Doktrin instrumen hidup
Doktrin instrumen hidup (bahasa Inggris: living instrument) adalah metode yang dikembangkan dan digunakan oleh Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa untuk menafsirkan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia sesuai dengan kondisi saat ini alih-alih kondisi pada saat perjanjian tersebut disahkan (tahun 1950).[1][2][3]
Asal usul
[sunting | sunting sumber]Doktrin instrumen hidup pertama kali dikemukakan oleh Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa dalam perkara Tyrer v. United Kingdom (1978).[4] Dalam perkara tersebut, mahkamah menolak argumen bahwa hukuman pukulan dengan menggunakan ranting pohon betula (birching) tidak melanggar Pasal 3 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi manusia karena rakyat Isle of Man mendukung hukuman semacam itu. Menurut Mahkamah HAM Eropa, Konvensi HAM Eropa "adalah sebuah instrumen hidup yang (...) harus ditafsirkan sesuai dengan kondisi saat ini."[4] Mahkamah kemudian menyatakan bahwa hukuman birching melanggar Pasal 3 Konvensi HAM Eropa, terutama karena Mahkamah mempertimbangkan perkembangan dan standar yang diterima oleh negara-negara anggota Majelis Eropa mengenai kebijakan hukuman pidana.[4]
Doktrin instrumen hidup juga berperan penting dalam perkara Marckx v. Belgia (1979). Dalam perkara ini, mahkamah memutuskan bahwa sudah tidak ada lagi alasan yang dapat membenarkan perlakuan yang berbeda terhadap anak di luar nikah, terutama mengingat bahwa pada saat itu perlakuan semacam ini sudah tidak lagi diterima oleh negara-negara Majelis Eropa pada umumnya. Kemudian, dalam perkara Dudgeon v United Kingdom (1981) mengenai pemidanaan hubungan seks sesama jenis antar lelaki di Irlandia Utara, Mahkamah HAM Eropa memutuskan bahwa "bila dibandingkan dengan zaman ketika undang-undang tersebut ditetapkan, saat ini sudah ada pemahaman yang lebih baik, sehingga toleransi terhadap perilaku homoseksual meningkat sampai-sampai sudah dianggap tidak lagi diperlukan ataupun pantas" untuk memidanakan hubungan seks sesama jenis.[5][6] Menurut pakar hukum George Letsas, perkara-perkara ini memiliki suatu pola yang sama: perkara mengenai isu moral diangkat di Mahkamah HAM Eropa, lalu mahkamah menggarisbawahi pentingnya aspek moral dalam suatu negara, tetapi pada saat yang sama juga mempertimbangkan perkembangan di negara-negara anggota Majelis Eropa lainnya.[7]
Dalam perkara Demir and Baykara v. Turkey (2008), Mahkamah HAM Eropa menyatakan bahwa doktrin instrumen hidup tidak hanya mempertimbangkan kondisi saat ini, tetapi juga perkembangan dalam hukum internasional agar penafsiran dapat melambangkan "standar yang semakin tinggi yang diharuskan dalam perlindungan hak asasi manusia".[5]
Dampak
[sunting | sunting sumber]Mengingat doktrin instrumen hidup mempertimbangkan apakah terdapat konsensus Eropa dalam isu-isu tertentu, doktrin ini sangat terkait dengan konsep margin apresiasi.[8][5]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Dzehtsiarou, Kanstantsin (2011). "European Consensus and the Evolutive Interpretation of the European Convention on Human Rights". German Law Journal. 12 (10): 1730–1745. doi:10.1017/S2071832200017533.
- ^ Mowbray, A. (2005). "The Creativity of the European Court of Human Rights". Human Rights Law Review. 5 (1): 57–79. doi:10.1093/hrlrev/ngi003.
- ^ Letsas, George (2013). "The ECHR as a living instrument: its meaning and legitimacy". Dalam Føllesdal, Andreas; Peters, Birgit; Ulfstein, Geir. Constituting Europe: The European Court of Human Rights in a National, European and Global Context. Cambridge University Press. hlm. 106–141. ISBN 978-1-107-02444-1.
- ^ a b c Letsas 2013, hlm. 109.
- ^ a b c ECHR registrar (31 January 2020). "Background paper: The Convention as a Living Instrument at 70" (PDF). Council of Europe.
- ^ Letsas 2013, hlm. 110–111.
- ^ Letsas 2013, hlm. 112.
- ^ Letsas 2013, hlm. 112–113.
Bacaan lanjut
[sunting | sunting sumber]- Byron, Christine (2016). "The European Court of Human Rights: A Living Instrument as Applied to Homosexuality". Judges' Journal. 55: 36–39.
- Draghici, Carmen (2017). The Legitimacy of Family Rights in Strasbourg Case Law: 'Living Instrument' or Extinguished Sovereignty? (dalam bahasa Inggris). Bloomsbury Publishing. ISBN 978-1-5099-0526-3.
- Letsas, George (2007). A Theory of Interpretation of the European Convention on Human Rights (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-920343-7.
- Webber, Thomas (2016) (dalam bahasa en). The European Convention on Human Rights and the Living instrument doctrine: an investigation into the Convention's constitutional nature and evolutive interpretation (Tesis PhD). University of Southampton. https://eprints.soton.ac.uk/413852/.
- Shachor-Landau, Chava (2015). "The European Convention on Human Rights (ECHR), 1950, as a Living Instrument in the Twenty-First Century". Israel Yearbook on Human Rights (dalam bahasa Inggris). 45: 169–189. doi:10.1163/9789004308091_010.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- 31 January 2020 official dialogue: The European Convention on Human Rights: living instrument at 70