Lompat ke isi

Pengguna:EJHalfz/Bak pasir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Penyerbuan dan penjarahan Singapura terjadi pada tahun 1398. Majapahit menjarah, menghancurkan, dan membantai sebagian besar Singapura.

Penjarahan Singapura
Tanggal1398
LokasiSingapura
Hasil Kemenangan Majapahit[1][2]
Perubahan
wilayah
Kerajaan Singapura ditaklukkan oleh Majapahit
Pihak terlibat
Majapahit
Kerajaan Singapura
Tokoh dan pemimpin
Wikramawardhana
Sang Rajuna Tapa
Parameswara
Kekuatan
200.000 prajurit
300 djong dan ratusan kapal (kelulus, pelang, dan jongkong).[3][4]
Tidak diketahui
Korban
Tidak diketahui Hampir semuanya dibantai. (termasuk warga sipil)[5][6][7]

Sebelum penjarahan terjadi, Parameswara, raja terakhir Singapura dan para pengikutnya melarikan diri ke Semenanjung Melayu and mendirikan sebuah negara baru, yaitu Kesultanan Melaka.

Latar Belakang

Penggambaran prajurit Melayu Singapura kuno pada relief di Fort Canning Park, Singapura.

Upaya pertama untuk menaklukkan Singapura

Pada tahun 1347, Sang Nila Utama digantikan oleh Sri Wikrama Wira. Kerajaan Majapahit yang semakin berkuasa mulai mengincar pengaruh kerajaan pulau kecil tersebut. Di bawah pimpinan panglima perangnya yang ambisius, Gajah Mada, Majapahit mulai melancarkan ekspansi ke luar negeri terhadap semua kerajaan di Nusantara. Pada tahun 1350, Hayam Wuruk naik takhta Majapahit. Raja baru tersebut mengirim utusan ke Singapura menuntut penyerahan kerajaan tersebut. Wikrama Wira menolak untuk melakukannya dan bahkan mengirim pesan simbolis yang mengancam akan mencukur kepala raja Majapahit jika ia melanjutkan perjalanan ke Singapura.[8]

Hayam Wuruk yang murka memerintahkan penyerbuan dengan armada yang terdiri dari 100 kapal perang utama (jong) dan ratusan kapal kecil di bawah komando Damang Wiraja.[8][9] Armada tersebut melewati Pulau Bintan, dari sana berita tersebut menyebar ke Singapura. Para pembela segera mengumpulkan 400 kapal perang untuk menghadapi penyerbuan tersebut. Kedua belah pihak bentrok di pantai Singapura dalam pertempuran yang berlangsung selama tiga hari tiga malam. Banyak yang terbunuh di kedua belah pihak dan pada malam hari ketiga, armada Majapahit diusir kembali ke kapal mereka.[10][11][12]

Pemberontakan Palembang

Menurut catatan Portugis, Parameswara adalah seorang pangeran dari Palembang yang mencoba untuk menantang kekuasaan Jawa atas Palembang sekitar tahun 1360. Majapahit kemudian menyerang dan mengusir Parameswara dari Palembang. Parameswara melarikan diri ke Singapura, dan disambut oleh penguasa setempat yang bergelar Sang Aji bernama Sangesinga. Parameswara membunuh penguasa tersebut beberapa hari kemudian, kemudian memerintah Singapura selama lima tahun dengan bantuan Çelates atau Orang Laut.[13]

Siege

As mentioned in the Malay Annals, the story of the fall of Singapura and the flight of its last king begins with Parameswara's accusing one of his concubines of adultery. As punishment, the king had her stripped naked in public. In revenge, the concubine's father, Sang Rajuna Tapa who was also an official in Parameswara's court, secretly sent a message to the king of Majapahit, pledging his support should the king choose to invade Singapura. In 1398, Majapahit dispatched a fleet of 300 jong and hundreds of smaller vessels (of kelulus, pelang, and jongkong), carrying no fewer than 200,000 men.[14][15][4]

The Javanese soldiers engaged with the defenders in a battle outside the fortress, before forcing them to retreat behind the walls. The invasion force laid siege to the city and repeatedly tried to attack the fortress. However the fortress proved to be impregnable.[16][17][18] After about a month passed, the food in the fortress began to run low and the defenders were on the verge of starvation. Sang Rajuna Tapa was then asked to distribute whatever grain left to the people from the royal store. Seeing this opportunity for revenge, the minister lied to the King, saying the stores were empty. The grain was not distributed and the people eventually starved. The final assault came when the gates were finally opened under the order of the minister. Knowing that defeat was imminent, Parameswara and his followers fled the island. The Majapahit soldiers rushed into the fortress and a terrible massacre ensued.[6] According to the Malay Annals, "blood flowed like a river" and the red stains on the laterite soil of Singapore are said to be blood from that massacre.[19][7]

Aftermath

Parameswara and his followers fled to the west coast of Malay Peninsula. After they arrived at Bertam River, Parameswara establish a new city called Malaka. He established Malacca as an international port by compelling passing ships to call there, and establishing fair and reliable facilities for warehousing and trade.[20]

References

  1. ^ Tsang & Perera 2011, hlm. 120
  2. ^ Abshire 2011, hlm. 19&24
  3. ^ Leyden, John (1821). Malay Annals: Translated from the Malay language. London: Longman, Hurst, Rees, Orme and Brown. p. 86: "The bitara immediately fitted out 300 junks together with the vessels calúlús, pelang, and jongkong in numbers beyond calculation, and embarked on board of them two Cati of Javans (200,000). Then having set sail, they arrived at Singhapura, and immediately engaged in battle."
  4. ^ a b Keng & Ismail 1998, hlm. 118-119.
  5. ^ Windstedt 1938, hlm. 32
  6. ^ a b Ahmad 1979, hlm. 69–71.
  7. ^ a b Keng & Ismail 1998, hlm. 119.
  8. ^ a b Leyden 1821, hlm. 52
  9. ^ Nugroho (2011), p. 271, 399–400, quoting Sejarah Melayu, 5.4: 47: "Maka betara Majapahitpun menitahkan hulubalangnya berlengkap perahu akan menyerang Singapura itu, seratus buah jung; lain dari itu beberapa melangbing dan kelulus, jongkong, cerucuh, tongkang, tiada terhisabkan lagi banyaknya."
  10. ^ Leyden 1821, hlm. 53
  11. ^ Ahmad 1979, hlm. 47.
  12. ^ Keng & Ismail 1998, hlm. 94-95.
  13. ^ Miksic 2013, hlm. 356
  14. ^ Nugroho (2011), p. 271, 399–400, quoting Sejarah Melayu, 10.4: 77: "... maka bagindapun segera menyuruh berlengkap tiga ratus buah jung, lain dari pada itu kelulus, pelang, jongkong, tiada terbilang lagi." (then His Majesty immediately ordered to equip three hundred jong, other than that kelulus, pelang, jongkong in uncountable numbers.)
  15. ^ Leyden 1821, hlm. 86
  16. ^ Tsang & Perera 2011, hlm. 120
  17. ^ Sabrizain
  18. ^ Ahmad 1979, hlm. 69–70.
  19. ^ Windstedt 1938, hlm. 32
  20. ^ Ricklefs (1993), hlm. 19

Bibliography

  • Nugroho, Irawan Djoko (2011), Majapahit Peradaban Maritim, Suluh Nuswantara Bakti, ISBN 978-602-9346-00-8