Lompat ke isi

Ratu (gelar)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 23 Juli 2024 04.34 oleh Badak Jawa (bicara | kontrib) (Membalikkan revisi 26076231 oleh Ruanganpribadiku (bicara) seharusnya menggunakan keturunan alih-alih peranakan, raja dan ratu sebaiknya tidak menggunakan r kapital kecuali nama gelar)

Ratu atau Rani adalah gelar kebangsawanan di Indonesia dan bisa merujuk ke dua hal, yakni wanita yang memimpin Kerajaan atau istri dari Raja. Gelar yang sepadan dengan Ratu untuk pria adalah Raja. Dalam konteksnya sebagai Penguasa Monarki, wilayah kekuasaan Ratu disebut dengan Kerajaan.

Gelar selain Ratu yang dapat merujuk ke Penguasa Monarki wanita adalah Maharani (Kemaharajaan atau Kekaisaran) dan Sultanah (Kesultanan).

Makna

Istilah Ratu masih berkerabat dengan istilah Datu dan Latu (Latuhalat = Ratu Barat). Istilah Ratu sesungguhnya merupakan bahasa asli Nusantara, khususnya bahasa Jawa Kuno. Ratu berarti penguasa atau pemimpin suatu kelompok dan gelar ini tidak memandang jenis kelamin. Prasasti Canggal misalnya, menyebut raja pertama Mataram Hindu sebagai "Rake Mataram Sang Ratu Sanjaya". Dalam sejarah Kerajaan Singhasari terdapat nama Mahisa Campaka yang menjabat sebagai "Ratu Angabhaya". Entah Sanjaya ataupun Mahisa Campaka adalah nama lelaki. Namun keduanya masing-masing bergelar "Ratu". Hal itu menunjukkan kalau "Ratu" tidak harus identik dengan perempuan.

Seiring berjalannya waktu, kebudayaan Hindu semakin berkembang di bumi Indonesia. Istilah "Raja" yang berasal dari bahasa Sanskerta mulai menggantikan pemakaian gelar Ratu. Istilah Ratu bergeser menjadi terkesan Feminin dan sinonim dengan Rani.

Tidak diketahui dengan pasti kapan istilah Ratu mulai dipakai untuk perempuan. Naskah Babad Tanah Jawi yang ditulis pada abad ke-17 mulai bedakan pemakaian gelar jabatan, yakni untuk perempuan dipakai istilah Ratu, misalnya Ratu Kalinyamat atau Ratu Pembayun, sedangkan untuk lelaki dipakai istilah "Sultan", "Prabu", "Pangeran", "Panembahan" atau "Sunan".

Tetapi tidak sepenuhnya istilah Ratu tergeser oleh Raja. Meskipun Para Raja Jawa zaman sekarang memakai gelar Sultan atau Sunan, tetapi bahasa Jawa untuk istilah istana tetap memakai kata Keraton yang berasal dari kata "ke-ratu-an", yang berarti tempat tinggal Ratu.

Penguasa monarki

Dalam konteksnya sebagai Penguasa Monarki, Ratu adalah padanan dari gelar Raja dan merujuk ke wanita yang memimpin Kerajaan. Sepanjang sejarah, jumlah Ratu jauh lebih sedikit daripada Raja. Hal ini karena banyak kebudayaan masa lampau yang memandang bahwa kepemimpinan dan ranah masyarakat umum menjadi wilayah kaum pria.

Dalam hukum Sali yang dianut banyak Monarki di Eropa, dinyatakan secara jelas bahwa wanita tidak mendapat tempat dalam masalah pewarisan takhta.[1] Selain itu, terdapat pula prinsip yang dianut kebanyakan masyarakat bahwa kepemilikan wanita akan lebur saat menikah dengan kepemilikan suaminya dan hal ini menjadikan wanita yang telah menikah memiliki hak kepemilikan pribadi yang sangat terbatas.[2] Kepemilikan ini termasuk dalam masalah gelar. Saat seorang wanita naik takhta sebagai Ratu dan kemudian menikah, suaminya akan menjadi Raja dan memiliki wewenang untuk mengatur kerajaan, menjadikan sang suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istrinya. Prinsip ini disebut jure uxoris. Seiring berjalannya waktu, beberapa pengecualian dibuat. Saat Mary I yang saat itu menjadi Ratu Inggris menikah dengan Felipe II, Raja Spanyol, dibuat perjanjian agar kekuasaan Felipe di Inggris tidak terlalu kuat mengungguli Mary. Saudari sekaligus penerus Mary, Elizabeth I, hindari polemik ini dengan tidak menikah seumur hidupnya. Saat gerakan hak asasi wanita semakin meningkat, akhirnya wanita memiliki kepemilikan untuk namanya sendiri masa sekarang. Terkait gelar, saat wanita menjadi Ratu, suaminya akan dianugerahi gelar Pangeran dan bukan Raja sebagaimana di abad pertengahan, hindari agar kedudukan sang pria tidak lebih tinggi dari Ratu itu sendiri. Di masa modern ini, hampir semua Monarki di Eropa telah ubah aturan pewarisan takhtanya menjadi primogenitur mutlak yang menyatakan bahwa takhta akan diwariskan ke anak kesatu tanpa memandang jenis kelamin.

Di Asia Timur, hanya ada sejumlah wanita yang menjadi Penguasa Monarki. Jepang memiliki delapan wanita yang menjadi Maharani. Namun saat Jepang adopsi sistem pewarisan takhta Prusia di Zaman Meiji, wanita tidak diperkenankan lagi untuk menjadi Maharani. Saat Kerajaan Silla bawah kepemimpinan Ratu Seondeok, satu dari pejabat tinggi kerajaan melakukan pemberontakan dengan alasan "pemimpin wanita tidak bisa memimpin negara" (女主不能善理).[3]

Pada abad ketiga belas, dunia Islam menyaksikan dua wanita yang menjadi Penguasa Monarki. Di Kesultanan Delhi, Sultan Iltutmish menjadikan putri dia, Raziya, Pangerani/Puteri Mahkota, suatu hal yang tidak lazim di masa itu. Para bangsawan sepeninggal Iltutmish abaikan pencalonan itu dan memilih Rukn ud din Firuz sebagai Sultan. Namun terbukti bahwa Firuz tidak cocok untuk menjadi seorang penguasa, terlebih waktu itu ibu dia justru memegang kontrol negara dengan tangan besi. Sepeninggal Firuz, barulah Raziya dinobatkan sebagai Sultan. Di Mesir, Syajar Ad Durr yang merupakan Janda Sultan Mesir terdahulu naik takhta di 1250. Namun Khalifah Al-Mus'tashim tidak beri restu ke dia, sehingga takhta selanjutnya diberikan ke Izzuddin Aybak yang kemudian menjadi suami Syajar Ad Durr.[4] Meskipun begitu, beberapa Kesultanan luar Timur Tengah cenderung lebih longgar terhadap kepemimpinan wanita. Maladewa memiliki lima Sultanah, Samudera Pasai memiliki satu Sultanah dan Aceh Darussalam pernah diperintah empat Sultanah berturut-turut.

Meskipun demikian, tidak setiap Monarki masa lampau batasi kepemimpinan wanita. Di Majapahit, Tribhuwana Tunggadewi bisa mewarisi takhta menjadi Maharani saat saudaranya mangkat tanpa memiliki keturunan.

Gelar ratu dalam berbagai bahasa

Ini adalah beberapa gelar asing yang bisa disepadankan dengan gelar Ratu dalam konteksnya sebagai Penguasa Monarki dalam bahasa Indonesia.

Eropa

Sebagaimana gelar kebangsawanan Eropa yang lain untuk wanita, gelar untuk Ratu juga bisa dipakai untuk Permaisuri Raja.

Timur Tengah

  • Firaun, gelar yang umumnya merujuk kepada pemimpin Mesir Kuno dari zaman Dinasti Pertama (sekitar 3150 SM) sampai penghunian Makedonia di 350 SM.[5] Bisa disandang oleh pria (Raja) ataupun wanita (Ratu).
  • Malikah (abjad Arab: ملكة), Ratu dalam bahasa Arab. Gelar ini pernah dipakai saat Syajar Ad Durr memerintah Mesir di 1250. Gelar ini juga dipakai oleh Permaisuri Raja.

Asia Timur

Beda dengan gelar di Eropa, Asia Timur, penguasa wanita dan istri penguasa pria memiliki gelar yang berbeda. Gelar penguasa wanita cenderung sama dengan penguasa pria.

  • Yeowang (hanja: 女王, hangeul: 여왕), Ratu dalam bahasa Korea. Di Korea, pernah terdapat tiga orang Ratu yang memerintah. Ratu juga bisa memakai gelar Wang, gelar yang dipakai raja.
  • Joō (kanji: 女王), Ratu dalam bahasa Jepang. Di Jepang, gelar ini juga dipakai secara resmi untuk merujuk ke putri yang merupakan kerabat jauh Kaisar Jepang.

Daftar ratu sekarang

Tidak ada

Permaisuri

Ratu juga dapat bermakna istri dari raja. Dalam konteks ini, pengertian ratu sejajar dengan permaisuri.

Gelar kebangsawanan

Di Cirebon dan Banten, keturunan bangsawan perempuan yang masih memiliki jalur keturunan dari Sultan menggunakan gelar ratu. Di daerah Banjar, anak-anak perempuan raja yang berkuasa menyandang gelar ratu, misalnya Ratu Intan, Ratu Zaleha dan sebagainya, dan untuk anak lelaki raja bergelar pangeran. Gelar ratu juga pernah dipakai sebagai nama lain untuk sultan, misalnya Ratu Lama, Ratu Anum, tetapi belakangan lebih populer dipakai Sultan atau Panembahan. Di Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, selain digunakan untuk permaisuri atau istri utama raja atau sultan, ratu juga digunakan untuk putri raja dengan permaisuri tatkala sudah dewasa.

Catatan kaki

  1. ^ Cave, Roy and Coulson, Herbert. A Source Book for Medieval Economic History, Biblo and Tannen, New York (1965) p. 336
  2. ^ Emanuel, Steven L. (2004). Property. New York: Aspen Publishers, inc. hlm. 121. 
  3. ^ * (7. Silla and Wa) - Bidam Diarsipkan October 5, 2011, di Wayback Machine.
  4. ^ Al-Maqrizi, p.463/vol.1
  5. ^ Beck, Roger B.; Black, Linda; Krieger, Larry S.; Naylor, Phillip C.; Shabaka, Dahia Ibo (1999). World History: Patterns of Interaction. Evanston, IL: McDougal Littell. ISBN 0-395-87274-X. 

Daftar pustaka

  • Al-Maqrizi, al-Mawaiz wa al-'i'tibar bi dhikr al-khitat wa al-'athar,Matabat aladab,Cairo 1996, ISBN 977-241-175-X.

Lihat pula