Lompat ke isi

Dampak lingkungan dari peternakan hewan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

'''Dampak peternakan terhadap lingkungan''' merupakan yang menjadit treding sorotan publik saat ini, karena banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan peternakan dalam konteks negatif maupun positif di lingkungan masyarakat, sehingganya kegiatan peternakan ini bisa menjadi salah satu masalah terhadap masyarakat ketika dampak yang ditimbulkan itu bersifat negatif dan bisa menjadi salah satu keuntungan bagi masyarakat ketika hal yang ditimbulkan itu bersifat positif.[1]

Latar Belakang

contoh peternakan

Landasan ilmu peternakan adalah pengetahuan. Perkembangan ilmu peternakan ini dimulai oleh para pelopor dimasa yang lalu. Dari saat manusia untuk pertamakalinya berusaha menjinakan hewan liar hingga jaman sekarang. disaat marekan hidup dan pelihara, hewan ternak ini sering dimanfaatkan air susunya, wool, tenaga, bahkan hewaan ternak ini juga sering dimanfaatkan untuk alat transportasi, perlindungan, olahraga serta kesenangan. Apabila sudah dipotong, hewan ternak dapat menghasilkan daging serta produk lain mulai dari lem sampai obat, baju sampai pupuk. Tidak banyak produk-produk bahan lain yang memiliki keragaman penggunana demikian luas dibandingkan hewan ternak khususnya sapi, dan kambing.

Menurut Undang-Undang no. 6/1967, ternak adalah “Hewan piaraan, atau hewan yang dipelihara oleh manusia yang hidupnya yakni mengenal tempatnya, makanannya dan perkembang-biakannya serta manfaatnya, diatur dan diawasi oleh manusia, dipellihara khusus sebagai penghasil bahan-bahan dan jasa-jasa yang berguna bagi kepentingan hidup manusia”.[2]

Sapi merupakan salah satu komoditas hewan animalia yang memiliki tubuh besar dan hidup di darat, sapi juga sering kali dijadikan oleh masyarakat sebagai hewan ternak, ini dikarenakan sapi merupakan hewan yang memiliki nilai jual yang tinggi. Oleh karena itu tidak sedikit masyarakat yang menjadikan sapi sebagai salah satu hewan ternak meraka

Dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan peternakan terhadap lingkungan

Dampak Negatif

Dampak dari peternakan hewan terhadap lingkungan dapat, bervariasi karena beragamnya kegiatan pertanian yang dilakukan di seluruh dunia. Meskipun demikian, semua kegiatan pertanian diketahui memiliki banyak sekali dampak terhadap lingkungan sampai batas tertentu. Peternakan, khususnya produksi daging, dapat menyebabkan polusi, emisi gas rumah kaca, berkurangnya keanekaragaman hayati, penyakit, konsumsi lahan, makanan, dan air secara signifikan. Daging dapat diperoleh melalui berbagai metode, termasuk pertanian organik, peternakan bebas, produksi ternak intensif, dan pertanian subsisten. Sektor peternakan juga mencakup produksi wol, telur dan susu.

Peternakan merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca yang cukup besar. Sapi, domba, dan hewan ruminansia lainnya mencerna makanannya melalui fermentasi enterik, dan sendawa mereka merupakan sumber utama emisi metana dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan. Bersama dengan metana dan dinitrogen oksida dari kotoran ternak, hal ini menjadikan peternakan sebagai sumber utama emisi gas rumah kaca dari kegiatan pertanian. Mengurangi konsumsi daging secara besar besaran sangat penting, karena cara ini dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim, terutama ketika populasi manusia diperkirakan meningkat sebesar 2,3 miliar pada pertengahan abad ini.[3]

Penurunan permintaan pasokan daging dapat mempengaruhi jumlah produksi daging, sehingga secara langsung dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh produksi daging terhadap lingkungan. Diperkirakan bahwa konsumsi daging global akan berlipat ganda pada tahun 2000 hingga 2050, ini disebabkan oleh sebagian besar peningkatan populasi dunia, namun juga sebagian disebabkan oleh peningkatan konsumsi daging per kapita (sebagian besar peningkatan konsumsi per kapita terjadi di negara-negara berkembang) . [4]Populasi manusia diproyeksikan meningkat menjadi 9 miliar pada tahun 2050, dan produksi daging diperkirakan meningkat sebesar 40%. Produksi dan konsumsi daging unggas global akhir-akhir ini meningkat lebih dari 5% setiap tahunnya. Konsumsi daging biasanya meningkat seiring bertambahnya kekayaan[5]

Dampak positif

Selain membawa dampak yang negatif, peternakan juga menyimpan banyak dampak positif

Kasus

Pada tahun 2006, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menerbitkan sebuah penelitian berjudul “Bayangan Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow),” yang mendapat perhatian luas secara global. Disebutkan bahwa ternak memberikan kontribusi kurang lebih sebesar 18% emisi gas rumah kaca dunia. FAO menarik kesimpulan yang mengejutkan: Peternakan memberikan kontribusi yang lebih banyak dalam kerusakan lingkungan dibanding semua moda transportasi digabung. Hal itu mendorong setiap negara untuk memiliki kebijakan yang fokus pada masalah degradasi lahan, perubahan iklim dan polusi udara, kekurangan air dan polusinya, serta berkurangnya biodiversitas.[6]

Banyak penelitian yang menemukan bahwa peningkatan konsumsi daging saat ini sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan populasi manusia dan peningkatan pendapatan individu atau PDB. Oleh karena itu, dampak yang terjadi pada lingkungan dari hasil produksi dan konsumsi daging akan meningkat, hal ini dapat dicegah kecuali jika perilaku saat ini berubah.[7]

Referensi

  1. ^ Rebecca (2022-08-05). "The Environmental Cost of Animal Agriculture". IAPWA (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-12-18. 
  2. ^ "UU No. 6 Tahun 1967". Database Peraturan | JDIH BPK. Diakses tanggal 2023-12-21. 
  3. ^ Carrington, Damian; editor, Damian Carrington Environment (2018-10-10). "Huge reduction in meat-eating 'essential' to avoid climate breakdown". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2023-12-28. 
  4. ^ "David Nibert". Wikipedia (dalam bahasa Inggris). 2023-08-04. 
  5. ^ "World agriculture: towards 2030/2050". www.fao.org. Diakses tanggal 2023-12-29. 
  6. ^ "PB ISPI". 
  7. ^ Parlasca, Martin C.; Qaim, Matin (2022-10-05). "Meat Consumption and Sustainability". Annual Review of Resource Economics (dalam bahasa Inggris). 14 (1): 17–41. doi:10.1146/annurev-resource-111820-032340. ISSN 1941-1340.