Brigade Manguni
Artikel ini memiliki beberapa masalah. Tolong bantu memperbaikinya atau diskusikan masalah-masalah ini di halaman pembicaraannya. (Pelajari bagaimana dan kapan saat yang tepat untuk menghapus templat pesan ini)
|
Artikel ini perlu dikembangkan agar dapat memenuhi kriteria sebagai entri Wikipedia. Bantulah untuk mengembangkan artikel ini. Jika tidak dikembangkan, artikel ini akan dihapus. |
Singkatan | BM |
---|---|
Tanggal pendirian | 2000 |
Tipe | Organisasi adat |
Kantor pusat | Kota Manado |
Wilayah layanan | Minahasa Raya |
Bahasa resmi | Melayu Manado Indonesia Rumpun bahasa Minahasa |
Tonaas Wangko | Lendy Wangke |
Afiliasi | Laskar Adat Minahasa
Aliansi Makapetor Laskar Manguni Manguni Makasiow dan lainnya |
Brigade Manguni, adalah sebuah organisasi masyarakat tertua yang berdiri di Sulawesi Utara. Organisasi ini diketuai oleh Tonaas Wangko (pemimpin besar) Lendy Wangke. Organisasi ini dikenal Saat Keterlibatannya Dalam Memobilisasi Massa dari Sulawesi Utara untuk Terjun dalam Konflik Poso & Ambon Membantu Pihak Kristen. awal Didirikannya Organisasi ini Bertujuan Untuk Menjaga Stabilitas Keamanan di Sulawesi Utara Pada Tahun 2000 ketika Kerusuhan Melanda dua Provinsi tetangga Yaitu Sulawesi Tengah dan Maluku.[1]
Sejarah
Brigade Manguni Lahir dari sentimen kerusuhan Ambon dan Poso Juga perlawanan terhadap Laskar Jihad. Suatu Saat Jagoan Lorong Anoa Teling ,Kota Manado bernama Donal Pandeirot Moselman meminta kepada beberapa wartawan untuk memilih nama yang bagus dan mengekspose pembentukan Posko Perlawanan anti Jihad di Lorong Anoa. Akhirnya 7 jagoan Anoa berseragam hitam diantar oleh beberapa wartawan ke redaksi Harian Telegraf (koran terbesar Sulut ketika itu). Besoknya Sulut heboh berita Headline Telegraf dengan foto 7 anak Anoa berseragam hitam dengan tema berita pembukaan Posko Brigade Manguni di Lorong Anoa. Tak disangka ,hanya dalam 3 minggu saja posko tersebut didatangi Oleh Masyakarat dari seluruh penjuru Sulawesi Utara untuk Mendaftar.
Singkat cerita kerusuhan Ambon dan Poso tuntas setelah diadakan Deklarasi Malino 1 dan 2. Beberapa Tonaas Termasuk Pendeta Renata Ticonuwu dan Tonaas Wangko Decky Maengkom sepakat mengambil alih Brigade Manguni. Saat Memasuki masa keemasan Brigade Manguni dibawah Tonaas Wangko Decky Maengkom, BM pun berganti menjadi BMI dan kian menjadi Ormas nasional bahkan Menjadi Ormas Adat terbesar di Indonesia Kala Itu.
Sepak Terjang
Pisah Brigade dari GMIM pasca Kongres Minahasa Raya 1
Kondisi sosial politik di Indonesia pasca reformasi
memperlihatkan kecenderungan menguatnya sentimen
identitas primordial. menjelaskan bahwa
usaha Islamisasi sejak periode 1990-an menemui
puncaknya di era pasca reformasi. Selain konflik
komunal, contoh Islamisasi yang terjadi pasca reformasi
adalah usaha penambahan tujuh kata dalam amandemen
konstitusi. menguatnya
sentimen identitas primordial yang demikian menjadi
momen negosiasi posisi kelompok etnis dalam sebuah
negara-bangsa. Salah satu kelompok etnis yang terlibat dalam proses “negosiasi” ini adalah kelompok etnis Minahasa
melalui pelaksanaan KMR I pada tahun 2000.
KMR I hadir sebagai respons atas wacana pengembalian tujuh kata dari piagam Jakarta ke dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang digulirkan oleh politisi
dari kelompok partai berbasis Islam. Wacana penambahan tujuh kata ini menyebabkan keminahasaan yang berkelindan dengan identitas
Kristen menjadi berbeda dan rentan “dipinggirkan”
melalui agenda Islamisasi dalam skala nasional. Elit
GMIM dinilai oleh Karim (2020) mampu merespons hal
tersebut melalui peran diskursif untuk menggagalkan
Islamisasi yang diupayakan oleh elit politik di Jakarta.
Melalui peristiwa KMR I, GMIM mampu untuk
mewakilkan respons komunitas Minahasa-Kristen atas
perubahan sosial yang terjadi pasca reformasi.
Kosel (2010) dan Karim (2020) mepandang momen
KMR I sebagai awal kehadiran BM dalam bentuk
seksi keamanan. Karim (2020) bahkan lebih spesifik
menjelaskan kehadiran Permesta secara simbolik dapat
dirasakan melalui kehadiran BM. Akan tetapi, studi
terdahulu hanya menunjukkan keterlibatan BM dalam
KMR I.
BM dalam kerangka kerja GMIM selama KMR I melalui
kontrol elit GMIM itu sendiri, seperti Pnt. (Penatua)
Marhany Pua dan Dolfie Maringka sebagai Tonaas
Wangko atau ketua umum BM. Namun, pengamatan
tersebut tidak mampu memindai momen KMR I dan
setelahnya sebagai awal berpisahnya BM dari GMIM.
Momen KMR I justru menjadi kesempatan bagi BM
untuk menilai dan memanfaatkan titik keterbatasan
GMIM. Indikator keberhasilan dari peran diskursif GMIM
yang diuji oleh kelompok kecil bernama BM saat itu
adalah kemampuannya menjaga keamanan komunitas
Minahasa-Kristen dari konflik komunal di beberapa
lokasi, salah satunya Poso. Walaupun momen KMR I
berakhir dengan keberhasilan GMIM dalam menjaga
komunitas Minahasa-Kristen di tengah upaya Islamisasi
melalui jalur parlementer (Karim, 2020), namun di sisi
lain, peran diskursif GMIM tidak cukup kuat untuk
menjaga komunitas Minahasa-Kristen dari dampak
langsung konflik komunal. Peran diskursif GMIM tidak
mampu membendung dampak dari konflik Poso pertama
dan kedua yang memakan banyak korban dari kelompok
Kristen (Aragon, 2001; Aditjondro, 2004). Karena itu, tidak mengherankan jika salah seorang tona’as, Deany
Keintjem, di kediamannya pada tanggal 29 Desember
2019 turut menegaskan bahwa:
“Torang dari pertama memang beda dengan dorang
gereja-gereja sama deng itu PGI. Dorang itu cuma
salaman deng senyum-senyum di TV, konferensi pers,
kong abis itu apa? Torang mo ibadah tetap susah. Nyanda
guna.” “(Kami sejak awal memang berbeda [cara kerja]
dengan gereja-gereja seperti contohnya PGI [Persatuan
Gereja-gereja Indonesia]. Mereka hanya bersalaman dan
senyum di depan TV, tapi setelah itu apa? Kita [orang
Kristen] mau ibadah tetap susah. Tidak berguna).”
Penilaian ini menunjukkan kegagalan gereja,
khususnya GMIM, dari sudut pandang kelompok BM
dalam menjaga keminahasaan di tengah konflik. Karena
itu, peristiwa KMR I dapat dipertimbangkan sebagai
momen awal BM dalam mengajukan ketidaksepakatan
atas dominasi cara kerja diskursif GMIM.
Ketidaksepakatan ini diikuti dengan berpisahnya BM
dari GMIM yang dianggap terbatas dalam melindungi
kelompok Minahasa-Kristen. Pemisahan ini juga terlihat
melalui terbentuknya jejaring dan elit baru yang mampu
untuk menentukan sikap BM pasca KMR I. Jabatan
Tona’as Wangko yang sebelumnya diketuai oleh Dolfie Maringka telah tergantikan oleh Dicky Maengkom pasca KMR I dilaksanakan.
Lihat Pula
Referensi