Lompat ke isi

Tenggelamnya KM Gurita

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 19 Februari 2024 15.02 oleh 182.3.8.193 (bicara)

KMP Gurita adalah kapal feri yang tenggelam antara 5 - 6 mil laut dari Perairan Teluk Balohan, Kota Sabang, Aceh, yang terjadi pada tanggal 19 Januari 1996.[1]

KMP Gurita merupakan alat transportasi utama yang menghubungkan Pelabuhan Malahayati, Banda Aceh dan Sabang.

Berdasarkan data Riset Independent News (Rachmad Yuliadi Nasir) bahwa 40 orang dinyatakan selamat, 54 orang ditemukan meninggal, dan 284 orang dinyatakan hilang bersama-sama dengan KMP Gurita yang tidak berhasil di angkat dari dasar laut.

Termasuk kedua orang tua dari Rachmad Yuliadi Nasir. (Asisten 2 Walikota Sabang, Drs.M.Nasir dan istri).

Data Kapal

  1. Tipe: Feri Roll On - Roll Off (RORO)
  2. Panjang: 32,45 meter
  3. Lebar: 7,82 meter
  4. Tinggi: 2,54 meter
  5. Panjang Ukuran Tempat Parkir: 2,30 meter
  6. Tahun Pembuatan: 1970
  7. Tempat Pembuatan: Bina Simpaku, Tokyo, Jepang
  8. Berat: 196,08 Ton
  9. Kapasitas Penumpang: 210 orang

Kronologi Kejadian

Awal

Kapal KMP Gurita berangkat dari Pelabuhan Malahayati, kabupaten Aceh Besar, pukul 18.45 WIB menuju kota Sabang.

Kejadian pada hari Jumat, 19 Januari 1996. Menurut rencana, kapal tersebut seharusnya tiba di Pelabuhan Balohan pukul 21.00 WIB.

Kapal ini menurut penuturan saksi mata yang menyaksikan keberangkatan kapal, melihat kapal memang kelebihan sekaligus sarat muatan, karena kapal yang memiliki kapasitas 210 orang, ternyata disesaki hingga mencapai 378 orang (282 orang warga Sabang, 200-an warga luar Sabang, serta 16 Warga Negara Asing).

Data muatan kapal antara lain muatan barang yang mencapai 50 ton, meliputi 10 ton semen, 8 ton bahan bakar, 15 ton tiang beton listrik, bahan sandang-pangan kebutuhan masyarakat Sabang serta 12 kendaraan roda empat dan 16 roda dua.

Kejadian itu terjadi tiga hari sebelum pelaksanaan ibadah puasa, yaitu 22 Januari 1996. Jum'at sore itu ramai sekali penumpang yang hendak berangkat ke Sabang dengan KMP Gurita yang bersandar di Dermaga Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar.

Tidak ada yang aneh ketika sejumlah penumpang bergerak memasuki kapal yang tergolong tua tersebut. Hanya muatan yang penuh sesak dan seakan ini sudah menjadi kelaziman. Jadwal pelayaran pada Jumat sore, 19 Januari 1996 itu bertambah padat karena menyambut masuknya bulan suci Ramadhan yang jatuh pada 22 Januari 1996.

Dalam tradisi masyarakat Aceh, satu atau dua hari menjelang Ramadhan adalah meugang, di mana pada saat-saat itulah semua anggota keluarga sedapat mungkin bisa berkumpul. Saksi mata yang tak jadi berangkat dengan KMP Gurita karena melihat kondisi kapal yang sarat penumpang mengakui, pada saat meninggalkan Pelabuhan Malahayati, kapal yang naas tersebut sarat penumpang dan barang.

“Saya takut melihat kapal tersebut, jadi saya turun dan membatalkan untuk berangkat,” ujar Daud, penduduk Sabang yang membatalkan niatnya menumpang KM Gurita pada malam itu. Sebagai seorang pedagang yang terbiasa menumpang KM Gurita, Daud mengakui, pada malam keberangkatan dari pelabuhan Malahayati, rasa takutnya tidak dapat ditolak. Ia gelisah. Ada bisikan hati yang melarang Daud berangkat malam itu. “Bisikan itu yang membuat saya selamat,” katanya.

Kisah lainya juga bernada sama, di ungkapkan oleh Buchari (27), pemuda yang dikenal sebagai guru komputer di Sabang. Dia menceritakan, pada malam itu ia tak jadi pulang ke Sabang, karena ada “sesuatu” yang melarang. Padahal, nama Buchari sudah tercantum sebagai penumpang nomor satu pada manifest. “Saya selamat, karena mengurungkan niat pulang malam itu,” ujar Buchari.

Tengah

Di kegelapan malam yang mencekam itu, KMP Gurita mengalami gangguan cuaca dan angin kencang dari arah timur.

Terjadinya gangguan, ditambah muatan yang melebihi kapasitas, mengakibatkan kapal tersebut menjadi oleng.

Nakhoda tak dapat menguasai kapal yang oleng ke kiri dan ke kanan. Saksi mata mengatakan pada pukul 20:15 WIB, kapal penyeberangan itu masih terlihat dari pelabuhan Balohan.

Sanak keluarga yang datang menjemput tak memperkirakan kapal tersebut sedang mengalami gangguan dan tengah berjuang melawan badai. Lampu masih terlihat jelas dari KMP Gurita.

Namun sekitar pukul 20:30 WIB, kapal penyeberangan itu sudah tidak terlihat lagi. Sampai saat itu, belum ada satu pun pejabat di pelabuhan Sabang yang menyatakan kapal mengalami musibah.

Pencarian terus dilakukan, hubungan dengan kapal terputus. Tak ada tanda-tanda apa pun yang bisa diterima dari kapal feri itu.

Kepastian musibah baru diketahui empat jam setelah kejadian, yakni pada saat salah seorang penduduk Pasiran, Kota Bawah Timur, Hanla (22 tahun) penumpang KMP Gurita mampu berenang mengarungi lautan dengan ombak yang ganas dan terdampar di Teluk Keuneukai.

Kabar yang dibawa Hanla itulah yang memastikan bahwa KMP Gurita tenggelam di dekat teluk Balohan.

Sejak saat itu, masyarakat di Pelabuhan Sabang, menjadi gelisah. Sebagian masih tetap tabah menanti kedatangan keluarganya, tetapi sebagian lagi mulai mencari daftar penumpang.

Akhir

Dari penuturan Hanla yang mengatakan kapal tenggelam itulah, disimpulkan bahwa hasil penyelidikan final Tim Pencari Fakta yang bekerja selama sebulan menyatakan, jumlah penumpang yang ada di KM Gurita ternyata 378 orang.

Jumlah orang itu diperoleh setelah seluruh data masuk dari masing-masing daerah. Dari jumlah itu, terbanyak berasal dari Sabang, mencapai 282 orang dan 16 warga negara asing (WNA). Sebenarnya, sejak beberapa tahun lalu masyarakat di Aceh, khususnya di pulau Sabang, sudah memperkirakan bakal terjadi musibah atas KMP Gurita.

Perkiraan itu setelah melihat kondisi feri penyeberangan tersebut yang sering batuk-batuk dan tak layak untuk berlayar lagi.

Namun, karena terbatasnya armada angkutan, Ditjen Perhubungan Darat dalam hal ini PT ASDP (Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) terus mengoperasikan secara reguler kapal tua yang dibuat tahun 1970 di galangan kapal Bina Simpaku, Tokyo, Jepang tersebut.

Penetapan Tersangka

Musibah yang menimpa KMP Gurita tak terlepas dari kealpaan sejumlah pejabat perhubungan di Aceh.

Dari hasil penyelidikan yang dilakukan Polda Aceh, ada enam pejabat di lingkungan Kantor Wilayah (Kanwil) Perhubungan Aceh yang dinyatakan resmi sebagai tersangka kasus tenggelamnya KMP Gurita.

Berkas perkara keenam tersangka itu telah dilimpahkan Polda Aceh Kejaksaan Tinggi dan terakhir, Kejati juga telah menyerahkan berkas perkaranya ke pengadilan negeri di Banda Aceh.

Keenam pejabat yang dinyatakan sebagai tersangka tenggelamnya KMP Gurita itu adalah, AK (Kepala Cabang PT ASDP Banda Aceh), Drs. Yus (Syahbandar), IH (Kepala Bagian Operasi PT ASDP Banda Aceh) dan tiga pejabat di Bagian Administrator Pelabuhan (Adpel) Malahayati yakni AS,KD dan BMA.

Menurut Kapolda waktu itu, walau mereka sudah dinyatakan sebagai tersangka, tetapi belum dilakukan penahanan, karena diyakini, keenam tersangka tidak akan melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan tidak pula mengulangi perbuatannya, atas dasar itulah mereka tidak ditahan.

Keenam tersangka itu dipersalahkan melanggar pasal 263, 338, 359 KUHP serta undang-Undang Nomor 21/1992 tentang pelayaran.

Pasal 263 KUHP dikenakan kepada para tersangka, karena para tersangka sengaja memalsukan sejumlah dokumen mengenai pelayaran KMP Gurita, sehingga terjadi musibah yang menewaskan ratusan orang itu.

Pada pasal 359 KUHP disebutkan, karena kelalaian mereka menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Sedangkan pasal 338 KUHP, karena perbuatan tersangka itu dianggap sebagai pembunuhan, begitu juga Undang-Undang Nomor 21/1992 yang bisa mengancam mereka dengan hukuman lebih dari lima tahun penjara.

Semua tuduhan itu mutlak diberlakukan kepada mereka. Polda Aceh telah meminta sedikitnya keterangan 60 orang saksi, baik yang ada di Sabang maupun di Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar.

Referensi

  1. ^ "Sabotase Tenggelamnya Kapal KM Gurita". June 26, 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-05. Diakses tanggal 2012-03-12.