Lompat ke isi

Tongkonan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 10 Desember 2023 15.59 oleh Pndirbjn (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Deretan rumah tongkonan

Tongkonan (ᨈᨚᨃᨚᨊ) adalah rumah adat masyarakat suku Toraja yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.[1] Arsitektur tongkonan dikenal dengan bentuknya yang khas melalui struktur bawah, tengah dan atas yang memiliki keindahan estetika struktur dan konstruksinya. Mekanika sistem struktur membentuk suatu sistem estetika arsitektural.[2] Tongkonan tidak lagi dijadikan rumah tempat tinggal tetapi sudah tidak dihuni lagi dikarenakan setiap keluarga yang mendiami Tongkonan pada umumnya telah membangun rumah tinggal sendiri.[3] Rumah adat Tongkonan yang sarat dengan ukiran mengandung makna yaitu melambangkan status sosial pemilik Tongkonan menempati lapisan atas.[4]

Pembahasan

[sunting | sunting sumber]

Tongkonan dalam bahasa Toraja diartikan sebagai tempat duduk (tongkon= duduk). Tongkonan merupakan rumah panggung tradisional Masyarakat Toraja berbentuk persegi empat panjang. Dibuat sebagai rumah panggung, agar penghuni tidak mudah diganggu oleh binatang buas.[5]

Kata tongkonan berasal dari kata tongkon yang berarti 'duduk', mendapat akhiran 'an' maka menjadi tongkonan yang artinya tempat duduk dan ongan berarti bernaung. Duduk dan bernaung merupakan perpaduan pengertian kata Tongkonan. Arti kata tongkon dapat digunakan dalan sistem konstruksi dengan padanan kata meletakkan bagian satu dengan lainnya dalam istilah struktur disebut dengan menyusun bagian satu dengan lainnya.[6]

Tongkonan adalah rumah adat orang Toraja, yang merupakan tempat tinggal, kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya orang Toraja. Tongkonan tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara komunal dan turun temurun oleh keluarga atau marga Suku Tana Toraja.[1]

Tongkonan biasanya dijaga dan dipelihara oleh seseorang yang dipercayakan mengelolanya (to ma’kampai tongkonan), dan biasanya orang yang sekaligus membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) serta menjaga, memelihara, dan mengorganisir upacara-upacara yang dilaksanakan oleh anggota keluarga tongkonan tersebut.[7] Menggadaikan atau menjual harta tongkonan, khususnya Rumah Tongkonan dan/atau lahan dimana ia didirikan, dipercaya akan membawa bencana.[8] Beberapa wilayah di Toraja, seperti di Kecamatan Saluputti Kabupaten Tana Toraja, menyebut Tongkonan dengan "Tokkonan".

Struktur bangunan

[sunting | sunting sumber]

Arsitektur tongkonan dikenal dengan bentuknya yang khas melalui struktur bawah, tengah dan atas yang memiliki keindahan estetika struktur dan konstruksinya.[6] Sistem struktur dan konstruksi arsitektur Tongkonan merupakan sistem struktur yang terpisah antara bagian bawah (sulluk banua), bagian tengah (kale banua), dan bagian atap (rantiang banua). Setiap bagian memiliki sistem struktur dan konstruksi yang berbeda.[6]

Mekanika sistem struktur membentuk suatu sistem estetika arsitektural.[2] Sistem struktur dan konstruksi pada Tongkonan adalah struktur jamak, gaya reaksi dari sebuah bagian struktur menjadi beban aksi pada bagian struktur yang menahannya. Sistem struktur utama bangunan rumah Tongkonan adalah sistem kerangka. Kerangka bagian atas lantai merupakan bagian dari dinding yang sekaligus berfungsi untuk memikul beban atap. Beban dinding badan bangunan diteruskan ke kolom rangka kaki, dan sebagian besar beban disalurkan melalui umpak ke muka tanah.[9]

Konstruksi susun tumpang tindih dan ikat dari material bambu dan ditopang oleh tiang memberikan kekuatan struktur sehingga bagian ini juga dapat berdiri sendiri dan terpisah dengan bagian konstruksi Tongkonan lainnya.[10] Konstruksi rumah adat Tongkonan terbuat dari kayu tanpa menggunakan unsur logam seperti paku. Tongkonan atau rumah adat Toraja, selalu berbentuk segi empat, ukuran panjang dan lebar telah disebut di atas. Ragam hias atau ukiran pada Tongkonan merupakan simbol pengharapan agar penghuni rumah dapat hidup dengan baik.[11]

Tongkonan saat ini telah kehilangan fungsinya sebagai hunian utama. Keluarga Toraja masa kini umumnya membangun rumah tinggal pribadi dengan gaya arsitektur yang tidak berbeda dengan rumah modern di perkotaan Indonesia pada umumnya. Jika masih tersedia lahan di dekat tongkonan, biasanya anak keturunan empunya tongkonan akan mendirikan rumah di sebelah barat.[3]

Tongkonan merupakan ‘kursi’ dari nenek moyang yang dihormati yang menemukan rumah tersebut. Salah satu keturunan dari sang penemu (the founders), kepala kelompok keluarga, memimpin ‘Rumah’ dan segala isinya. Dia bertanggungjawab untuk mengamati semua upacara, tak peduli apakah upacara tersebut besar atau kecil, dimana ‘Rumah’ (tongkonan) adalah pusat sosial dan religius bagi kelompok keluarga. Tongkonan merupakan representasi mikrokosmik dari makrokosmik. Tongkonan dapat berupa rumah tradisional (banua) dan lumbung padi (alang atau korang).[12]

Dengan sifatnya yang demikian, Tongkonan dapat diartikan beberapa fungsi, antara lain pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial, sehingga fungsi Tongkonan tidaklah sekedar sebagi tempat untuk duduk bersama, lebih luas lagi meliputi segala aspek kehidupan. Apabila mempelajari letak dan upacara-upacara yang dilaksanakan, melalui simbol-simbolnya akan diketahui bahwa Tongkonan adalah simbol sosial dan simbol alam raya. Oleh karena itu, orang Toraja sangat men"sakral"kan Tongkonan.[13]

Sebuah Tongkonan tidak hanya sebagai tempat hunian semata tapi juga mengandung fungsi dan makna yang bersumber dari filosofi orang Toraja, fungsi Tongkonan bagi orang Toraja sebagai tempat rumpun keluarga dalam melaksanakan upacara-upacara yang berkaitan dengan sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, sistem kemasyarakatan dan lainnya selain itu Tongkonan juga berfungsi sebagai tempat membicarakan dan memutuskan aturan-aturan dalam masyarakat yang mengatur hubungan interaksi sosial, juga pusat pembinaan tentang gotong royong, tolong menolong dan lainnya.[14]

Rumah adat Tongkonan yang sarat dengan ukiran mengandung makna yaitu melambangkan status sosial pemilik Tongkonan menempati lapisan atas, seperti untuk mengenal latar belakang atau status sosial serta nama marga seseorang hanya dengan menanyakan Tongkonan asalnya Selanjutnya dikemukakan bahwa seseorang dalam pola hidup yang artinya pola pikir diwujudkan dalam perilaku harus di tempatkan di dalam kerangka dan struktur yang sudah melembaga di dalam adat, sebab orang adalah bagian dalam persekutuan komunitas yang berakar dalam Tongkonan.[4]

Secara filosofis Tongkonan selalu bertolak pada falsafah kehidupan yang diambil dari ajaran Aluk Todolo, dimana bangunan rumah adat mempunyai makna dan arti dalam semua proses kehidupan masyarakat Toraja.[15] Tongkonan adalah simbol keluarga dan martabat orang Toraja. Jika tongkonan digadaikan, apalagi dijual, ini ibarat menggadaikan atau menjual martabat keluarga dan nenek moyang kami, dan ini menimbulkan malu bagi anggota keluarga tongkonan. Harta tongkonan dapat ditambah, tapi tidak dikurangi untuk keberlangsungan hidup generasi tongkonan.[8]

Ruang pada bagian badan Tongkonan terbagi atas tiga bagian, yaitu:

- Ruang bagian depan (Tangdo') disebut kale banua menghadap bagian utara. Tempat penyajian kurban pada upacara persembahan dan pemujaan kepada Puang Matua.

- Ruang tengah (Sali) lebih luas dan agak rendah dari ruang lainnya. Terbagi atas bagian kiri (barat) tempat sajian kurban hewan dalam upacara Aluk Rambu Solo' dan bagian kanan (timur) tempat sajian kurban persembahan dalam upacara Aluk Rambu Tuka'.

- Ruang belakang (Sumbung) disebut pollo banua (ekor rumah) berada dibagian selatan, tempat masuknya penyakit.[16]

Rumah Tongkonan merupakan tatanan simbol keberadaan keluarga penghuni dan sebagai tempat (pusat) berkumpulnya rumpun keluarga. Selain berfungsi sebagai rumah adat dan simbol status sosial, Tongkonan juga berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat yang religius.[17]

Rumah tradisional atau rumah adat yang disebut Tongkonan harus menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi dibagi dalam 4 penjuru, yaitu :

1. Bagian utara disebut ulunna langi, yang paling mulia;

2. Bagian timur disebut mataallo, tempat matahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau kehidupan;

3. Bagian barat disebut matampu, tempat matahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian; dan

4. Bagian selatan disebut pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik.[18]

Rumah Tongkonan yang di renovasi tetap mengikuti bentuk asli, namun ada beberapa bagian yang sudah mengalami perubahan. Atapnya tidak lagi dibuat dari bambu tetapi sudah diganti dengan atap seng. Begitu pula dengan dinding rumah tetap terbuat dari kayu namun ukirannya sudah tampak penuh demikian juga tiang utama, depan dan belakang pun sudah diukir. Di dalam ruang tengah yang dulunya ada dapur untuk memasak sekarang sudah ditiadakan. Biaya untuk merenovasi rumah Tongkonan keseluruhannya membutuhkan uang yang jumlahnya sangat banyak kurang lebih Rp 1 Miliar. Keadaan sekarang sekalipun Tongkonan sudah di renovasi atau dibangun kembali tetap tidak digunakan sebagai rumah tinggal oleh keluarga memiliki Tongkonan. Namun hanya sekarang digunakan untuk menerima tamu.[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Pakan, Pratiknjo, dan Mamosey 2018, hlm. 2.
  2. ^ a b Sir 2015, hlm. 1-2.
  3. ^ a b c Pakan, Pratiknjo, dan Mamosey 2018, hlm. 3.
  4. ^ a b Pakan, Pratiknjo, dan Mamosey 2018, hlm. 10.
  5. ^ "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2020-09-29. 
  6. ^ a b c Sir 2018, hlm. 103.
  7. ^ Idrus 2016, hlm. 15.
  8. ^ a b Idrus 2016, hlm. 17.
  9. ^ Sir 2015, hlm. 7.
  10. ^ Sir 2018, hlm. 104.
  11. ^ Sultan dan Mayasari 2014, hlm. 43.
  12. ^ Idrus 2016, hlm. 14.
  13. ^ Stephany 2009, hlm. 30.
  14. ^ Pakan, Pratiknjo, dan Mamosey 2018, hlm. 4.
  15. ^ Pakan, Pratiknjo, dan Mamosey 2018, hlm. 6.
  16. ^ Stephany 2009, hlm. 31.
  17. ^ Sultan dan Mayasari 2014, hlm. 40.
  18. ^ Sultan dan Mayasari 2014, hlm. 41-42.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]