kerajaan Medang yang dibangun oleh Sanjaya, tetapi di mana letaknya belum bisa dipastikan sampai saat ini.

Seorang keturunan Sanjaya bernama Daksottama memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau “kalender Sanjaya” dalam prasasti-prasastinya, antara lain prasasti Taji Gunung tahun 910, prasasti Timbangan Wungkal tahun 913, Prasasti Tulang Er tahun (914 M) dan prasasti Tihang tahun 914. Menurut analisis para sejarawan, tahun 1 Sanjaya bertepatan dengan tahun 716 Masehi dan besar kemungkinan itu adalah tahun di mana Sanjaya berhasil mendapatkan kembali takhta warisan Sanna. Nama Sanjaya juga dapat kita jumpai pula dalam prasasti Pupus yang ditemukan di daerah Semarang pada tahun 822 saka (900 M). Dalam prasasti Pupus disebutkan bahwa Sanjaya telah meninggal atau Rahyangta.

Hubungan dengan Rakai Panangkaran

Menurut prasasti Mantyasih, Sanjaya digantikan oleh Maharaja Rakai Panangkaran sebagai raja Medang berikutnya. Raja kedua ini mendirikan sebuah bangunan Buddha, yang kini dikenal sebagai Candi Kalasan, atas permohonan para guru raja Sailendra tahun 778. Berdasarkan berita tersebut, muncul beberapa teori tentang hubungan Sanjaya dengan Rakai Panangkaran.

  • Teori pertama dipelopori oleh van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang beragama Hindu. Ia dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Jadi, pembangunan Candi Kalasan ialah atas perintah raja Sailendra terhadap Rakai Panangkaran yang menjadi bawahannya.
  • Teori kedua dipelopori oleh Porbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya, dan mereka berdua merupakan anggota Wangsa Sailendra. Dengan kata lain, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada karena tidak pernah tertulis dalam prasasti apa pun. Menurut teori ini, Rakai Panangkaran pindah agama menjadi penganut Buddha atas perintah Sanjaya sebelum meninggal. Jadi, yang dimaksud dengan istilah “para guru raja Sailendra” dalam prasasti Kalasan tidak lain adalah para guru Rakai Panangkaran sendiri.
  • Teori ketiga dipelopori oleh Slamet Muljana bertentangan dengan kedua teori di atas. Menurutnya, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya, melainkan anggota Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya. Teori ini didasarkan pada daftar para raja dalam prasasti Mantyasih di mana hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu, sedangkan para penggantinya tiba-tiba begelar Maharaja. Selain itu, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai raja bawahan, karena ia dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra) dalam prasasti Kalasan. Alasan lainnya ialah, dalam prasasti Mantyasih Rakai Panangkaran bergelar maharaja, sehingga tidak mungkin kalau ia hanya seorang bawahan.

Jadi, menurut teori pertama dan kedua, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Sedangkan menurut teori ketiga, Rakai Panangkaran adalah musuh yang berhasil mengalahkan Sanjaya. Sementara itu menurut teori pertama, Rakai Panangkaran adalah bawahan raja Sailendra. Sedangkan menurut teori kedua dan ketiga, Rakai Panangkaran adalah raja Sailendra itu sendiri.

Dengan ditemukannya prasasti Wanua Tengah III, maka misteri hubungan antara Rakai Panangkaran dengan Sanjaya telah menemukan titik terang. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung tahun 908 masehi menyebutkan daftar raja-raja Kerajaan Medang seperti prasasti Mantyasih tahun 907. Dalam prasasti Wanua Tengah III disebutkan bahwa Rakai Panangkaran adalah anak dari Rahyangta i Hara, sedangkan Rahyangta i Hara adalah adik dari Rahyangta i Medang.

Jika dalam prasasti Mantyasih disebutkan bahwa Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang, maka dapat dipastikan bahwa Rahyangta i Medang dalam prasasti Wanua Tengah III, adalah Sanjaya itu sendiri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Rakai Panangkaran adalah keponakan dari Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Prasasti Wanua Tengah III juga menyebutkan awal mula Rakai Panangkaran naik takhta, yaitu pada 7 Oktober 746. Jika demikian, dapat disimpulkan pula bahwa pada tahun 746 masehi itulah pemerintahan Sanjaya berakhir.

Referensi

  1. ^ Bambang Sumadio, 1992: 100

Kepustakaan

  • Bambang Sumadio (ed), 1977. Sejarah Nasional Indonesia 11, Jakarta: Balai Pustaka.
  • Boechari, 1965. Epigraphy and Indonesian Historiograph, dalam Soedjatmoko, et al. An Introduction to Indonesian Historiography, Ithaca: Cornell University, hlm.47-73.
  • Boechari dan A.S WIbowo, (1986) Prasasti Koleksi Museum Nasional, Jilid I, Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional.
  • Casparis, J.G. de, (1950). Prasasti Indonesia I Bandung. A.C Nix & Co Masa Baru.
  • Djoko Dwiyanto, (1985) Penemuan Beberapa Prasasti, Baru Sebagai Sumbangan Bagi, Historiografi Indonesia, Makalah Seminar Sejarah Nasional IV di Yogyakarta.
  • Djoko Dwiyanto, (1986) Pengamatan Terhadap Data Kesejarahan Dari Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908 M.

Pertemuan llmiah Arkeologi IV, Buku Ila, Jakarta, hlm 92-110.