Keturunan manusia menurut Islam
Keturunan manusia menurut Islam semuanya berasal dari Adam dan Hawa. Perbanyakan keturunan dalam Islam merupakan sebuah fitrah yang dilakukan melalui pernikahan yang sah. Kualitas keturunan manusia ditentukan oleh pemilihan pasangan dalam pernikahan. Keturunan manusia dalam Islam dipelihara dari kerusakan dengan melarang perzinaan dan pemerkosaan. Adanya keturunan membuat hukum pewarisan dapat diterapkan dalam syariat Islam. Keberadaan keturunan juga memperluas lingkup umat Islam pada Abad Pertengahan.
Asal
[sunting | sunting sumber]Surah Al-A'raf ayat 31 menyatakan panggilan Allah kepada manusia dengan sebutan "Bani Adam". Panggilan ini menyatakan bahwa seluruh manusia merupakan keturunan dari Adam.[1] Keturunan dari Adam dan Hawa disebut sebagai kejadian manusia ketiga. Semua kejadian manusia ketiga diperoleh melalui reproduksi kecuali Isa.[2]
Perbanyakan
[sunting | sunting sumber]Perbanyakan keturunan merupakan bentuk ibadah kepada Allah dalam ajaran Islam. Keturunan yang banyak bersifat menambah populasi manusia yang menjadi salah satu sunnah Muhammad sebagai nabi dalam Islam.[3] Muhammad sebagai nabi dalam Islam menganjurkan pernikahan untuk memperbanyak keturunan. Keturunan yang banyak di kalangan umat Muhammad merupakan salah satu hal yang dibanggakan oleh Muhammad.[4] Pernikahan ditujukan untuk melangsungkan keturunan yang disertai dengan pembinaan sehingga dihasilkan adab pada manusia.[5]
Selain itu, pernikahan merupakan bagian dari fitrah manusia.[6] Surah An-Nisa' ayat 1 menyatakan keberadaan keturunan sebagai hasil dari pembentukan keluarga.[7]
Kualitas
[sunting | sunting sumber]Sebuah hadis menyatakan bahwa kualitas keturunan dapat menurun melalui pernikahan dengan keluarga dekat. Anak yang dilahirkan dari pernikahan dengan keluarga dekat dapat lahir dalam keadaan lemah secara mental maupun fisik.[8]
Pemeliharaan
[sunting | sunting sumber]Pemeliharaan keturunan merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Kedudukannya sebagai kebutuhan primer yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia.[9] Tujuan pemeliharan keturunan menurut Asy-Syathibi adalah untuk penyariatan berkaitan dengan hak asasi manusia dalam Islam.[10]
Pemeliharaan keturunan dalam Islam dilakukan melalui pernikahan yang menghasilkan keturunan dengan silsilah orang tua dengan sifat nasab yang jelas. Bentuk pemeliharaan keturunan juga melalui pernikahan yang menghasilkan keturunan yang saleh.[11]
Surah Al-Furqan ayat 74 menyatakan tentang doa para wali Allah dengan permintaan memiliki istri dan keturunan yang baik. Doa ini menerima pujian dan kemuliaan dari Allah kepada para pemintanya.[12] Keturunan yang baik juga dijadikan sebagai salah satu dari empat kriteria dalam pemilihan pasangan dalam pernikahan.[13]
Pelarangan atas pengrusakan
[sunting | sunting sumber]Ajaran Islam menetapkan perbuatan zina maupun pemberian tuduhan berzina tanpa bukti sebagai bentuk pengrusakan keturunan seseorang, Karena itu, kedua hal ini menjadi terlarang diperbuat oleh muslim laki-laki maupun perempuan. Larangan untuk mendekati zina dinyatakan dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Isra' ayat 32. Ayat ini menyertakan pernyataan bahwa zina merupakan perbuatan yang keji. Pemeliharaan keturunan melalui pelarangan perbuatan zina juga dilakukan dengan memberikan dera bagi pelaku zina.[11] Larangan juga berlaku atas pemerkosaan karena sifatnya yang merusak garis keturunan.[14]
Fungsi
[sunting | sunting sumber]Hukum pewarisan
[sunting | sunting sumber]Beberapa ayat di dalam Surah An-Nisa' menjelaskan mengenai asas bilateral dalam pembagian warisan. Asas ini memperbolehkan perolehan warisan dari dua garis keturunan kerabat yakni kerabat laki-laki dan kerabat perempuan. Ayat-ayat yang menjelaskannya ialah ayat ke-7, ke-11, ke-12, dan ke-176.[15] Surah A-Zukhruf ayat 22 menyatakan bahwa keturunan juga memperoleh pewarisan tradisi dan budaya dari keluarganya.[16]
Penyebaran Islam
[sunting | sunting sumber]Penambahan keturunan dijadikan oleh para pedagang muslim pada abad ke-7 hingga abad ke-16 Masehi untuk penyebaran Islam di wilayah Indonesia. Para pedagang muslim menikahi penduduk pribumi dan menghasilkan keturunan yang memperluas lingkungan hidup di sekitarnya. Perluasan ini kemudian membuat kampung, daerah dan kerajaan Islam yang baru di wilayah Indonesia pada masa itu.[17]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Bakhtiar 2018, hlm. 19.
- ^ Bakhtiar 2018, hlm. 26.
- ^ Indra 2017, hlm. 21.
- ^ Al-Mashri 2010, hlm. 7.
- ^ Rohidin 2016, hlm. 57.
- ^ Muslim, Abu (2012). 1001 Hal yang Paling Sering Ditanyakan tentang Islam. Jakarta: Penerbit Kalil. hlm. 301. ISBN 978-979-22-8699-1.
- ^ Dacholfany dan Hasanah 2018, hlm. 177.
- ^ Indra 2017, hlm. 35.
- ^ Rohidin 2016, hlm. 30.
- ^ Bakhtiar 2018, hlm. 109.
- ^ a b Rohidin 2016, hlm. 34.
- ^ Al-Mashri 2010, hlm. 8.
- ^ Indra 2017, hlm. 20.
- ^ Bakhtiar 2018, hlm. 113.
- ^ Rohidin 2016, hlm. 60.
- ^ Dacholfany dan Hasanah 2018, hlm. 182.
- ^ Rohidin 2016, hlm. 164.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Al-Mashri, Mahmud (2010). Ayu, Sujilah, ed. Bekal Pernikahan. Diterjemahkan oleh Firdaus, Iman. Jakarta: Qisthi Press. ISBN 978-979-1303-48-4.
- Bakhtiar, Nurhasanah (2018). Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PDF). Sleman: Aswaja Pressindo. ISBN 978-602-18663-1-3.
- Dacholfany, M. I., dan Hasanah, U. (2018). Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Konsep Islam (PDF). Jakarta: Amzah.
- Indra, Hasbi (2017). Pendidikan Keluarga Islam Membangun Manusia Unggul (PDF). Sleman: Penerbit Deepublish.
- Rohidin (2016). Nasrudin, M., ed. Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga Indonesia (PDF). Bantul: Lintang Rasi Aksara Books. ISBN 978-602-7802-30-8.