Lompat ke isi

Idrus bin Salim Al-Jufri

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 19 April 2024 16.54 oleh Fazily (bicara | kontrib) (Mengembalikan suntingan oleh 125.160.231.86 (bicara) ke revisi terakhir oleh Wagino Bot)
Idrus bin Salim
SIS Al-Jufri
SIS Al-Jufri
NamaIdrus bin Salim
Nama lainGuru Tua
KebangsaanIndonesia, Alawiyyin, Arab-Indonesia
ZamanAbad ke-20
Wilayah aktifNusantara
JabatanPendiri Alkhairaat
OrganisasiAlkhairaat
Minat utamaUlama
Da'i
Pengajar
Guru
Sastrawan
Dipengaruhi  oleh
  • 1. Al-Allamah Salim bin Alwy Al-Jufri[1]
    2. Habib Muhsin bin Alwi As-segaf [2]
    3. Habib Ali bin Umar bin Saggaf as-Segaf [2]
    4. Habib Muhammad bin Ibrahim Balfaqih [2]
    5. Habib Abdullah bin Omar al-shatri [2]
    6. Syeikh Muhammad Bakasir [2]
    7. Habib Ahmad bin Hamid[2]
    8. Habib Arif Billah Ali bin Muhammad al-Habsyi[2]
    9. Habib Abu Bakar bin Ahmad al-Bakri[2]
Mempengaruhi
  • 1. Alkhairaat
    2.Universitas Alkhairaat
    3.Himpunan Pemuda Alkhairaat
    4.Wanita Islam Alkhairaat
    5.Ikatan Alumni Alkhairaat

Al-Habib Idrus bin Salim Al-Jufri atau lebih dikenal dengan Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau Guru Tua (15 Maret 1892 – 22 Desember 1969)[1][3][4] merupakan tokoh pejuang di Provinsi Sulawesi Tengah dalam bidang pendidikan agama Islam.

Sepanjang hidupnya, ulama yang akrab disapa Guru Tua ini dikenal sebagai sosok yang cinta ilmu. Tak hanya untuk diri sendiri, ilmu itu juga ia bagikan kepada orang lain. Salah satu wujud cintanya pada ilmu adalah didirikannya lembaga pendidikan Islam Alkhairaat sebagai sumbangsih nyata Guru Tua kepada agama islam.

Al-khairaat (Lembaga pendidikan agama Islam)

Alkhairaat didirikan di Palu, Sulawesi Tengah, kala usia Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri menginjak 41 tahun. SIS Al Jufri dianggap sebagai inspirator terbentuknya sekolah di berbagai jenis dan tingkatan di Sulawesi Tengah yang dinaungi organisasi Alkhairaat, dan terus berkembang di kawasan timur Indonesia.

Pada tahun 2014, nama Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri juga diabadikan sebagai nama baru bandara Kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah,[5] sebelumnya, bandara kebanggaan Kota Palu bernama Bandara Mutiara atas pemberian dari presiden Soekarno,[5] saat pertama kali dioperasikan 1954 dengan nama Bandara Masovu,[5] namun kemudian berganti nama sejak 28 Februari 2014 setelah Menteri Perhubungan Evert Ernest Mangindaan membubuhkan tanda tangan di surat keputusan perubahan nama bandara Mutiara. Perubahan nama bandara itu juga untuk menghargai jasa serta perjuangan Sayyid Idrus bin Salim Aljufri dalam menyebarkan ajaran Islam di kawasan timur Indonesia. Disaksikan Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, dan pejabat Kementerian Perhubungan RI, para bupati/wali kota se-Sulawesi Tengah dan keluarga besar Alkhairaat meresmikan operasional serta mengukuhkan perubahan nama dari Bandara Mutiara Palu menjadi Bandara Mutiara SIS Aljufri Palu.[5]

Kehidupan pribadi

Silsilah

As-Sayyed Idrus bin Salim bin Alwi bin Saqqaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim bin Husain bin Abdillah bin Syaikhan bin Alwi bin Abdullah At-Tarisi bin Alwi Al-Khawasah bin Abubakar Aljufri Al-Husain Al-Hadhramiy yang mempunyai jalur keturunan dari Sayyidina Husain bin Fatimah Az-Zahra Puteri Rasulullah SAW.[1]

Hafal Alquran pada usia 12 tahun

Habib ldrus lahir di kota Taris,[1] 4 km dari ibu kota Seiwun, Hadramaut, pada 15 sya'ban 1309 H[4][6] bertepatan dengan 15 Maret 1892 M.[3] Sayyid Idrus adalah putra keempat dari enam bersaudara,[4] beliau berasal dari keluarga yang baik, berilmu, beramal, bertaqwa dan lemah lembut.[1] Tiada dari kalangan mereka, selain ulama yang muslih dan da’i.[1] Ayahnya Habib Salim seorang ilmuwan dan tokoh yang memiliki banyak karangan dan tulisan dari berbagai bidang ilmu, ia memegang jabatan Qadhi dan mufti di negerinya.[1] Kakeknya, Habib Alwi adalah pemimpin dan ilmuwan yang masyhur, termasuk lima ahli fiqh Hadramaut yang fatwa mereka termuat dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayyed Abdurrahman AlMasyhur.[1] Kakeknya yang kedua, Al-Habib Saqqaf di antara ulama yang terkenal dari dua faqih dan memegang jabatan Qadhi di Hadramaut.[1] Ibunya, Syarifah Nur Aljufri (Andi Syarifah Nur[7]), mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Aru Matoa atau Raja yang dituakan di Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.[4][8]

Habib Idrus belajar ilmu agama dan bahasa bermula dari ayahnya, Al-Allamah Salim bin Alwy Aljufri, termasuk pula ulama-ulama lain yang berada di Hadramaut.[1] Beliau hidup dan besar dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan senantiasa melazimi para ulama serta mengambil dan menimba ilmu dari sumber yang murni.[1] Habib Idrus sering kali diajak oleh ayahnya untuk menghadiri lingkaran studi majelis ta'lim di Taris dan Tarim.[2] Pada usia 12 tahun, Habib Idrus mampu menghafal Al-Qur'an dan menguraikan dua ratus ayat dalam hal hukum Islam.[2] Melihat Potensi yang dimiliki Habib Idrus, ayah Beliau Al-Habib Salim melihat bahwa kelak anak nya ini bisa menggantikannya. Beliau pun mendidik anaknya tersebut secara khusus. Habib Salim membuatkan kamar khusus bagi anaknya agar dapat berkonsentrasi dalam belajar. Habib ldrus kemudian mendalami berbagai llmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, Tauhid, Mantiq, ma'ani, bayan, badi', nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra.[2] Selain pada ayahnya, Habib ldrus juga berhasil menyelesaikan pendidikan formalnya pada lembaga perguruan tinggi Ari-Rabithul Alawiyah di Taris,[2][4] dan banyak memiliki karya-karya dalam bentuk syair-syair berbahasa Arab.[4] Pada usianya yang tergolong amat muda, kurang lebih berusia 19 tahun, ia telah menjadi seorang ulama yang terkenal di tanah airnya. Habib Idrus juga belajar kepada Para Ulama dan Auliya' di Hadramaut, di antaranya adalah:

  1. Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf,
  2. Al-Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf,
  3. Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bilfaqih,
  4. Al-Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh Al-Bahar,
  5. Al-Habib ldrus bin Umar Al-Habsyi, dan
  6. Al-Habib Abdullah bin Umar As-Syathiri di Rubath Tarim.

Berangkat ke Mekkah

Kemudian pada tahun 1327 H atau sekitar tahun 1909 M bersama sang ayah, Habib ldrus berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Di sana mereka menetap selama enam bulan. Selama itu, Habib Salim memanfaatkan waktunya untuk mengajak putranya berziarah kepada para ulama dan Auliya' yang berada di Hijaz pada masa itu, untuk meminta berkah, do'a serta ijazah dari mereka. Salah satunya kepada Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani di Mekkah. Habib Salim kemudian membawa putranya kembali ke Hadramaut.

Diangkat sebagai Mufti dan Qadhi

Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan tahun 1916, ayahnya wafat.[2] Habib Idrus kemudian memimpin lembaga pendidikan yang didirikan oleh ayahandanya.[9] Dan pada tahun itu pula Habib ldrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut, untuk menggantikan posisi ayahnya, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun.[2] Amanah dan pencapaian itu mengisyaratkan bahwa beliau adalah orang yang berilmu pengetahuan luas dan berwibawa. Walau jabatan sudah di tangan, Idrus muda tak pernah silau dengan keduniawian. Ia tetap kritis terhadap lingkungan sosial di negerinya. Bahkan, ia rela melepas jabatan mufti ketika memilih jalan menentang imperialisme Inggris. Sikap itu pula yang kemudian membawanya datang untuk kali kedua ke Indonesia. Perjalanannya yang kedua pada tahun 1922 terjadi akibat perjuangan politiknya untuk membebaskan negaranya dari penjajahan Inggris.[1]

Hijrah ke Indonesia

Perjalanannya ke Indonesia yang pertama kali ketika beliau berumur kurang lebih 17 tahun.[1] Habib salim membawa Habib ldrus berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado[2] untuk menemui ibunya Syarifah Nur AI-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandung Habib ldrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia. Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib ldrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Setibanya di Hadramaut, Habib ldrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau. Dan Kemudian menikah dengan Syarifah Bahiyah dan dikaruniai tiga orang putra dan putri, yaitu Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan.[2]

Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada dalam penjajahan lnggris. Beliau bersama sahabatnya Habib Abdurrahman bin Ubaidillah As-Saqqaf, keduanya merupakan tokoh agama dan wakil dari para ulama lain yang memelopori perjuangan kemerdekaan, mereka membenci penjajah dan sekutunya serta suasana kacau yang berkembang di Hadramaut khususnya wilayah Arab sebelah Utara secara keseluruhan. Keduanya bersepakat untuk menyalakan api perlawanan terhadap penjajah dan sekutunya dan mereka adalah orang yang pertama kali menghidupkan api tersebut.

Mereka berpendapat bahwa berhubungan dengan Negara-negara Arab yang merdeka dan dunia luar adalah sesuatu yang amat penting untuk mengubah keadaan di dalam negeri sekaligus memerdekakan negara secara total. Dengan mengemban tugas politik yang sangat berbahaya itu, Maka Habib Idrus menyusun suatu rencana untuk tujuan menjelaskan keadaan negerinya kepada masyarakat Arab dan dunia secara keseluruhan dengan cara keluar melalui pelabuhan Aden selanjutnya ke Yaman dan Mesir. Beliau menyadari risiko yang dapat mengancam jiwanya, karena intelijen negara dan mata-mata pemerintahan Inggris terus memperhatikan gerak-geriknya terhadap langkah yang akan ditempuh nya akan tetapi perjalanan itu harus dilakukan. Rencana dan segala perlengkapan yang telah disiapkan dengan tepat dan matang serta penuh kehati-hatian tersebut, hampir membuahkan hasil jika tidak dibocorkan rahasianya oleh pengkhianat yang mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi. Beliau di tangkap tiba-tiba setelah sampai di pelabuhan Aden, kemudian dokumen-dokumen yang ada padanya dirampas serta mendapat larangan dari pemerintahan Inggris untuk keluar dari pelabuhan Aden untuk tujuan ke Negeri Arab akan tetapi diizinkan untuk kembali ke Hadramaut atau pergi ke Asia Tenggara. Maka beliau memutuskan untuk pergi ke Indonesia, sedangkan sahabatnya, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah Assagaf memilih kembali ke Mekkah.[10]

Dalam buku Perguruan Islam Alkhairaat dari Masa ke Masa yang disusun oleh Pengurus Besar Alkhairaat disebutkan bahwa Indonesia bukan negeri asing dan baru bagi Sayyid Idrus, Ia pertama kali datang ke negeri ini pada saat berumur kurang lebih 17 tahun bersama ayahnya dengan maksud mengunjungi sanak keluarga yang berada di Pulau Jawa dan Sulawesi. Kunjungan keduanya pada tahun 1922 berkaitan erat dengan sikap dan perlawanannya yang keras terhadap imprealisme Inggris di negerinya, pilihan ke Indonesia tidak hanya melepaskan kerinduannya dengan kampung halaman neneknya, tetapi sekaligus menetap dan berkiprah untuk umat Islam di Indonesia.[8]

Pekalongan

Beliau masuk ke Indonesia dan menetap di Pekalongan untuk beberapa waktu lamanya dan menikah dengan pasangan hidupnya Syarifah Aminah binti Thalib Al-Jufri dan bersama menikmati pahit manisnya kehidupan.[1] Ketika itu beliau berdagang kain batik tetapi tidak mendapat kemajuan karena cintanya kepada dunia pendidikan melebihi dari segala-galanya.[1] Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu' dan Syarifah Nikmah.[10] Syarifah Lulu' kemudian menikah dengan Sayyid Segaf bin Syekh AI-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr. H. Salim Segaf Al-Jufri,[11] Menteri Sosial Indonesia ke-26 dan Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman Periode 2005-2009. Habib Idrus kemudian meninggalkan perdagangan dan beliau pindah ke Solo.[1]

Solo

Di Solo, dengan dibantu oleh Sayid Ahmad bin Muhammad (mantan muridnya di Hadramaut) yang sudah lama mukim di Solo, mewujudkan niatnya untuk mendirikan madrasah yang diberi nama “Perguruan Arrabithah Alawiyah".[10] Beliau dilantik sebagai Guru dan Kepala Sekolah di Madrasah Rabithah Al-Alawiyyah.[1] Setelah beberapa tahun beliau pindah ke Jombang dan tinggal beberapa lama di sana.

Jombang

Pada tahun 1926, beliau pindah ke kota Jombang.[11] Habib Idrus berkenalan dengan beberapa tokoh Islam di antaranya K.H. Hasjim Asy'ari pendiri organisasi Nahdlatul 'Ulama (NU) di Jombang yang juga pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng.[10] Pertemuan kedua tokoh ini menjalin persahabatan yang sangat baik, karena keduanya sama-sama pimpinan agama, terutama karena keduanya mempunyai ikatan pemahaman yang sama yakni sebagai penganut paham Imam Syafi’I (ahli sunnah wal-jamaah).[10]

Indonesia Timur

Kemudian beliau memulai perjalanannya ke Timur Indonesia untuk memberi petunjuk dan berdakwah di jalan Allah.[1] Antara lain di Maluku dan menetap untuk beberapa bulan lamanya sambil melakukan lawatan dan dakwah bebeberapa wilayah kecamatan seperti Bacan, Jailolo, Morotai, Patani, Weda, Kayoa dan sebagainya, selanjutnya ke Sulawesi Utara, Sulawesi selatan, Kalimantan dan Irian Barat.[12] Beliau kemudian berlayar menuju Manado, atas ajakan kakak beliau Habib Alwi bin Salim Aljufrie yang berada di Manado. Ketika kapalnya singgah bersama rombongan menginjakkan kaki pertama di Pelabuhan Wani, Kabupaten Donggala, pada 1929, Habib ldrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams Al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu.

Setibanya di Manado, Habib ldrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah masyarakat arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib ldrus yang akan mengusahakannya.

Palu

Pada tahun 1930 M Guru Tua pun pindah ke Kota Palu yang kala itu bernama "Celebes" pada masa penjajahan Belanda, setelah mendapat undangan dari beberapa tokoh bangsa Arab di Palu dan Wani yakni Ibrahim bin Zain, Sayid Muhammad bin Muhsin Rifai dan Sayid Ahmad bin Ali Almuhdar di Wani Kecamatan Tawaeli. Kehadiran Guru Tua di Wani merupakan wujud dari keinginan masyarakat setempat yang ingin mengenal Islam lebih baik, menggunakan ruangan Toko Haji Quraisy di Kampung Ujuna sebagai ruangan belajar mengajar dan kemudian pindah ke rumah Almarhum Haji Daeng Maroca di Kampung Baru (Depan Masjid Jami-Kampung Baru). Rupanya di Palu inilah memberikan inspirasi yang kuat untuk tinggal dan menetap dalam rangka melakukan dakwahnya setelah menyaksikan keadaan masyarakat yang masih sangat terbelakang dalam pemahaman ajaran Islam. Pemerintah Belanda yang saat itu menduduki Donggala tidak memberikan izin pendirian madrasah karena dianggap bisa memengaruhi pemikiran rakyat saat itu, sebagian pengikut Guru Tua di Wani dituduh terlibat pemberontakan Salumpaga di Tolitoli.[8] Guru Tua akhirnya mendirikan sekolah di Palu, sekitar 30 kilometer dari Wani. Madrasah tersebut bernama Alkhairaat dan pada tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus perizinan pendirian dan surat-surat lainnya ke pemerintah Hindia Belanda, maka, diresmikanlah Madrasah AI-Khairaat di Kota Palu. Kepindahan perguruan Alkhairaat ke Palu tidak serta merta bebas dari pengawasan Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda dikabarkan juga sempat melarang Perguruan AlKhariraat karena ajaran Guru Tua, khususnya yang bersumber dari kitab Izhatun Nasyi’in, karya Musthafa Al-Ghalayani.[8]

Salah satu strategi yang digunakan agar cepat diterima masyarakat Palu, Sayid Idrus menerima saran dari beberapa tokoh masyarakat, Guru Tua pun memutuskan untuk menikahi salah seorang bangsawan Puteri Kaili yang juga merupakan sosok perempuan yang sangat berperan dalam pengembangan Yayasan Alkhairaat Pusat. Dengan ketetapan hati dan petunjuk dari Allah SWT pada tahun 1931 M Guru Tua pun menikahi Intje Ami Dg.Sute.[13] Dari perkawinan ini beliau dikaruniai dua orang puteri, Syarifah Sidah Aljufrie dan Syarifah Sa’diyah Aljufrie.[14]

Kematian

Habib ldrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah AI-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid AI-Khairaat menyebar di seluruh kawasan Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Salah satu murid beliau yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustad Abdullah Awadh Abdun, yang hijrah dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang.

Tahun 1968, Habib Idrus mengalami sakit parah, selama delapan bulan beliau meminum jus kurma. Walaupun dalam keadaan sakit, ia tetap menjalankan majelis mengajar setiap waktu.[2] Masih dalam suasana ldul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib ldrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat. Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari senin 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib ldrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di liang lahat, muadzin di liang lahat, sampai yang membaca talqin di kubur.

Habib ldrus telah mempertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang dengan berbagai sarana ke kepulauan di sekitar Sulawesi dan Maluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam. Beliau berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan perahu sampan, gerobak sapi dan kendaraan lainnya bahkan dengan berjalan kaki dengan bermacam risiko, tantangan dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat. Akan tetapi Habib ldrus selalu merasakan kenikmatan di antara pertaruhan jiwanya dan beliau rela memberikan apa saja meski jiwanya sekalipun. Ketabahannya dalam mengarungi pelayaran itu sampai berbulan-bulan lamanya. Dan kadang-kadang perjalanan itu ditempuh dengan berjalan kaki jika tidak mendapatkan alat-alat transportasi.

Hingga akhir hayatnya, Sayid Idrus berhasil membangun 420 madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Palu.[15]

Warisan

Bangunan sekolah yang pertama dibangun atas biaya beliau sendiri di kota Palu, merupakan sekolah Islam pertama di Palu dan kemudian berkembang menjadi cabang-cabang hingga ratusan madrasah tersebar di kota-kota dan kampung-kampung bagian Timur Indonesia yang diberi nama “ALKHAIRAAT”, dengan harapan optimis dan keberkatan dari nama tersebut yang banyak kali disebut dalam Al-Qur’an. Secara resmi madrasah tersebut dibuka pada tanggal 14 Muharram 1349 H bertepatan dengan 11 Juni 1930. Peresmian itu dihadiri oleh para pemuka Arab yang tinggal di Palu dan sebagian petinggi negara. Dalam perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya ditangani oleh Habib ldrus. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Hal ini karena Habib ldrus mengadaptasi sistem pendidikan arab yang pada umumnya tidak memungut biaya kepada para muridnya. Sehingga para murid lebih fokus dalam belajar. Habib ldrus memberikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari hasilnya berdagang.


"Segala puji hanya bagi Allah, Alkhairaat makmurlah sudah, Di dalamnya tempat para patriot dan kawula muda satria, Wahai masyarakat lembah Palu Alkhiaraat itu almamatermu, Senantiasa mengajak siapa saja yang berhasrat datang kepadanya, Alkhairaat punya kita beragam ilmu ada padanya, Cukupkan dirimu darinya janganlah menjadi ibarat orang bangkrut, Dari tempat nun jauh cahayanya tanpak bagi mereka, Yang mendapat petunjuk dan tiada akan melihat cahaya kalbu yang buta.""

—  Habib Idrus, 1930 [16]

Habib ldrus mengajar para santrinya dengan penuh dedikasi dan profesionalitas yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah membuahkan hasil. Perguruan AI-Khairaat waktu itu telah menghasilkan guru-guru Islam yang handal yang kemudian disebarkan ke seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan lrian Jaya.

Pada tanggal 11 Januari 1942, Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan kota Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur Indonesia. Tidak berselang lama stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan perguruan AI-Khairaat. Selama tiga setengah tahun kependudukan Jepang, Habib ldrus tidak menyerah sedikitpun untuk mengajar para muridnya. Proses belajar mengajar tetap berlangsung meskipun secara sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajaran dialihkan ke desa Bayoge, yang berjarak satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Pengajarannya dilaksanakan pada malam hari dan hanya menggunakan penerangan seadanya. Para muridnya datang satu persatu secara sembunyi- sembunyi.

Tepat saat kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Habib ldrus kembali membuka perguruan AI-Khairaat secara resmi. Beliau berjuang kembali untuk mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam. Hingga selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956) lembaga yang telah dirintisnya ini telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia Timur.

Waktu terus berjalan tahun berganti tahun hingga pada tahun 1950-an Sayid Idrus mulai mengembangkan pendidikan Islam Alkhairaat ini membuka berbagai jenis pendidikan dan strata di antaranya Ibtidaiyah, Muallimin empat tahun, dan enam tahun, Madrasah Lanjutan Pertama (MLP), setara dengan SMP, Pendidikan Guru Agama (PGA), serta Perguruan Tinggi Islam (UNIS) pada tahun 1964 M dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat dengan tiga fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Syariah. Dan Habib ldrus sebagai Rektor pertamanya.

Ketika terjadi peristiwa pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, perguruan tinggi AI-Khairaat dinonaktifkan untuk sementara. Para Mahasiswanya diberikan tugas untuk berdakwah di daerah-daerah terpencil kawasan Sulawesi. Hal ini sebagai upaya untuk membendung paham komunis sekaligus melebarkan dakwah Islam. Setelah keadaan kondusif, pada tahun 1969 perguruan Tinggi AI-Khairaat dibuka kembali.

Sejak berdiri tahun 1930, saat ini Alkhairaat telah menaungi sekitar 1.700 madrasah, 43 pondok pesantren dan satu perguruan tinggi,[17] Lembaga pendidikan tersebut masih eksis beroperasi yang tersebar di 12 Provinsi dan 84 kabupaten/kota.[17] Selain itu Alkhairaat juga memiliki rumah sakit yang dikelola secara mandiri.[17] Saat ini ratusan ribu guru telah tersebar di pelosok-pelosok kampung untuk mengabdikan diri mereka mengembangkan Alkhairaat.[17] Al-Khairaat saat ini merupakan lembaga sosial keagamaan terbesar di kawasan Timur Indonesia yang berpusat di kota Palu yang memiliki puluhan cabang di kabupaten/kota dan provinsi.

Haul "Guru Tua"

Bagi warga (Abna’) Alkhairaat, setiap tahun setelah hari raya Idul Fitri, tepatnya 12 Syawal, merupakan hari istimewa. Ribuan umat Islam dari berbagai daerah di kawasan Indonesia timur dan sebagian barat berduyun-duyun datang ke Palu, Sulawesi Tengah.[7]

Tujuannya yaitu menghadiri acara haul (peringatan wafatnya) tokoh dan tonggak Islam di kawasan Indonesia Timur, Guru Tua Alhabib Idrus bin Salim Al Djufri. Di sinilah, penebar Islam asal Hadramaut yang juga merupakan turunan Rasulullah saw, menghabiskan separuh usianya di Indonesia, dimakamkan.[7]

Pada tahun 2003, dikabarkan belasan ribu umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia memperingati Haul ke-34 H.[18] Sedangkan pada tahun 2006, Hampir seluruh pejabat sipil dan militer se-provinsi Sulteng hadir pada acara ini, di antaranya Gubernur Sulteng HB Paliudju, Ketua DPRD Sulteng Murad Natsir, Wali kota Palu Rusdi Mastura, Ketua DPRD Kota Palu Mulhanan Tombolatutu dan Bupati Donggala Ardjad Lamarauna. Bahkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, berbaur bersama ribuan Abnaul Alkhairaat.[19]

Kemudian pada Haul Guru Tua ke-42 dihadiri Mensos Salim Segaf Al-Jufri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, Ketua Komisi VIII DPR RI Abdul Kadir Karding, Pimpinan FPI Habib Rizieq, Azyumardi Azra serta sejumlah pejabat pemerintah daerah dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia.[20]

Pada tahun 2013, pada acara haul ke-45, Haul tersebut dihadiri 50 ribu abnaulkhairat atau jamaah dan simpatisan al-Khairat.[21] Ketua Umum al-Khairat pada saat itu, Habib Ali bin Muhammad bin Idrus al-Jufri mengatakan, haul bertujuan mengingat sejarah. “Lewat haul, kita mengenang perjuangan Guru Tua dalam dakwah dan pendidikan." Guru Tua merupakan sosok pendidik gigih. Beliau gemar mengajar dan menyayangi murid-muridnya. Selain itu, Guru Tua juga sangat mencintai ilmu. Selama ini, beliau terkenal dengan kemampuannya dalam ilmu syariah dan syair. Syair-syairnya dalam bahasa Arab pun selalu dibacakan saat perayaan haul.[21]

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama rabithah
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q (Solikhin 2014).
  3. ^ a b admin 2014.
  4. ^ a b c d e f Dg Siame 2012, hlm. 5.
  5. ^ a b c d Humas 2014.
  6. ^ Islamic Finder 2016.
  7. ^ a b c Ladanu 2014.
  8. ^ a b c d Yudono 2010.
  9. ^ Dg Siame 2012, hlm. 6.
  10. ^ a b c d e Dg Siame 2012, hlm. 7.
  11. ^ a b Net 2010.
  12. ^ Dg Siame 2012, hlm. 8.
  13. ^ Dg Siame 2012, hlm. 9.
  14. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama alkhairaat
  15. ^ Sunan Kalijaga 2011.
  16. ^ Dg Siame 2012, hlm. 10.
  17. ^ a b c d RI 2012.
  18. ^ Nahdlatul Ulama 2003.
  19. ^ Nahdlatul Ulama 2006.
  20. ^ Nahdlatul Ulama 2010.
  21. ^ a b Republika 2013.

Referensi

Sumber buku bacaan
  • Solikhin, Nur (2014). Prasetyo, Anton, ed. Para Habib Terkemuka Indonesia - Amalan dan Kebiasaan-Kebiasaannya. Jakarta, Indonesia: Saufa. ISBN 978-602-296-020-1. 
Jurnal online
Situs resmi pendidikan Yayasan Alkhairaat Pusat


Situs-Situs Resmi Lainnya
Media massa online


Situs web lainnya
  • Islamic Finder (2016-03-23). "Date Conversion". islamicfinder.org. Diakses tanggal 2016-03-23. 

Pranala luar

  1. Pondok Pesantren Al-Khairaat Palu Sulawesi Tengah
  2. Al-Habib Idrus Bin Salim Al-Djuffri
  3. Habib Idrus bin Salim Aljufri, Penyebar Islam di Indonesia Timur Diarsipkan 2015-04-05 di Wayback Machine.
  4. Pesantren Darut Tauhid Malang Diarsipkan 2016-04-05 di Wayback Machine.