Lompat ke isi

Bahasa Melayu Maumere

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Bahasa Melayu Maumere adalah bahasa kreol berbasis Melayu atau bahkan pijin yang dituturkan di Kota Maumere, sebuah kota kecil di pesisir utara Pulau Flores.[1] Belum diketahui klasifikasi yang jelas mengenai bahasa ini, tetapi jika dilihat dari ciri kebahasaan dan kondisi tuturnya bahasa ini termasuk kedalam ciri bahasa pijin, karena kosakata dan tata bahasanya terbatas, serta sering kali diambil dari beberapa bahasa berbeda. Bahasa ini paling umum digunakan dalam situasi seperti perdagangan atau ketika seseorang berbicara dalam bahasa yang berbeda dan tidak saling memahami.[2]

Sejarah

Penggunaan bahasa Melayu di Kota Maumere sendiri sudah dimulai sejak masa kolonial Belanda, tepatnya pada abad ke-19; bahkan kemungkinan telah digunakan sejak lama. Hal ini berkaitan dengan misi Katolik di Pulau Flores saat itu. Karena pada waktu itu sebagai besar masyarakat Sikka tidak bisa berbahasa Melayu, maka untuk memudahkan misi tersebut, digaungkanlah penggunaan bahasa Melayu oleh Gereja Katolik di Flores.[3]

Karena banyaknya bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat di Flores kendati jarak wilayahnya tidak terlalu jauh menjadikan kedudukan bahasa Indonesia di Flores menjadi sangat penting dan hampir semua wilayah bahkan yang paling terpencil sekalipun, masyarakatnya berusaha untuk belajar bahasa Indonesia (disebut bahasa Melayu oleh masyarakat Flores).[4] Sekolah-sekolah yang dikembangkan oleh misi Gereja juga membantu dalam mensosialisasikan bahasa Indonesia. Karena adanya penggunaan bahasa penghubung dalam lingkup masyarakat yang mempunyai keragaman bahasa, penggunaan bahasa Indonesia sering bercampur dengan bahasa-bahasa daerah. Percampuran itu menciptakan keunikan dan kekhasan tersendiri dalam bahasanya, salah satunya bahasa Melayu Maumere.[5] Selain bahasa Indonesia, bahasa Jawa juga memberikan pengaruh pada bahasa Melayu Maumere. Penggunaan unsur-unsur bahasa Jawa terdapat dalam kosakata yang digunakan.[6] Hal ini tidak terlepas dari hegemoni etnis Jawa di Indonesia dan program transmigrasi yang diadakan oleh Pemerintah Indonesia.[7]

Penggunaan

Masyarakat tutur bahasa Melayu Maumere adalah orang yang tinggal dan menetap di Kota Maumere. Di Kota Maumere, mayoritas masyarakatnya dwibahasa. Hal ini dilatarbelakangi oleh beragamnya penggunaan bahasa di kota ini, seperti bahasa Lio, Sikka, Bajo, dan Indonesia. Kenyataan tersebut dapat dilihat pada situasi tutur yang menjadikan bahasa Lio dan bahasa Indonesia sebagai medium komunikasi. Akan tetapi dalam komunikasi sehari-hari, terutama komunikasi antar kelompok masyarakat di Kota Maumere biasanya menggunakan bahasa Indonesia dan juga ragam Melayu lokal yang disebut sebagai bahasa Melayu Maumere. Dapat dilihat bahwa kebutuhan masyarakat dalam menguasai bahasa Indonesia merupakan hal tidak bisa dihindarkan. Dalam satu kasus, jika mereka hanya menguasai bahasa Sikka saja, mereka akan merasa kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang bukan beretnis Sikka. Keadaan inilah yang kemudian menjadikan bahasa Indonesia berkembang lebih pesat dalam hal fungsi dan kedudukannya; yang kemudian menyebabkan terbentuknya bahasa Melayu Maumere.[1]

Karena kepentingan komunikasi tersebut, bahasa Indonesia dinilai paling tepat sebagai sarana komunikasi antar etnis di Kota Maumere. Pasar Alok di Kota Maumere merupakan gambaran yang tepat untuk menyatakan situasi heterogen tersebut. Di tempat itu, masyarakat yang berasal dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur, khususnya Pulau Flores mengadakan transaksi jual beli. Karena mereka datang dari latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda, komunikasi yang terjadi akhirnya menggunakan bahasa gado-gado. Terkadang mereka memakai bahasa Indonesia, kemudian bahasa Sikka, bahkan bahasa Lio.[8] Penggunaan bahasa di berbagai peristiwa tutur yang terjadi pada masyarakat Kota Maumere sangat bervariatif. Terjadinya campur kode merupakan hal yang logis bagi mereka, karena situasi kebahasaan yang heterogen pada masyarakat tersebut. Hal itu dilakukan karena pada umumnya mereka menguasai bahasa-bahasa yang digunakan dengan baik, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Melayu Maumere, dan bahasa ibu mereka seperti bahasa Sikka dan bahasa Lio. Campur kode terjadi ketika seorang penutur dwibahasa yang mampu menggunakan dua bahasa secara bersamaan dalam komunikasi dalam kurun waktu yang sama.[9]

Contoh penggunaan

Terdapat dua jenis campur kode yang dijabarkan dalam penggunaan bahasa Melayu Maumere, yaitu campur kode intern dan campur kode ekstern. Kedua jenis campur kode tersebut dapat ditemukan dalam tuturan interaksi jual beli di Pasar Alok.[9]

Campur kode intern

Terdapat dua jenis dalam campur kode intern, yaitu berdasarkan kata dan frasa.[10]

Campur kode intern berwujud kata

Berikut contoh percakapan yang berupa campur kode intern yang berwujud kata dari penjual kepada pembeli agar pembeli tertarik dengan dagangannya yang berupa rok.[11] <quote> Pembeli: "Rok ini berapa harganya, mas?" Penjual: "Delapan puluh lima ribu" Pembeli: "Wui… mahal ngeri mas! Turun sedikitkah mas" Penjual: "Pas delapan puluh ribu" </quote> Dalam penggalan percakapan tersebut, pembeli bertutur menggunakan campur kode intern dengan menyisipkan bahasa Melayu Maumere dan bahasa Indonesia. Seperti pada kalimat "Wui… mahal ngeri! Turun sedikitkah mas" yang berarti "Mahal sekali! tidak bisa kurang mas" yang berasal dari tuturan bahasa Melayu Maumere dan diikuti dengan bahasa Indonesia. Tuturan campur kode tersebut disebabkan pembeli merasa terkejut dan pembeli beranggapan bahwa harga rok tersebut tidak akan setinggi yang ditawarkan oleh penjual. Namun, bagi penjual menawarkan dengan harga berapa pun tidak ada yang melarang.[11]

Dalam contoh percakapan kedua ini mengandung tuturan yang berupa campur kode intern yang berwujud kata, pada saat penjual menawarkan dagangannya berupa sayur dengan harga terlalu tinggi.[11] <Quote> Pembeli: "Sayur ini berapa, inang?" Penjual: "Dua lima ribu" Pembeli: "Ais… tiga su e" Penjual: "Tidak bisa di… dua a'u ju ambil dengan tiga lima ribu na" </Quote> Dalam contoh percakapan kedua ini pembeli menggunakan tuturan campur kode intern dengan menyisipkan bahasa Melayu Maumere ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada kalimat "Sayur ini berapa, inang?" dan "Tiga su e." Tuturan tersebut merupakan campur kode dari bahasa Melayu Maumere, dimana kata "inang" berarti "ibu" dan kata "su e" berarti "sudah". Kedua kalimat tersebut dalam kalimat bahasa Indonesia berarti "sayur ini berapa, ibu?" dan "tiga". Kalimat tersebut terjadi pada tingkat kata. Berbeda dengan tuturan penjual yang mengatakan "Tidak bisa di… dua a'u ju ambil dengan tiga lima ribu na'" itu terjadi pada tingkat klausa. Dalam hal ini pembeli merasa terkejut dan kecewa dengan harga yang terlalu tinggi yang ditawarkan oleh penjual.[11]

Dalam contoh percakapan ketiga ini berisi campur kode intern yang berwujud kata dalam tawar-menawar antara penjual dan pembeli yang belum disepakati.[11] <Quote> Pembeli: "Ikan selar berapa?" Penjual: "Enam dua puluh, mama" Pembeli: "Dari kapan ikan goit ini su e" Penjual: "Adu bapak untu apa jao jual ika yang su ancur"

Dalam contoh percakapan ketiga ini, campur kode dipakai pada saat pembeli menanyakan kepada penjual, antara percakapan bahasa Melayu Maumere dan bahasa Lio yang diselingi dengan kalimat bahasa Indonesia. Seperti pada perkataan pembeli "goit ini su e" yang berarti "hancur/rusak" dan kata "untu" ("untuk"), "jao" ("saya"), dan "ika" ("ikan"). Penggalan campur kode di atas merupakan realitas kongkrit yang terjadi pada saat tawar-menawar antara pembeli dengan penjual beretnis Lio.[11]

Campur kode intern berwujud frasa

Percakapan campur kode yang berwujud frasa juga dipakai oleh penjual terhadap pembeli dalam tawar-menawar di Pasar Alok. Berikut ini contoh percakapan yang berisi tuturan campur kode intern berwujud frasa pada saat tawar-menawar.[12] <Quote> Penjual: "Mari, lihat-lihat pakaian dulu" Pembeli: "Ada terusan anak usia tiga tahun, mas?" Penjual: "Ada ibu" Pembeli: "Berapa harganya?" Penjual: "Lima puluh ribu." Pembeli: "Jao pi tes dulu baru datang" </Quote> Percakapan di atas menunjukkan pembeli menggunakan campur kode intern berupa kalimat bahasa Melayu Maumere-Lio pada tingkat klausa yang berbunyi "Jao pi" yang artinya "kami pergi". Frasa "Jao pi" merupakan kalimat dari bahasa Melayu Maumere dan bahasa Lio yang disisipi dengan tuturan bahasa Indonesia pada kalimat "baru datang". Bahasa lisan yang disampaikan pembeli kepada penjual yang tertera di atas "Jao pi tes dulu baru datang" memiliki dua makna. Pertama, pembeli merasa pakaian yang ditawarnya terlalu mahal. Ini terbukti karena antara penjual dan pembeli tidak ada komunikasi lanjutan tentang pakaian yang dijual itu. Kedua, pembeli menjelaskan kepada penjual, bahwa pembeli pasti membeli pakaian itu, namun pembeli menegaskan untuk mencobanya dan setelah itu akan datang kembali untuk melakukan transaksi pembayaran terusan tersebut.[6]

Campur kode ekstern

Campur kode ekstern terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa lain; diluar bahasa ibu dan bahasa Indonesia. Dalam interaksi jual beli di Pasar Alok sering dijumpai pemakaian campur kode ekstern yang mencakup unsur-unsur dari bahasa daerah lain ataupun bahasa asing (paling signifikan bahasa Inggris). Dalam campur kode ekstern ini, dapat ditemukan campur kode bahasa Jawa dan campur kode bahasa Inggris.[6]

Campur kode ekstern dari bahasa Jawa

Dalam interaksi jual beli di Pasar Alok, pembeli dan penjual sering menggunakan campur kode dengan memasukkan unsur-unsur bahasa lain, baik bahasa daerah lainnya maupun bahasa asing. Hal itu karena teridentifikasi faktor kebiasaan oleh penjual atau pembeli. Dengan demikian, penjual dan pembeli dapat menyesuaikan diri dengan siapa mereka berkomunikasi. Jika berkomunikasi dengan pembeli maka bahasa yang dipakai pun menyesuaikan dengan pembeli agar terjadi komunikasi yang lebih mudah. Dalam contoh percakapan ini berisi tuturan yang berupa campuran kode ekstern dari bahasa Jawa.[6] <Quote> Penjual: "Cari apa, mbak?" Pembeli: "Lihat-lihat, mas" Penjual: "Boleh lihat kok! Siapa tau suka" </Quote> Pada contoh percakapan ini, penjual dan pembeli menggunakan campur kode bahasa Jawa yang diselingi dengan kalimat bahasa Indonesia seperti pada kata "mbak" (sebutan untuk perempuan dewasa) dan "mas" (sebutan untuk laki-laki dewasa). Hal itu karena penjual beretnis Jawa, sehingga kebiasaan bertutur untuk perempuan selalu memakai kata "mbak". Begitupun ketika pembeli mengetahui bahwa penjual beretnis Jawa maka responnya menggunakan bahasa Jawa, yaitu pada kata "mas". Penjual menggunakan kata tersebut karena pembeli berlatar belakang orang Jawa diselingi dengan kalimat bahasa Indonesia.[6]

Campur kode ekstern dari bahasa Inggris

Dalam proses interaksi jual beli di Pasar Alok, pembeli dan penjual terkadang menggunakan unsur-unsur bahasa asing sehingga terjadi campur kode dari bahasa asing pada saat terjadi tawar-menawar. Hal ini terjadi karena kebiasaan pembeli ataupun penjual. Dalam contoh percakapan ini mengandung campur kode ekstern dari bahasa Inggris, antara penjual dan pembeli dalam tawar-menawar.[6] <Quote> Penjual: "Bu, beli apa?" Pembeli: "Cari speaker" Penjual: "Mau yang aktif atau biasa?" Pembeli: "Yang aktif saja, harganya berapa?" Penjual: "tujuh ratus lima puluh ribu, boleh nawar" </Quote> Dalam contoh percakapan di atas, kata "speaker" berasal dari bahasa Inggris yang artinya "pengeras suara". Namun karena kebiasaan oleh penutur maka pada saat tawar-menawar barang pun sering terjadi penggunaan unsur-unsur bahasa Inggris.[13]

Lihat juga

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b G. Nuwa, Gustav (2017), hlm. 112.
  2. ^ G. Nuwa, Gustav (2017), hlm. 112-113.
  3. ^ Fernandez, Yuven (2022-05-07). "Telisik Sejarah Christus Ratoe Itang, Majalah Bahasa Sikka Pertama Tahun 1926". ekorantt.com. EkoraNTT. Diakses tanggal 2024-01-06. 
  4. ^ Gregorius Dori Gobang, Jonas Klemens (2014), hlm. 60.
  5. ^ Gregorius Dori Gobang, Jonas Klemens (2014), hlm. 63.
  6. ^ a b c d e f G. Nuwa, Gustav (2017), hlm. 118.
  7. ^ Thornton, David Leonard (1972). Javanization of Indonesian politics. cIRcle UBC. The University of British Columbia. 
  8. ^ G. Nuwa, Gustav (2017), hlm. 113.
  9. ^ a b G. Nuwa, Gustav (2017), hlm. 116.
  10. ^ G. Nuwa, Gustav (2017), hlm. 116-117.
  11. ^ a b c d e f G. Nuwa, Gustav (2017), hlm. 117.
  12. ^ G. Nuwa, Gustav (2017), hlm. 117-118.
  13. ^ G. Nuwa, Gustav (2017), hlm. 119.

Daftar pustaka