Lompat ke isi

Pendidikan Islam di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gontor: Salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia

Pendidikan Islam di Indonesia merupakan salah satu bentuk pendidikan dalam pengajaran di bidang ilmu agama Islam yang hingga saat ini diberlakukan bagi umat Islam. Pendidikan Islam di Indonesia melibatkan berbagai aspek, termasuk kurikulum, lembaga pendidikan, dan peran agama Islam dalam sistem pendidikan nasional.

Sejarah

Masa kerajaan Islam di Sumatera

Kerajaan Islam di Sumatera muncul pada abad ke-13 dan dikenal sebagai Kerajaan Sriwijaya, didirikan oleh suku Melayu yang menguasai wilayah Sumatera. Puncak kejayaan Sriwijaya terjadi pada abad ke-14, ditandai oleh sistem pemerintahan yang kuat, didasarkan pada hukum dan keadilan, serta penyebaran agama Islam di wilayahnya.[1]

Miniatur Kesultanan Aceh

Wilayah Sumatera melibatkan kerajaan Pasi, Perlak, dan Aceh Darussalam, yang semuanya berada di ujung Sumatera. Kerajaan Samudra Pasai, didirikan pada abad ke-10 oleh al Malik Ibrahim bin Mahdum, Malik al Shaleh, dan al Malik Sabar Syah, mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14. Pada abad ke-14 M, kerajaan ini menjadi pusat pendidikan dengan perhatian khusus pada waktu itu.[1]

Perlak di Aceh, dengan Sultan Alaudin sebagai raja pertamanya pada abad ke-12 M, menjalin kerjasama yang baik dengan Pase. Marco Polo, seorang pelancong Italia, melaporkan kunjungannya ke Perlak pada tahun 1292 M, menggambarkan Ibukota Perlak sebagai pusat perdagangan yang ramai dikunjungi oleh pedagang Islam dari Timur Tengah, Parsi, dan India. Sultan Mahdum Alauddin Muhammad Amin, raja ke enam, adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam.[1]

Sultan Ali Muhayyat Syah, sultan pertama Aceh yang memperluas kerajaan, mencapai puncak kebesaran pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang menguasai pelabuhan di pesisir timur Sumatera sampai Asahan dan pantai Sumatera Barat. Pendidikan di Aceh Darussalam didukung oleh lembaga seperti Balai Seutia Hukama, Balai Seutia Ulama, dan Balai Jamaah Himpunan Ulama, yang memainkan peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan.[1]

Penyebaran Islam dan pendidikan Islam di Nusantara dimulai dari pusat-pusat pendidikan seperti Samudra Pasai, Malaka, dan Aceh, yang mendapat dukungan geografis strategis dan menjadi pusat pertukaran ide dan budaya antar etnis di seluruh Nusantara.[1]

Masa kerajaan Islam di Jawa

Kerajaan Islam di Jawa mencakup kerajaan Islam di Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, dan Banten. Pendidikan Islam di kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram berlangsung seiring dengan kegiatan dakwah Islam yang dilakukan oleh para ulama dan wali. Raden Fatah, lulusan santri dari perguruan Islam Denta, menjadi raja pertama di Demak. Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1524-1546), Kesultanan Demak mencapai puncak kemajuannya, menjadi kerajaan terkemuka dan pusat Islamisasi. Masjid Demak terkenal sebagai tempat berkumpulnya walisongo yang dianggap paling berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa.[2]

Masjid Agung Demak

Sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak mirip dengan pelaksanaan pendidikan di Aceh, di mana masjid dijadikan tempat sentral pendidikan di suatu daerah. Di sana, pendidikan agama diajarkan di bawah kepemimpinan seorang Badal, yang bertugas sebagai guru, pusat pendidikan, pengajaran, dan sumber agama Islam.[2]

Pada zaman Demak, kitab-kitab agama Islam masih berbentuk Primbon atau catatan, yang berisi berbagai macam catatan tentang ilmu agama, doa, dan bahkan ilmu obat-obatan serta ilmu gaib. Kitab-kitab seperti Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga, dan Wasita Jati Sunan Geseng dikenal sebagai diktat pendidikan dan ajaran mistik Islam dari masing-masing sunan, ditulis secara manual.[2]

Di zaman Kerajaan Mataram, pendidikan Islam sudah mendapat perhatian yang cukup besar, meskipun tidak ada undang-undang wajib belajar. Anak-anak usia sekolah terlihat harus belajar di tempat-tempat pengajian di desanya atas keinginan orang tua mereka. Setiap desa hampir memiliki tempat pengajian al-Qur'an yang mengajarkan huruf hijaiyah, membaca al-Qur'an, barzanji, serta dasar ilmu agama Islam. Pengajaran dilakukan dengan metode hafalan semata-mata. Di setiap tempat pengajian, dipimpin oleh seorang guru yang memiliki gelar modin. Selain pelajaran al-Qur'an, ada juga tempat pengajian kitab bagi murid-murid yang telah menyelesaikan hafalan al-Qur'an, yang dikenal sebagai pesantren.[2]

Masa kerajaan Islam di Sulawesi

Kerajaan yang pertama kali didirikan melalui penyebaran Islam adalah Kerajaan Gowa Tallo, pada tahun 1605 M, dengan rajanya bernama Mallingkai Dg. Nyonri yang kemudian mengganti namanya menjadi Sultan Abdullah Awwalul Islam. Segera setelahnya, Sultan Aluddin menjadi penguasa Gowa, dan dalam waktu dua tahun, seluruh penduduk Gowa memeluk Islam. Abdul Qadir Khatib Tunggal, yang juga dikenal dengan gelar Dato Ribandang dan berasal dari Minangkabau, yang merupakan murid dari Sunan Giri, memiliki peran penting sebagai Muballig Islam dalam proses penyebaran agama ini.[3]

Proses perkembangan Islam terus berlanjut di Sulawesi, khususnya di masyarakat Gowa dan Tallo, yang terus mengalami pertumbuhan dan kemajuan. Seiring waktu, madrasah mulai didirikan dengan menerapkan sistem klasikal, dilengkapi dengan bangku, meja, dan papan tulis sebagai sarana pendidikan. Catatan sejarah mencatat bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi yang pertama kali mendirikan madrasah di Sulawesi Selatan pada tahun 1926.[3]

Muhammadiyah terus aktif dalam pengembangan dakwah Islam dengan fokus utama pada pengelolaan pendidikan, khususnya madrasah. Pembelajaran di madrasah ini difokuskan pada materi-materi ke-Islaman sebagai dasar dan penguat bagi seluruh peserta didik.[3]

  1. ^ a b c d e Yahdi, Muhammad. "Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia". 
  2. ^ a b c d Yunus, Mahmud (1995). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Sumber Mutiara. 
  3. ^ a b c Nata, Abuddin (2011). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.