Farida Sjuman
Farida Sjuman | |
---|---|
Lahir | Solo, Hindia Belanda | 7 Juli 1939
Meninggal | 18 Mei 2014 Tangerang Selatan, Indonesia | (umur 74)
Kebangsaan | Indonesia |
Almamater | Akademi Balet Bolshoi |
Pekerjaan |
|
Suami/istri | |
Anak | 2, termasuk Aksan Sjuman |
Farida Oetoyo yang lebih dikenal sebagai Farida Sjuman (7 Juli 1939 – 18 Mei 2014)[1] adalah seorang maestro balet Indonesia.
Kehidupan awal
Farida dilahirkan oleh Maria Yohanna Margaretha Te Nuyl, seorang perempuan Belanda dengan keluarga yang terdiri dari seniman teater dan musisi klasik.[2] Ayah Farida, Raden Oetoyo Ramelan, kuliah di Leiden, Belanda, dan lulus sebagai advokat.[2] Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Raden Oetoyo Ramelan diangkat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri, dan pada 1947 mendapat tugas membuka dan memimpin kantor diplomatik Republik Indonesia yang pertama, Indonesian Office.[2] Semasa kecil, Farida, bersama ibu dan kedua adiknya, Fajar Alam dan Satria Sejati, sering berpindah tempat tinggal mengikuti penugasan ayahnya.[2]
Farida mengaku terinspirasi belajar balet setelah menonton film The Red Shoes (1948), ketika dia berusia sembilan tahun.[2] Dia mengikuti kelas balet pertamanya juga pada usia sembilan tahun, tetapi kelas itu mengecewakannya, karena materi yang diajarkan hanya gerak dasar balet.[2] Farida menyangka pada kelas pertamanya, dia akan mengenakan kostum yang indah dan glamor, serta menari seperti balerina dalam film The Red Shoes.[2] Namun, pengalaman itu tidak membuat Farida berhenti mempelajari seni gerak tubuh. Mula-mula, Farida belajar di Art of Movement Academy, di Singapura, yang dikelola oleh Willy Blok Hanson.[3] Pada 1950-1954, Farida belajar balet dari Barbara Todd, di Canberra, Australia.[2] Barbara Todd, adalah seorang pengajar balet dari The Royal Academy of Dance, di London.[2] Farida pertama kali tampil dalam pertunjukan balet di Teater Albert Hall, Canberra, pada 20 Juni 1953, bersama murid-murid Barbara Todd yang lain, menarikan The Children of the Palace.[2]
Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas di Australia pada 1954, Farida kembali ke Indonesia dan melanjutkan pelajaran baletnya dari berbagai guru.[2] Pada 1956, ayah Farida meninggal dunia.[2] Pada tahun yang sama, Farida pergi ke Belanda dan menjadi penari profesional.[2] Farida menari bersama kelompok Ballet der Lage Landen selama dua tahun, sampai pada 1958.[2] Pada 1958, di usianya yang kedelapan belas tahun, terdorong keinginan pulang yang tidak bisa ditawar lagi, Farida kembali ke Indonesia.[2]
Belajar di Akademi Balet Bolshoi (1961-1965)
Pada usia ke-21 tahun, Farida berangkat ke Moskow untuk belajar di Akademi Balet Bolshoi, sebagai guest student dengan beasiswa.[2] Kesempatan itu diketahui Farida dari pamannya, Suriadi Suryadarma, yang ketika itu bertugas sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Republik Indonesia.[2] Selama empat tahun belajar di Akademi Balet Bolshoi, hampir setiap hari mulai pukul 09.00 sampai 21.00, Farida digembleng dan dilatih dengan penuh disiplin oleh gurunya, Alla Mikhailovna Lenina, yang menurunkan ilmu balet aliran Vaganova dengan penuh disiplin.[2] Selain itu ia mendapat beberapa mata kuliah lainnya seperti sejarah kesenian, karakteristik, manjemen kesenian, drama pentas dan lain-lain
Setelah empat tahun belajar di Akademi Balet Bolshoi, Farida menempuh ujian di hadapan Dewan Penguji yang terdiri dari sepuluh guru balet terkemuka dari akademi.[2] Sebagaimana murid lain yang lulus ujian, Farida mendapat sertifikat sebagai Artist of the Ballet, dan tampil dalam The Graduation Concert di Teater Bolshoi membawakan tarian yang telah ditentukan oleh akademi.[2]
Kembali ke Indonesia
Sukses Farida dapat dipahami mengingat koreografer yang juga dijuluki balerina dunia ini telah meraup segudang pengalaman pentas di dalam maupun mancanegara. Upaya pembinaan terus dilakukan dengan membuka sekolah balet Nritya Sundara bersama Yulianti Parani di Jakarta tahun 1957. Usaha ini memicu perkembangan balet di tanah air. Di samping meningkatkan frekuensi pementasan balet memungkinkan belantika balet di tanah air semakin kondusif.
Karya-karya
Setidaknya dua nomor balet berlabel Rama & Shinta dan "Gunung Agung Meletus" merupakan karya masterpiece koreografer Farida Oetoyo. Di samping kedua karya besar ini, masih ada karya lainnya yang bisa di catat sebagai karya andal monumental. Di antaranya balet "Carmina Burana", "Putih-Putih" dan "Daun Fulus". "Gunung Agung Meletus" dan "Rama & Shinta", mendapat sambutan hangat saat dipentaskan di Teater Terbuka dan Teater Arena Taman Ismail Marzuki tahun 70-an. Tak heran bila angin segar menerpa penggemar balet di Indonesia. Publik sangat antusias menonton sajian berkualitas. Lima ribu tempat duduk yang tersedia di Teater Terbuka padat penonton. Bahkan kalangan pers juga mempunyai andil besar. Menyambut dengan menurunkan berirta dan artikel-artikel menarik di media cetak mereka.
Maestra balet
Tidaklah berlebihan bila Farida Oetoyo, yang pernah menjadi primadona di panggung balet dunia disebut sebagai "Maestra Balet" Indonesia, mengingat ia pernah bergabung dengan "Teater Bolshoi" di Rusia dan berpentas di sejumlah negara Eropa serta Amerika. Ia masih aktif mengajar balet di sekolah balet "Sumber Cipta" miliknya di Ciputat Jakarta Selatan bahkan hingga menjelang wafatnya . Selain menjadi kepala sekolah dan direktur artistik sekolah tersebut, ia pun memimpin grup tarinya, Kreativität Dance – Indonesia. Grup tari ini diperuntukkan bagi penari-penari yang telah lulus dari Ballet Sumber Cipta dengan baik. Mereka terinspirasi oleh tari dan telah memutuskan untuk menjadikan tari hidup mereka.
Dunia film
Selain balet, Farida pernah juga merambah blantika film nasional. Ia membintangi beberapa film layar lebar antara lain film Perawan di Sektor Selatan, Apa Jang Kau Tjari, Palupi?, Bumi Makin Panas. Ia mampir di dunia film atas ajakan suaminya, sineas Sjumandjaja.
Filmografi
- Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (1969)
- Perawan di Sektor Selatan (1971)
- Dendam Si Anak Haram (1972)
- Mama (1972)
- Lingkaran Setan (1972)
- Bumi Makin Panas (1973)
Kehidupan pribadi
Farida menikah dengan Sjumandjaja, seorang mahasiswa sinematografi yang di kemudian hari menjadi seorang sutradara, pada tahun 1962 di Moskwa, Rusia. Dua sejoli ini bertemu ketika keduanya sedang belajar di "negeri Beruang Merah" tersebut.[4] Farida di Akademi Balet Bolshoi sementara Sjumandjaja di Akademi Sinematografi Gittes. Tetapi bahtera perkawinan yang baru berjalan sepuluh tahun kandas menabrak badai perceraian pada tahun 1972. Pasangan seniman kreatif ini dikaruniai dua orang anak yakni, Aridya Yudhistira dan Wong Aksan.
Kematian
Farida Oetoyo meninggal dunia di Rumah Sakit Premier Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten, pada tanggal 18 Mei 2014.[5]
Referensi
- ^ Maestro Balet Farida Oetoyo Wafat Tempo, diakses 19 Mei 2014
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Oetoyo, Farida. Saya Farida, Sebuah Autobiografi. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 2014.
- ^ Post, The Jakarta. "Tales of ballet in the Dutch East Indies ... and beyond". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-14. Diakses tanggal 2017-09-14.
- ^ Ariska, Rindi (19 Juli 2023). S. Dian Andryanto, ed. "Mengenang Sjumandjaja, Meninggal Saat Menyutradarai Opera Jakarta". Tempo.co. Diakses tanggal 20 September 2023.
- ^ "Maestro Balet Farida Oetoyo Meninggal Dunia". detikcom. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-06. Diakses tanggal 2022-07-03.
Pranala luar
- (Indonesia) Biografi di Tamanismailmarzuki.com Diarsipkan 2021-03-13 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Biografi di Ballet Sumber Cipta Diarsipkan 2011-06-04 di Wayback Machine.