Lompat ke isi

Bening (gendongan bayi)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 1 Juni 2024 06.46 oleh Rex Aurorum (bicara | kontrib) (Rex Aurorum memindahkan halaman Bening dayak ke Bening (gendongan bayi))
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Bening dayak, gendongan bayi dengan hiasan manik-manik di desa Setulang Kalimantan Utara

Bening dayak adalah salah satu alat tradisional untuk menggendong bayi bagi suku Dayak di Kalimantan utara yang turun temurun terutama di kalangan ibu-ibu Dayak Kenyah dan Dayak Bahau. Bening digunakan sebagai gendongan bayi suku Dayak pada saat anak umur 6 bulan hingga 1,5 tahun.[1] Cara menggunakan bening seperti menggunakan tas ransel, bening berada di punggung sang ibu dengan dua tali pengait ke lengan, posisi anak yang digendong di punggung akan menghadap kedepan, sehingga seluruh bagian tubuh anak seolah menyatu dengan punggung.[1]

Fungsi Bening atau gendongan bayi ini adalah untuk memudahkan beraktivitas bagi ibu sehingga anak tetap dapat dijaga dan diawasi dengan aman dan si ibu dapat leluasa menjalankan kegiatannya mengurus rumah, memasak, berladang hingga bepergian, karena pada masa lampau anak-anak tidak ada yang bisa menjaga dengan khusus. Namun tak hanya untuk menggendong bayi, fungsi bening lainnya adalah juga untuk meninabobokkan bayi. Caranya dengan meletakkan satu kaki ibu dalam posisi ke depan sedangkan posisi kaki lainnya ke belakang, kemudian si ibu menggerak-gerakkan badannya ke depan dan ke belakang ataupun dengan bergerak maju dan mundur, sehingga anak terbuai dalam ayunan ibunya hingga bisa lekas tertidur. Saat ini sejalan dengan perkembangan zaman, bening tidak hanya lagi dipakai hanya oleh kaum ibu namun sang ayah juga bisa menggunakannya.[2]

Deskripsi

[sunting | sunting sumber]

Bahan utama untuk membuat bening adalah kayu pulai berukuran 38 hingga 40 sentimeter, kayu ini sifatnya ringan dan tidak terlalu keras sehingga mudah di potong dan di bentuk. Cara membuat bening adalah dengan memotong dan membelah kayu pulai hingga berbentuk setengah lingkaran dengan ukuran bagian atas sepanjang 4 kilan [3](jengkal) dan bagian bawah juga 4 kilan (jengkal) atau diameter paling kecil sekitar 60 sentimeter, belahan kayu pulai ini lalu dijemur selama 2-3 bulan agar lebih kuat dan tidak mudah menyusut. Ukuran besar dan kecil bening bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Kayu pulai disini berfungsi sebagai rangka utama, sedangkan anyaman rotan berfungsi di dua sisi bening adalah sebagai tali pengikat bening. Belahan papan kemudian dipasang pada bagian bawah kayu pulai yang sudah dijemur tadi, papan berfungsi sebagai tempat duduk anak yang digendong. Setelah bentuk dasar bening selesai, maka langkah selanjutnya adalah dengan memberi hiasan pada bening dengan aneka lukisan bermotif khas Dayak, dan kemudian dilengkapi pula dengan hiasan taring harimau, taring beruang, uang logam serta anyaman manik-manik.[2]

Kerajinan manik-manik zaman dahulu memiliki daya tahan yang sangat tinggi karena dibuat dari bahan dasar yang keras, seperti batu, sehingga dapat bertahan hingga puluhan tahun. Namun sejalan waktu jenis batu yang digunakan untuk manik-manik mulai sulit di dapat. Hingga kini banyak manik-manik buatan yang di import dan di jual di toko-toko di pusat kota. Pembuatan kerajinan manik-manik masih berlangsung hingga sekarang dan biasanya dilakukan oleh kaum wanita baik remaja maupun ibu-ibu yang sedang di rumah, atau tidak sedang bekerja di ladang, sambil mengisi waktu. Teknik merangkai manik-manik menjadi anyaman diawali dengan mengaitkan seutas benang dasar ke bagian atas papan landasan. Kemudian helai-helai benang yang akan digunakan untuk merangkai manik-manik didekatkan ke benang dasar dengan jarak yang sama, serta dibatasi dengan sebiji sampai tiga biji manik-manik tergantung jarak yang diinginkan, selanjutnya, biji manik-manik disisipkan pada seutas benang dalam rangkaian hingga saling berdekatan, kemudian digabung dengan sebiji manik-manik, dimulai dengan utas kedua, sisi kiri dan sisi kanan begitu seterusnya hingga menjadi rangkaian yang diinginkan[2]

Bentuk dan ukiran (paren) bening dayak ini dibedakan berdasar tingkat sosial masyarakatnya, ada dua jenis ukiran (paren) yaitu ukiran masyarakat biasa dihias manik-manik berbentuk anjing tanpa ada hiasan gigi harimau dan gigi macan, sedangkan ukiran (paren) untuk keturunan bangsawan dihias dengan manik-manik bentuk wajah manusia atau harimau dan ada tentunya ada tambahan hiasan gigi macan dan gigi harimau, atau beruang. Motif yang biasanya ditemukan pada bening adalah hiasan berupa pohon kehidupan yang memiliki makna pengharapan pada sang anak agar dapat hidup sehat serta panjang umur. Motif hiasan uang logam dan taring harimau melambangkan pengharapan agar kelak sang anak menjadi orang yang bijaksana dan luhur budi, sedangkan motif dedaunan mengandung harapan agar sang anak memiliki sifat rendah hati[2]

Referensi

[sunting | sunting sumber]