Sundaland
Sundaland (bahasa Indonesia: Kawasan Sunda) adalah suatu wilayah biogeografis di Asia Tenggara yang juga mengacu kepada sebuah daratan yang lebih luas yang pernah ada selama 2,6 juta tahun ketika permukaan air laut lebih rendah. Wilayahnya mencakup Asia Tenggara di daratan seperti Semenanjung Malaka, Sumatra, Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Etimologi
Nama "Sunda" sudah ada sejak zaman dahulu kala, muncul dalam Geografi (Ptolemaeus) karya Ptolemaeus, yang ditulis sekitar tahun 150 Masehi.[1] Dalam sebuah publikasi tahun 1852, navigator Inggris George Windsor Earl mengemukakan gagasan tentang "Gisik Samudra Asia Besar", yang sebagian didasarkan pada ciri-ciri umum mamalia yang ditemukan di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra.[2]
Para penjelajah dan ilmuwan mulai mengukur dan memetakan laut di Asia Tenggara pada tahun 1870-an, terutama dengan menggunakan pemeruman.[3] Pada 1921, Gustaaf Adolf Frederik Molengraaff, seorang ahli geologi Belanda, berpostulat bahwa kedalaman laut yang hampir seragam di paparan tersebut menunjukkan adanya dataran tinggi purba yang merupakan hasil dari kejadian banjir berulang kali ketika lapisan es mencair, dan dataran tinggi tersebut semakin sempurna dengan setiap kejadian banjir yang terjadi. [3] Molengraaff juga mengidentifikasi sistem drainase kuno yang sekarang terendam yang mengeringkan daerah tersebut selama periode permukaan laut yang lebih rendah.
Nama "Sundaland" untuk semenanjung ini pertama kali diusulkan oleh Reinout Willem van Bemmelen dalam bukunya Geography of Indonesia pada tahun 1949, berdasarkan penelitiannya selama Perang Dunia II. Sistem drainase kuno yang digambarkan oleh Molengraaff diverifikasi dan dipetakan oleh Tjia pada tahun 1980[4] dan dijelaskan secara lebih rinci oleh Emmel dan Curray pada tahun 1982 lengkap dengan delta sungai, dataran banjir dan rawa-rawa.[5][6]
Demografi
Sejarah mengenai Sundaland hingga sekarang masih belum sepenuhnya bisa dijelaskan. Penelitian awal menunjukkan bahwa penduduk kawasan Sunda secara genetis memiliki kesamaan dengan penduduk asli Asia Tenggara, terutama yang tinggal di wilayah kepulauan. Secara bahasa mereka juga sebagai bagian dari rumpun bahasa Austronesia.[7]
Terdapat kajian linguistik yang menunjukkan suatu arus migrasi dengan istilah teori "Out of Sundaland". Teori ini diusulkan oleh Stephen Oppenheimer,[7] ahli genetika lulusan Balliol College, Oxford. Ia tergolong sebagai tokoh kontroversial dalam studi sejarah manusia. Ia berpendapat bahwa Kawasan Sunda (Sundaland) sebagai benua cikal bakal migrasi manusia.
Oppenheimer beranggapan bahwa orang-orang Asia Tenggara adalah leluhur bagi orang Asia. Pada 1999, ia menerbitkan buku yang berjudul "Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia".[7] Ia melakukan pendekatan multidisiplin dalam mengembangkan teorinya. Salah satunya ia menggunakan pendekatan mitologi, cerita banjir besar yang melegenda kemudian tersaji dalam cerita legenda dan mitos di tengah masyarakat secara beragam.
Namun kesimpulan Oppenheimer masih sebatas teori yang tidak terbukti dan mendapat tentangan dari teori "Out of Taiwan".[8] Lembaga biologi molekuler Eijkman Institute yang melakukan penelitian tentang mtDNA dan kromosom Y dengan teori "Out of Taiwan". Hasilnya, leluhur orang Asia Tenggara berasal dari Asia Timur. Semakin ke wilayah timur, jejak mtDNA Taiwan semakin menipis karena percampuran dengan orang Melanesia.
Eijkman mengungkapkan bahwa usulan teori "Out of Sundaland" secara arkeologis tidak terbukti. Teori tersebut tidak dapat menjelaskan bagaimana cara dan sebab manusia bermigrasi. Sedangkan data mtDNA, studi linguistik dan beberapa bukti arkeologi menjadi dasar teori "Out of Taiwan". Mereka meneliti data genom dari 31 populasi yang tinggal di Indonesia dan 25 populasi di berbagai negara Asia.[9][10] Studi ini lebih komprehensif yang mempertimbangkan data arkeologi dan menggunakan pendataan statistik perkawinan campur yang terjadi di Asia dan relasi lainnya.
Ukuran
Wilayah Sundaland meliputi Paparan Sunda, sebuah perpanjangan landas kontinen Asia Tenggara yang stabil secara tektonik dan pernah ada selama periode glasial 2 juta tahun yang lalu.[11][12]
Ukuran Paparan Sunda diperkirakan sama dengan 120 meter isobath.[13] Selain Semenanjung Malaka dan pulau-pulau di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, termasuk Laut Jawa, Teluk Thailand, dan bagian-bagian Laut Tiongkok Selatan.[14] Secara total, luas wilayah Sundaland sekitar 1.800.000 km2,[15] Luas dari Sundaland hampir sama dengan luas negara Indonesia.[13] Luas daratan terbuka di Sundaland telah berfluktuasi selama 2 juta tahun terakhir; luas daratan modern sekitar setengah dari luas maksimumnya.[12]
Batas barat dan selatan Sundaland ditandai dengan jelas oleh perairan yang lebih dalam dari Samudra Hindia.[13] Batas timur Sundaland adalah Garis Wallace, yang diidentifikasi oleh Alfred Russel Wallace sebagai batas timur jangkauan fauna mamalia daratan Asia, yang juga menjadi batas zona ekologi Indomalaya dan Australasia. Pulau-pulau di sebelah timur garis Wallace dikenal sebagai Wallacea, wilayah biogeografis terpisah yang dianggap bagian dari Australasia. Garis Wallace sesuai dengan kanal air dalam yang belum pernah dilalui oleh jembatan darat manapun.[13] Batas utara Sundaland lebih sulit ditentukan dalam istilah batimetris; suatu peralihan fitogeografis pada sekitar 9ºLU dianggap sebagai batas utaranya.[13]
Sebagian besar Sundaland baru-baru saja terbentuk selama periode glasial terakhir dari sekitar 110.000 sampai 12.000 tahun yang lalu.[16][15] Saat permukaan laut menurun 30-40 meter atau lebih, jembatan darat menghubungkan pulau-pulau Kalimantan, Jawa, dan Sumatra ke Semenanjung Malaya dan daratan Asia.[11] Karena permukaan laut baru lebih rendah 30 meter (atau lebih) sepanjang 800.000 tahun terakhir, keadaan Kalimantan, Jawa, dan Sumatra sebagai sebuah pulau merupakan keadaan yang relatif jarang pada masa Pleistosen.[17] Sebaliknya, permukaan laut lebih tinggi pada Pliosen akhir, dan wilayah Sundaland lebih kecil daripada yang diamati saat ini.[13]
Referensi
- ^ Heeren, Arnold Herman Ludwig (1846). The Historical Works of Arnold H.L. Heeren: Politics, intercourse and trade of the Asiatic nations. H.G. Bohn. hlm. 430. Diakses tanggal 2 December 2017.
- ^ Earl, George Windsor (1853). Contributions to the Physical Geography of South-Eastern Asia and Australia ... H. Bailliere. hlm. 40. Diakses tanggal 2 December 2017.
- ^ a b Molengraaff, G. A. F. (1921). "Modern Deep-Sea Research in the East Indian Archipelago". The Geographical Journal. 57 (2): 95–118. doi:10.2307/1781559. JSTOR 1781559.
- ^ Tija, H.D. (1980). "The Sunda Shelf, Southeast Asia". Zeitschrift für Geomorphologie. 24 (4): 405–427. Bibcode:1980ZGm....24..405T. doi:10.1127/zfg/24/1884/405.
- ^ Moore, Gregory F.; Curray, Joseph R.; Emmel, Frans J. (1982). "Sedimentation in the Sunda Trench and forearc region". Geological Society, London, Special Publications. 10 (1): 245–258. Bibcode:1982GSLSP..10..245M. doi:10.1144/gsl.sp.1982.010.01.16.
- ^ The physical geography of Southeast Asia by Avijit Gupta, 2005, ISBN 0-19-924802-8, page 403
- ^ a b c Oppenheimer, Stephen (1999). Eden in the East : the drowned continent of Southeast Asia. Phoenix. ISBN 978-0-7538-0679-1.
- ^ Gray, R. D. (2009). "Language Phylogenies Reveal Expansion Pulses and Pauses in Pacific Settlement". Science. 323: 479 – 483.
- ^ Meacham, William (1984–1985). "On the improbability of Austronesian origins in South China". Asian Perspective. 26: 89–106.
- ^ Solheim, Wilhelm G., II (2006). Archaeology and culture in Southeast Asia : Unraveling the Nusantao. University of the Philippines Press. ISBN 978-9715425087.
- ^ a b Phillipps, Quentin; Phillipps, Karen (2016). Phillipps's Field Guide to the Mammals of Borneo and Their Ecology: Sabah, Sarawak, Brunei, and Kalimantan. Princeton, New Jersey, USA: Princeton University Press. ISBN 978-0-691-16941-5.
- ^ a b de Bruyn, Mark; Stelbrink, Björn; Morley, Robert J.; Hall, Robert; Carvalho, Gary R.; Cannon, Charles H.; van den Bergh, Gerrit; Meijaard, Erik; Metcalfe, Ian (2014-11-01). "Borneo and Indochina are Major Evolutionary Hotspots for Southeast Asian Biodiversity". Systematic Biology. 63 (6): 879–901. doi:10.1093/sysbio/syu047. ISSN 1063-5157.
- ^ a b c d e f Bird, Michael I.; Taylor, David; Hunt, Chris (2005-11-01). "Palaeoenvironments of insular Southeast Asia during the Last Glacial Period: a savanna corridor in Sundaland?". Quaternary Science Reviews. 24 (20–21): 2228–2242. Bibcode:2005QSRv...24.2228B. doi:10.1016/j.quascirev.2005.04.004.
- ^ Wang, Pinxian (1999-03-15). "Response of Western Pacific marginal seas to glacial cycles: paleoceanographic and sedimentological features". Marine Geology. 156 (1–4): 5–39. doi:10.1016/S0025-3227(98)00172-8.
- ^ a b Hanebuth, Till; Stattegger, Karl; Grootes, Pieter M. (2000). "Rapid Flooding of the Sunda Shelf: A Late-Glacial Sea-Level Record". Science. 288 (5468): 1033–1035. Bibcode:2000Sci...288.1033H. doi:10.1126/science.288.5468.1033. JSTOR 3075104.
- ^ Heaney, Lawrence R. (1984). "Mammalian Species Richness on Islands on the Sunda Shelf, Southeast Asia". Oecologia. 61 (1): 11–17. Bibcode:1984Oecol..61...11H. CiteSeerX 10.1.1.476.4669 . doi:10.1007/BF00379083. JSTOR 4217198. PMID 28311380.
- ^ Bintanja, Richard; Wal, Roderik S.W. van de; Oerlemans, Johannes (2005). "Modelled atmospheric temperatures and global sea levels over the past million years". Nature. 437 (7055): 125–128. Bibcode:2005Natur.437..125B. doi:10.1038/nature03975.