Hartojo Andangdaja
Hartojo Andangdjaja (4 Juli 1933 – 30 Agustus 1990) adalah sastrawan Indonesia angkatan 1966. Mengawali kariernya sebagai penulis lepas, kemudian mengasuh sejumlah media massa sebagai redaktur. Ia menulis karya-karya sastra dalam bentuk fiksi dan kritik sastra. Esainya, Pola-Pola Pantun Dalam Persajakan Modern menerima hadiah dari majalah Sastra asuhan H.B. Jassin (1962).[1]
Kehidupan pribadi
[sunting | sunting sumber]Hartojo lahir dan tumbuh di Solo, Jawa Tengah. Pendidikan dasar dan menengahnya di lingkungan sekolah Islam Muhammadiyah Surakarta. Pendidikan terakhirnya adalah Muallimin Muhammadiyah Solo, yang kemudian hari berganti nama menjadi Sekolah Guru Muhammadiyah Solo, sejajar dengan PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama), jurusan Bahasa Indonesia, tahun 1953. Pendidikannya tersendat-sendat akibat penjajahan Jepang dan perang revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Setamat dari sekolah guru, ia mengajar di beberapa sekolah swasta SLTP dan SMA di Solo (1953–1956). Sambil mengajar ia mengajukan lamaran menjadi guru pegawai negeri. Lamarannya pun diterima dan ia ditugaskan menjadi guru SLTP Negeri Pasaman, Sumatera Barat. Selain itu, ia juga menjadi tenaga honorer di SMA Negeri Simpang Empat, Pasaman, Sumatera Barat (1957–1962). Ketika terjadi peristiwa PRRI Permesta awal tahun 1960-an di Sumatera Barat, ia dituduh berpihak pada republik sehingga ia memilih menyelamatkan diri dengan meninggalkan tanah Minang, tanpa sempat mengurus kepindahan tugas mengajarnya dari kedua sekolahan tersebut.[2]
Ia tidak langsung pulang ke Solo, melainkan memilih singgah dan bekerja di Jakarta bergabung dengan majalah Si Kuntjung. Bersama rekan-rekan seniman yang lainnya, pada tahun 1963 ia ikut mencetuskan dan menandatangani Manifes Kebudayaan. Setelah terjadi pelarangan Manifes Kebudayaan pada tahun 1964, hidupnya kembali terancam oleh Lekra-PKI yang anti-Manifes. Ia kembali meninggalkan sumber nafkahnya di majalah Si Kuntjung dan kemudian pulang ke kampung halamannya, Tegal Kembang, Laweyan, Solo. Setelah peristiwa G30S/PKI usai, barulah ia kembali mendapat pekerjaan sebagai guru di STN (Sekolah Teknik Negeri) Kartasura dan SLTP Batik Solo. Kisah hidupnya sebagai seorang guru ditulis dalam sajaknya Dari Seorang Guru Kepada Murid-Muridnya (dimuat dalam majalah Cerpen Tahun I Nomor 7, 1967).[3]
Beberapa puisinya pun pernah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing dan terbit di Amerika Serikat dan Jepang. Satu-satunya buku kumpulan puisi tunggal yang dimilikinya adalah Buku Puisi (1973) yang memuat sebanyak 36 sajak dan diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya atas prakarsa Ajip Rosidi.[4]
Salah satu karya esainya bertajuk Pola-Pola Pantun Dalam Persajakan Modern (dimuat dalam majalah Sastra Nomor 6 Tahun II, 1962, hlm. 31–34), pernah memenangkan hadiah dari majalah Sastra asuhan H.B. Jassin. Esai kemudian dimuat pula dalam buku Sejumlah Majalah Sastra (1982) susunan Satyagraha Hoerip (Jakarta: Sinar Harapan), dan dimuat pula dalam buku Dari Sunyi ke Bunyi: Kumpulan Esai Tentang Puisi (1991) dengan pengantar Goenawan Mohamad (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti).
Selain sebagai penulis puisi dan esai, ia pernah menjadi redaktur beberapa majalah antara lain Merpati (Solo, 1948), Tjitra (Solo, 1952–1954), Si Kuntjung (Jakarta, 1962–1964), Madyantara (Solo, 1974), dan Relung Pustaka (Solo, 1970-an). Ketika masih berada di Solo, Hartojo bersama D.S. Moeljanto pernah pula memimpin ruang seni dan sastra Simposium dalam majalah Dwiwarna (1953–1954). Selain bergerak di bidang tulis-menulis, ia pun pernah mencoba bekerja di perusahaan swasta di Solo hingga tahun 1972. Karena perusahaan tempatnya bekerja itu macet, ia pun berhenti bekerja dan pindah bekerja di perusahaan batik, namun jenis pekerjaan ini pun tidak sesuai dengan cita-cita dan harapannya.[5]
Setelah mencoba menekuni pekerjaan lain di luar bidang tulis menulis, dan semuanya tidak ada yang cocok, sejak tahun 1976 ia memutuskan untuk kembali menekuni kariernya di bidang penulisan esai dan penerjemahan. Sebagai seorang partikeliran atau swasta, ia cukup tinggal di rumahnya, bahu-membahu dengan istrinya, sambil sesekali mengunjungi perpustakaan dan toko buku, ke kantor pos mengirimkan karya-karyanya ke berbagai majalah, surat kabar, dan penerbitan, serta mengambil wesel honororium tulisannya. Menjelang akhir hayatnya, ia sering sakit-sakitan, digerogoti asma-bronchitis. Dalam kondisi yang sakit-sakitan itu dia beruntung selalu ditemani oleh Istida, istrinya, dan kedua anaknya, Haris Wijayanto dan Fitri Wijayanti.
Karya
[sunting | sunting sumber]Karier kepenulisannya sendiri dimulai sejak duduk di bangku sekolah menengah di Solo. Mula-mula tulisannya dimuat dalam majalah Pantja Raya, akhir tahun 1940-an. Kemudian pada tahun 1950-an tulisan-tulisannya, puisi dan esai, mulai menghiasi majalah-majalah lokal dan nasional seperti Kisah, Tjitra, Seniman, Revolusi Pemuda, Madyantara, Arena, Pembangoenan, Merpati, Mimbar Indonesia, Horison, Budaya Jaya, Sastra, Cerpen, Warna Sari, Tempo, Si Kuntjung, Relung, Pustaka, KAMI, Pos Minggu, Kompas, Haluan, dan Sinar Harapan. Selain menulis puisi, ia pun menulis cerita pendek dan karya drama. Namun, dibidang genre puisilah bakat dan minatnya berkembang subur. Sebagai seorang penyair, ia telah menghasilkan ratusan puisi. Bahkan sejumlah puisi karyanya pernah pula menghiasi beberapa buku antologi, antara lain:
- Simponi Puisi (Solo, 1954, antologi puisi bersama DS. Moeljanto)
- Manifestasi (antologi puisi bersama Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, dan lain-lain, 1963)
- Angkatan 66: Prosa dan Puisi (susunan H,B. Jassin, 1968)
- Laut Biru Langit Biru (susunan Ajip Rosidi, 1977)
- Tonggak 2: Antologi Puisi Indonesia Modern (susunan Linus Suryadi A.G., 1987)*
- Dari Fansuri ke Handyani (susunan Taufiq Ismail dkk, 2001)
- Horison Sastra Indonesia 1 Kitab Puisi (susunan Taufiq Ismail dkk, 2002).
Terjemahan
[sunting | sunting sumber]Buku-buku hasil terjemahannya pada umumnya diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya. Buku-buku sastra hasil terjemahannya membuka cakrawala baru dalam khazanah sastra terjemahan di Indonesia. Sambutan khalayak pembaca sastra di Indonesia pun sangat antusias dan positif dengan ditandai buku-buku tersebut dapat terbit kembali dan cetak ulang. Berbekal pengetahuan dan penguasaannya berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, Benggali, Tagalok, Jepang, dan Arab, ia pun mampu menerjemahkan beberapa buku ke dalam bahasa Indonesia, antara lain:
- Tukang Kebun (sajak-sajak romantik Rabindranath Tagore, pujangga terbesar dari India, 1976)
- Kubur Terhormat bagi Pelaut (kumpulan sajak J.J. Slauerhoff, 1977)
- Rahasia Hati (novel Jepang karya Natsume Soseki, 1978)
- Musyawarah Burung-Burung (prosa liris dari Timur Tengah karya Faridu’d-Din Attar, 1983)
- Tokoh-Tokoh Munafik (karya pengarang Filipina, F. Sionel Jose, 1981)
- Puisi Arab Modern (beberapa puisi dari penyair Bahrain, Saudi Arabia, Aden, Irak, Suriah, Lebanon, Pakistan, Mesir, Libia, Tunisia, dan Marokko, 1984).
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Website resmi Taman Ismail Marzuki Diarsipkan 2015-04-02 di Wayback Machine., diakses 28 Februari 2015
- ^ Media-Kompasiana Diarsipkan 2015-04-02 di Wayback Machine., diakses 28 Februari 2015
- ^ Amzon: Hartojo Andangdaja Diarsipkan 2016-09-25 di Wayback Machine., diakses 28 Februari 2015
- ^ World Cat: Hartojo Andangdaja Diarsipkan 2018-10-29 di Wayback Machine., diakses 28 Februari 2015
- ^ Narassastra: Dari ara tentang Hartojo Andangdadja Diarsipkan 2016-03-04 di Wayback Machine., diakses 28 Februari 2015