Lompat ke isi

Ternak dalam Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 25 September 2024 21.43 oleh Jus strawberry (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Ternak dalam Islam diciptakan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Tujuan penciptaan ternak bagi manusia untuk menjadi tunggangan, makanan, minuman, pakaian dan pemenuhan kebutuhan dalam ritual ibadah serta bentuk kesenangan berupa harta. Allah telah menciptakan tumbuhan utamanya rumput sebagai makanan bagi hewan ternak. Salah satu metode penggembalaannya yaitu hima. Kisah-kisah ternak dalam Islam dinyatakan dalam Al-Qur'an antara lain untuk menggambarkan fenomena ketidakadilan dan pemandangan di surga. Status ternak dalam Islam adalah sejenis harta yang wajib dibayarkan zakat atasnya pada jumlah tertentu.

Kedudukan

[sunting | sunting sumber]

Hewan ternak merupakan salah satu bentuk kesenangan hidup yang diberikan oleh Allah kepada manusia di dunia. Dalam Surah Ali Imran ayat 13 dinyatakan bahwa hewan ternak termasuk salah satu jenis kesukaan yang dicintai oleh keinginan manusia.[1]

Hewan ternak telah diciptakan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Bentuk ketundukan ternak kepada manusia ialah dapat dijadikan sebagai tunggangan dan dapat dimakan. Ketundukan ternak kepada manusia merupakan bagian dari ketetapan Allah yang menjadikan manusia sebagai khalifah di Bumi sesuai dengan firman Allah dalam Surah Yasin ayat 71-72. Dalam ajaran Islam, ketundukan ternak kepada manusia bukanlah karena kepandaian dan illmu yang dimiliki oleh manusia, melainkan oleh kekuasaan Allah.[2]

Kedudukan hewan ternak dapat lebih tinggi dibandingkan dengan manusia. Kondisi ini terjadi ketika individu manusia lebih mementingkan nafsu dibandingkan dengan akal. Kedudukan ini dinyatakan dalam Al-Qur'an pada Surah Al-A'raf ayat 179.[3]

Penggembalaan

[sunting | sunting sumber]

Surah 'Abasa ayat 32 menjelaskan bahwa ternak telah disediakan oleh Allah berupa tanaman khususnya rerumputan sebagai makanan.[4] Kondisi demikian dinyatakan dalam Surah Abasa' ayat 32.[4] Ketentuan penggembalaan telah diadakan sejak masa kenabian Muhammad dan diteruskan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab dengan sistem hima.[5] Pada masa Umar bin Khattab, hima diadakan di Kegubernuran Bashrah ketika Mughirah bin Syu’bah menjabat sebagai Gubernur Bashrah. Sistemnya ialah penggarapan lahan pertanian sekaligus peternakan anak kuda. Sistem ini awalnya hanya untuk menyediakan kuda sebagai kendaraan bagi umat Muslim beriringan dengan perluasan wilayah yang ditaklukkan oleh umat Muslim.[5]  

Hima yang ada digunakan oleh Umar bin Khattab untuk tempat pengembalaan bagi hewan tunggangan untuk kegiatan jihad, ternak orang-orang miskin, dan ternak zakat. Pemanfaatan hima juga ditujukan bagi ibnu sabil dan unta yang ditemukan. Umar bin Khattab membatasi luas lahan dan jumlah lahan yang digunakan sebagai hima. Alasannya ialah mencegah terjadinya penelantaran lahan. Umar bin Khattab menetapkan tanah larangan berukuran 6 × 6 mil (93,2 km2) di Desa Rabadzah, seluas 6 × 1 mil (15,53 km2) di Desa Dhariyah dan seluas 1 × 8 mil (20,711 km2) di Naqi'. Lahan-lahan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan bagi kuda sebanyak 40.000 ekor dan unta sebanyak itu pula.[5]

Pemanfaatan

[sunting | sunting sumber]

Surah Al-An'am ayat 142 menjelaskan mengenai dua bentuk pemanfaatan hewan ternak. Pemanfaatan pertama ialah ternak sebagai hewan pengangkut, sedangkan yang kedua ialah hewan ternak sebagai sembelihan.[6]

Bahan makanan, minuman dan pakaian

[sunting | sunting sumber]

Allah telah menyediakan hewan ternak sebagai sumber makanan bagi manusia. Pemanfaatan ini dinyatakan pada dua ayat dalam Al-Qur'an yaitu Surah An-Nahl ayat 5 dan 66. Sifat makanan ini ialah lezat dan menyehatkan.[4]  Allah menjadikan dua jenis makanan dari hewan ternak, yaitu daging dan susu.[7] Pada beberapa jenis ternak terdapat bulu yang dapat dimanfaatkan manusia sebagai penghangat tubuh. Ini disiyaratkan dalam Surah An-Nahl ayat 5.[4]

Manfaat yang diterima manusia atas hewan ternak diberi batasan oleh Allah. Batasan ini berkaitan dengan pemberian ketentuan halal dan haram atas jenis hewan ternak dan cara penyembelihan tertentu.[8] Daging hewan ternak dapat menjadi haram atau halal dalam ajaran Islam tergantung dari cara penyembelihannya. Ketika ternak disembelih dengan menyebut nama Allah, maka sembelihannya halal. Sebaliknya ketika ternak disembelih dengan menyebut nama selain Allah, maka sembelihannya haram. Daging hewan ternak juga haram ketika diniatkan untuk dijadikan sebagai sesajian.[9]

Ritual ibadah

[sunting | sunting sumber]

Ternak digunakan sebagai hewan potong dalam salah satu ritual ibadah dalam ajaran Islam, yaitu akikah. Jenis ternak potong pada saat akikah pada umumnya berupa sapi, kerbau, kambing atau domba.[10]

Pengisahan

[sunting | sunting sumber]

Fenomena ketidakadilan

[sunting | sunting sumber]

Surah Al-Balad memberikan percontohan ketidakadilan melalui sumber pertanian yang meliputi hewan ternak, mata air dan padang rumput. Ketidakadilan ini mengisahkan kondisi Jazirah Arab pada masa Jahiliyah. Pada masa ini, ketidakadilan terjadi dalam penguasaan dan kepemilikan atas sumber pertanian tersebut.[11] Kondisi ketidakadilan ini dikenal sebagai "keseharian orang Arab" dan menimbulkan permusuhan antarsuku di Jazirah Arab.[12]    

Pemandangan di surga

[sunting | sunting sumber]

Hewan-hewan ternak menjadi salah satu hal yang disediakan oleh Allah bagi manusia yang menjadi penghuni surga. Allah menyediakannya sebagai hal yang menyenangkan pandangan mata penghuni surga. Hewan-hewan ternak disediakan bersama hal lain seperti bangunan, pepohonan, makanan, minuman, pakaian dan pasangan hidup bagi para penghuni surga.[13]

Kewajiban

[sunting | sunting sumber]

Ternak merupakan salah satu jenis harta yang dimiliki oleh manusia. Karena itu, ada kewajiban pembayaran zakat atas ternak ketika kondisi nilai hisab telah terpenuhi oleh pemiliknya.[14]  

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 111.
  2. ^ asy-Sya'rawi, M. Mutawalli (2007). Basyarahil, U., dan Legita, I. R., ed. Anda Bertanya Islam Menjawab. Diterjemahkan oleh al-Mansur, Abu Abdillah. Jakarta: Gema Insani. hlm. 480. ISBN 978-602-250-866-3. 
  3. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 36.
  4. ^ a b c d Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an 2013, hlm. 7.
  5. ^ a b c Anggraini 2016, hlm. 24.
  6. ^ Syaparuddin dan Nuzul, A. (2021). Jumriani, ed. Islam dan Ketahanan Pangan (PDF). Yogyakarta: TrustMedia Publishing. hlm. 45. ISBN 978-602-5599-44-6. 
  7. ^ Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an 2013, hlm. 8.
  8. ^ Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an 2013, hlm. 25.
  9. ^ Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an 2013, hlm. 116.
  10. ^ Hafid, H., dkk. (April 2023). Hafid, Harapin, ed. Ternak Potong: Teori dan Praktik. Bandung: Widina Bhakti Persada Bandung. hlm. 2. ISBN 978-623-459-455-3. 
  11. ^ Anggraini 2016, hlm. 1.
  12. ^ Anggraini 2016, hlm. 8.
  13. ^ Rohidin 2020, hlm. 163.
  14. ^ Rohidin 2020, hlm. 193.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]