Lompat ke isi

Manajemen konflik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 28 April 2024 10.38 oleh Fazily (bicara | kontrib) ((via JWB))
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Manajemen Konflik adalah sebuah proses mengelola konflik dengan menyusun sejumlah strategi yang dilakukan oleh pihak-pihak berkonflik sehingga mendapatkan resolusi yang diinginkan.[1] Dalam sudut pandang demokrasi, manajemen konflik akan berbicara perihal bagaimana konflik ditangani secara konstruktif, membawa pihak yang berkonflik ke dalam suatu proses yang kooperatif, serta merancang sistem kooperatif yang praktis untuk mengelola perbedaan secara konstruktif.[2] Melalui manajemen konflik, konflik akan dikelola sehingga dapat membatasi aspek negatif dan meningkatkan aspek positif dari konflik yang terjadi.[3]

Tujuan dari manajemen konflik, baik yang dilakukan secara langsung oleh pihak yang berkonflik maupun melibatkan pihak ketiga, adalah untuk memengaruhi seluruh struktur situasi konflik yang dalam prosesnya mengandung hal-hal destruktif (seperti penggunaakan kekerasan atau permusuhan) dan membantu pihak-pihak berkonflik untuk menemukan solusi atas konflik yang terjadi.[4] Bercovitch dan Diehl dalam tulisannya yang berjudul Conflict and Conflict Management in Organizations: A Framework for Analysis mengatakan bahwa manajemen konflik dapat dikatakan berhasil secara efektif apabila: 1) dapat meminimalisir gangguan atau kesurakan dari konflik yang terjadi; (2) memberikan solusi yang memuaskan dan dapat diterima oleh pihak yang berkonflik.[4]

Model Blake dan Mouton

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1964, Blake dan Mouton mengembangkan lima model manajemen konflik dalam mengelola konflik interpersonal. Kelima model tersebut yaitu model memaksa, model menghindar, model menghaluskan, model kompromi dan model penyelesaian masalah.

Model memaksa merupakan model pengelolaan konflik cara memaksa salah satu pihak untuk mengalah. Model ini sering disebut memaksa karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah.Model menghindar adalah model pengelolaan konflik dengan cara menghindar dari konflik yang sedang terjadi. Model menghaluskan adalah model pengelolaan konflik dengan menekankan pada persamaan kepentingan dan mengurangi perbedaan di antara pihak-pihak yang berkonflik.[5]

Model kompromi adalah model pengelolaan konflik yang menempatkan seseorang pada posisi moderat, memadukan kepentingan sendiri dengan kepentingan orang lain. Model ini dapat juga disebut dengan model kompromi sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan saling memberi dan menerima dari pihak-pihak berkonflik. Sementara model penyelesaian masalah adalah model pengelolaan konflik di mana pihak yang berkonflik bersama-sama mengidentifikasi masalah, berkolaborasi untuk mencari, mempertimbangan, serta memilih solusi alternatif dari permasalahan yang ada.[5]

Model Thomas, Kilmann, dan Renwick

[sunting | sunting sumber]

Model yang dikonsepkan oleh Blake dan Mouton ini kemudian dikembangkan oleh Thomas, Kilmann, dan Renwick yang didasarkan pada perhatian perilaku asertif (keinginan untuk memuaskan diri sendiri) dan perilaku kooperatif (keinginan memuaskan pihak lain). Kedua hal tersebut membentuk lima model manajemen konsep yaitu model kompetisi, model kolaborasi, model penghindaran, model penyamarataan dan model kompromi.[6]

Model penghindaran merupakan model manajemen konflik yang tidak bersifat kooperatif maupun asertif. Pihak yang tidak menyetujui sesuatu hal akan menghindari untuk menyampaikan ketidaksetujuannya. Sikap yang ditampakkan adalah sikap netral dengan tidak memihak kepada siapapun.[7] Model penyamarataan merupakan model yang bersifat kerja sama tetapi tidak bersifat tegas. Pada model ini, suatu kelompok memberikan hak kepada kelompok lain untuk menetapkan peraturan yang akan diberlakukan. Keharmonisan dipertahankan dengan cara mengabaikan perbedaan yang ada di masing-masing kelompok.[8]

Model kompetisi bersifat tegas namun tidak memiliki kerja sama. Sifat utamanya adalah persaingan dengan kelompok lain. Keinginan kelompok lain dilawan melalui kewenangan yang dimiliki oleh kelompoknya. Pilihan akhir dari model kompetisi adalah memperoleh kemenangan atau kekalahan.[8]

Model kompromi bersifat tegas dan ada kompromi yang seimbang. Sifatnya adalah adanya tawar-menawar yang diterima oleh tiap pihak yang berkonflik. Pada model ini, tiap pihak memperoleh sedikit kemenangan dan kekalahan secara bersamaan.[8] Sementara model kolaborasi memiliki sifat kerja sama dan ketegasan. Masing-masing pihak berusaha memenuhi kebutuhannya dan meraih keuntungan. Tiap perbedaan yang ada diselesaikan melalui penyelesaian masalah.[8]

Meta-Model Rahim

[sunting | sunting sumber]

Berbeda dengan model yang sebelumnya, Rahim menciptakan model pengelolaan konflik berdasarkan dua dimensi dasar yaitu menyangkut perhatian untuk diri sendiri (concern for self) dan perhatian untuk orang lain (concern for others) [9]. Dua dimensi ini melahirkan lima model pendekatan manajemen konflik, yaitu:

  • Mengintergasi (Integrating) melibatkan keterbukaan, pertukaran informasi, mencari alternatif, dan memeriksa perbedaan untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
  • Menuruti (Obliging) dikaitkan dengan upaya meminimalkan perbedaan dan mendorong kesamaan untuk memuaskan perhatian pihak lain.
  • Mendominasi (Domintating) berusaha untuk memenangkan tujuannya dengan gaya ini satu pihak berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan tujuannya dan, akibatnya, sering mengabaikan kebutuhan dan harapan pihak lain.
  • Menghindari (Avoiding) melibatkan perhatian yang rendah terhadap diri sendiri dan orang lain sehingga cenderung menarik diri terhadap situasi yang ada.
  • Kompromi (Compromising) melibatkan pendekatan dengan saling memberi-dan-menerima (give and take) di mana kedua belah pihak saling berkorban untuk membuat keputusan bersama.[9]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Bintari, Antik (2018-08-09). "Manajemen Konflik Penyelesaian Kasus Reklamasi Pulau G Pantai Utara Jakarta". CosmoGov. 4 (1): 119. doi:10.24198/cosmogov.v4i1.18212. ISSN 2540-8674. 
  2. ^ Democracy and deep-rooted conflict : options for negotiators. Harris, Peter., Reilly, Ben. Stockholm, Sweden: International IDEA. 1998. ISBN 91-89098-22-6. OCLC 40662459. 
  3. ^ Bodtker, Andrea M.; Katz Jameson, Jessica (2001-03). "EMOTION IN CONFLICT FORMATION AND ITS TRANSFORMATION: APPLICATION TO ORGANIZATIONAL CONFLICT MANAGEMENT". International Journal of Conflict Management. 12 (3): 259–275. doi:10.1108/eb022858. ISSN 1044-4068. 
  4. ^ a b Bercovitch, Jacob; Diehl, Paul F. (1997-04). "Conflict management of enduring rivalries: The frequency, timing, and short‐term impact of mediation". International Interactions (dalam bahasa Inggris). 22 (4): 299–320. doi:10.1080/03050629708434895. ISSN 0305-0629. 
  5. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :2
  6. ^ Kristanto, Harris (2015-03-02). "Keadilan Organisasional, Komitmen Organisasional, dan Kinerja Karyawan". Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan (Journal of Management and Entrepreneurship). 17 (1). doi:10.9744/jmk.17.1.86-98. ISSN 1411-1438. 
  7. ^ Kusworo 2019, hlm. 88-89.
  8. ^ a b c d Kusworo 2019, hlm. 89.
  9. ^ a b Afzalur Rahim, M. (2002-03). "TOWARD A THEORY OF MANAGING ORGANIZATIONAL CONFLICT". International Journal of Conflict Management. 13 (3): 206–235. doi:10.1108/eb022874. ISSN 1044-4068. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]