Bank Aceh Syariah
Jasa Keuangan/Publik/Badan Usaha Milik Aceh | |
Industri | Financial dan Banking |
Genre | Perbankan Syariah |
Pendahulu | BPD Aceh |
Didirikan | 6 Agustus 1973 (hari jadi perusahaan) 19 September 2016 (beroperasi sebagai bank syariah) |
Pendiri | Teuku Djafar Teuku Soelaiman Polem Abdullah Bin Mohammad Hoesin Moehammad Sanusi |
Kantor pusat | , |
Cabang | 26 Kantor Cabang 132 Kantor Cabang Pembantu 28 Payment Point 12 Unit Mobil Kas 50 Unit Mesin CRM 346 Mesin ATM |
Wilayah operasi | Aceh, Medan dan Jakarta |
Tokoh kunci | Muhammad Syah (Direktur Utama) Zulkarnaini (Direktur Operasional) Numairi (Direktur Kepatuhan) |
Pendapatan | Rp 2.422 triliun (2022) |
Rp 564.042 miliar (2022) | |
Rp 436.722 miliar (2022) | |
Total aset | Rp 28.7 triliun (2022) [1] |
Pemilik | Pemerintah Aceh |
Karyawan | 1.899 (2016) |
Induk | Bank Indonesia |
Situs web | http://www.bankaceh.co.id/ |
Bank Aceh Syariah (dahulu bernama Bank Pembangunan Daerah Aceh/BPD Aceh/Bank Aceh) adalah satu-satunya bank daerah yang berguna untuk meningkatkan perekonomian masyarakat khususnya di Aceh. Bank Aceh berpusat di kota Banda Aceh. Bank Aceh didirikan pada tahun 1973 dengan nama PT Bank Pembangunan Daerah Aceh (PT BPD Aceh). Pendirian tersebut dipelopori oleh Pemerintah Daerah beserta tokoh masyarakaat dan tokoh pengusaha swasta di Aceh atas dasar pemikiran perlunya suatu lembaga keuangan yang berbentuk Bank, yang secara khusus membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di daerah.
Konversi Sistem Syariah
Pihak Bank Aceh akan menyurati sekitar satu juta nasabah bank itu yang memiliki tabungan atau deposito di bawah Rp 200 juta, sekaligus juga kepada sekitar 400.000 lebih debitur. Surat itu berisi pemberitahuan tentang konversi bank ini dari sistem konvensional ke syariah yang rencananya terwujud Agustus 2016 bertepatan HUT ke-43 Bank Aceh. Direktur Utama (Dirut) Bank Aceh, Busra Abdullah, mengatakan proses menyurati ini salah satu tahapan konversi sesuai permintaan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Bank Aceh.[2]
Sedangkan tahapan satu lagi, kata Busra menjadi tanggungjawab Tim Konversi Pemerintah Aceh untuk meminta DPRA mencabut Qanun Spin Off (pemisahanan) unit Bank Aceh Syariah dari induk konvensional yang sudah disahkan, sebelum akhirnya disepakati konversi itu sepenuhnya dari sistem konvensional ke syariah.
“Untuk menyurati nasabah dan debitur sejumlah itu, akan kita serahkan kepada masing-masing kantor cabang, kantor pembantu, dan kantor unit Bank Aceh yang berjumlah 123 unit,” kata Busra. Sedangkan untuk nasabah besar yang menyimpan deposito mencapai triliunan rupiah, seperti PT Taspen dan BPJS, kata Busra, pihaknya sudah melakukan pertemuan dan kedua perusahaan tersebut tak keberatan deposito itu dialihkan ke sistem syariah atau keuntungannya berbentuk bagi hasil alias tak berbunga lagi, seperti sistem konvensional selama ini.[3]
Begitu juga dengan deposan besar lokal lainnya. Selebihnya, kata Busra, sistem pengumuman ini bisa melalui media cetak atau lewat telepon yang oleh pihak Bank Aceh menawarkan apakah nasabah bersedia tabungan atau depositonya dialihkan ke sistem syariah, jika bersedia, silakan datang menandatangani tanda persetujuan, seperti beberapa nasabah besar sesuai pengakuan Busra.
Dikonfirmasi terpisah kemarin, Ketua Fraksi Partai Aceh (PA), Kautsar yang juga Anggota Komisi III DPRA membidangi Keuangan dan Perbankan mengatakan Qanun Spin Off tentang Bank Aceh itu akan dicabut DPRA dalam bulan puasa ini. Menurutnya, masalah dihadapi DPRA kini, dana untuk pembahasan qanun diplot dalam APBA 2016 Rp 3,4 miliar sudah habis. Pasalnya, kata Kausar, sejak Januari-April 2016, dana itu sudah dipakai anggota DPRA untuk bahas Qanun RAPBA 2016 dan beberapa rancangan qanun lainnya.
Kausar menambahkan mencabut qanun yang sudah disahkan, tahapannya sama seperti tahapan membuat qanun baru, ada beberapa kali sidang, rapat dengar pendamat umum (RDPU), dan konsultasi ke Mendagri serta lembaga terkait lainnya ke Jakarta. Untuk satu buah qanun saja, anggarannya mencapai ratusan juta, bahkan ada yang sampai miliaran rupiah, karena harus melakukan studi banding ke dalam dan luar negeri, jika diperlukan untuk qanun tertentu. Komisi III, kata Kausar, sudah menyampaikan masalah dana pembahasan qanun di DPRA, sudah habis kepada Asisten II dan Bank Aceh, namun hingga kini belum ada balasan kabar.[4]
Riwayat Perubahan Nama
Riwayat dan Perubahan Nama Serta Badan Hukum
- NV. Bank Kesejahteraan Atjeh (BKA) - 19 Nopember 1958
- Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh (BPD IA) - 6 Agustus 1973
- Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh (PD. BPD IA) - 5 Februari 1993 : PD
- PT Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh, disingkat menjadi PT Bank BPD Aceh - 7 Mei 1999 :
- PT Bank Aceh - 29 September 2010[5]
- PT Bank Aceh Syariah - 19 September 2016[2]
Referensi
- ^ https://drive.google.com/file/d/1FwSgnf6HzQ7DqqG12Sn7vDSG3pZxmDxr/view?usp=share_link
- ^ a b Mediatama, Grahanusa (2016-09-19). "Bank Aceh resmi jadi bank syariah". kontan.co.id. Diakses tanggal 2019-11-28.
- ^ "Pemprov Aceh Suntik Rp900 Miliar ke Bank Aceh | Finansial". Bisnis.com. Diakses tanggal 2019-11-28.
- ^ "Bank Aceh Beralih Sistem Dari Konvensional ke Syariah - Tribunnews.com". Tribunnews.com. 2016-06-09. Diakses tanggal 2018-08-06.
- ^ Unknown (Jumat, 29 Maret 2013). "Sejarah Awal Berdirinya PT Bank Aceh | SERAMOE PRINT STATION". Sejarah Awal Berdirinya PT Bank Aceh | SERAMOE PRINT STATION. Diakses tanggal 2019-11-28.