Penjarahan Singapura
Penjarahan Singapura | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Relief prajurit Melayu Singapura kuno di Fort Canning Park | |||||||||
| |||||||||
Pihak terlibat | |||||||||
|
Kerajaan Singapura | ||||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||||
Wikramawardhana Sang Rajuna Tapa | Parameswara | ||||||||
Kekuatan | |||||||||
200.000 prajurit 300 djong dan ratusan kapal (kelulus, pelang, dan jongkong).[3][4] | Tidak diketahui | ||||||||
Korban | |||||||||
Tidak diketahui | Hampir semuanya dibantai. (termasuk warga sipil)[5][6][7] |
Penyerbuan dan penjarahan Singapura yang terjadi pada tahun 1398, terjadi antara pasukan Majapahit dan pasukan Singapura. Pertempuran berlangsung selama satu bulan; akhirnya berakhir dengan kemenangan Majapahit.[8][9] Kota Singapura dijarah dan dihancurkan sebagian besar kota, dan pembantaian terjadi setelah invasi.[6]
Sebelum penjarahan terjadi, Parameswara, raja terakhir Singapura dan para pengikutnya melarikan diri ke Semenanjung Melayu and mendirikan sebuah negara baru, yaitu Kesultanan Melaka.
Latar Belakang
[sunting | sunting sumber]Upaya pertama untuk menaklukkan Singapura
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1347, Sang Nila Utama digantikan oleh Sri Wikrama Wira. Kerajaan Majapahit yang semakin berkuasa mulai mengincar pengaruh kerajaan pulau kecil tersebut. Di bawah pimpinan panglima perangnya yang ambisius, Gajah Mada, Majapahit mulai melancarkan ekspansi ke luar negeri terhadap semua kerajaan di Nusantara. Pada tahun 1350, Hayam Wuruk naik takhta Majapahit. Raja baru tersebut mengirim utusan ke Singapura menuntut penyerahan kerajaan tersebut. Wikrama Wira menolak untuk melakukannya dan bahkan mengirim pesan simbolis yang mengancam akan mencukur kepala Hayam Wuruk jika ia melanjutkan perjalanan ke Singapura.[10]
Hayam Wuruk yang murka memerintahkan penyerbuan dengan armada yang terdiri dari 100 kapal perang utama (jong) dan ratusan kapal kecil di bawah komando Damang Wiraja.[10][11] Armada tersebut melewati Pulau Bintan, dari sana berita tersebut menyebar ke Singapura. Para pembela segera mengumpulkan 400 kapal perang untuk menghadapi penyerbuan tersebut. Kedua belah pihak bentrok di pantai Singapura dalam pertempuran yang berlangsung selama tiga hari tiga malam. Banyak yang terbunuh di kedua belah pihak dan pada malam hari ketiga, armada Majapahit diusir kembali ke kapal mereka.[12][13][14]
Pemberontakan Palembang
[sunting | sunting sumber]Menurut catatan Portugis, Parameswara adalah seorang pangeran dari Palembang yang mencoba untuk menantang kekuasaan Jawa atas Palembang sekitar tahun 1360. Majapahit kemudian menyerang dan mengusir Parameswara dari Palembang. Parameswara melarikan diri ke Singapura, dan disambut oleh penguasa setempat yang bergelar Sang Aji bernama Sangesinga. Parameswara membunuh penguasa tersebut beberapa hari kemudian, kemudian memerintah Singapura selama lima tahun dengan bantuan Çelates atau Orang Laut.[15]
Penyerbuan
[sunting | sunting sumber]Sebagaimana disebutkan dalam Sulalatus Salatin, kisah jatuhnya Singapura dan pelarian raja terakhirnya dimulai dengan tuduhan Parameswara terhadap salah satu selirnya yang berzina. Sebagai hukuman, raja memerintahkan agar selirnya ditelanjangi di depan umum. Sebagai pembalasan, ayah selir tersebut, Sang Rajuna Tapa – yang juga merupakan pejabat di istana Parameswara – secara diam-diam mengirim pesan kepada Wikramawardhana, yang menjanjikan dukungannya jika Wikramawardhana memilih untuk menyerang Singapura. Pada tahun 1398, Majapahit mengirim armada yang terdiri dari 300 jong dan ratusan kapal yang lebih kecil (kelulus, pelang, dan jongkong); dan membawa tidak kurang dari 200,000 prajurit.[16][17][4]
Para prajurit Majapahit terlibat pertempuran dengan para pembela di luar benteng, sebelum memaksa mereka mundur ke balik tembok. Pasukan penyerbu mengepung kota dan berulang kali mencoba menembus benteng. Akan tetapi, benteng tersebut terbukti tidak dapat ditembus.[18][19][20] Setelah sekitar sebulan berlalu, persediaan makanan di benteng mulai menipis dan para pembela berada di ambang kelaparan. Sang Rajuna Tapa kemudian diminta untuk membagikan sisa gandum kepada rakyat dari gudang kerajaan. Melihat kesempatan ini untuk membalas dendam, Sang Rajuna Tapa berbohong kepada Parameswara, dengan mengatakan bahwa gudang itu kosong. Gandum tidak dibagikan dan rakyat akhirnya kelaparan. Serangan terakhir terjadi ketika gerbang akhirnya dibuka atas perintah Sang Rajuna Tapa. Mengetahui bahwa kekalahan sudah di depan mata, Parameswara dan pengikutnya melarikan diri dari pulau tersebut. Para prajurit Majapahit menyerbu benteng dan pembantaian yang mengerikan pun terjadi.[6] Menurut Sulalatus Salatin, "darah mengalir seperti sungai" dan noda merah di tanah laterit Singapura dikatakan sebagai darah dari pembantaian itu.[21][7]
Akibat
[sunting | sunting sumber]Parameswara dan pengikutnya melarikan diri ke pantai barat Semenanjung Melayu. Setelah sampai di Sungai Bertam, Parameswara mendirikan kota baru bernama Malaka pada tahun 1402. Ia menjadikan Malaka sebagai pelabuhan internasional dengan memaksa kapal-kapal yang lewat untuk singgah di sana, dan membangun fasilitas yang adil dan dapat digunakan untuk pergudangan dan perdagangan.[22]
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Tsang & Perera 2011, hlm. 120
- ^ Abshire 2011, hlm. 19&24
- ^ Leyden, John (1821). Malay Annals: Translated from the Malay language. London: Longman, Hurst, Rees, Orme and Brown. p. 86: "The bitara immediately fitted out 300 junks together with the vessels calúlús, pelang, and jongkong in numbers beyond calculation, and embarked on board of them two Cati of Javans (200,000). Then having set sail, they arrived at Singhapura, and immediately engaged in battle."
- ^ a b Keng & Ismail 1998, hlm. 118-119.
- ^ Windstedt 1938, hlm. 32
- ^ a b c Ahmad 1979, hlm. 69–71.
- ^ a b Keng & Ismail 1998, hlm. 119.
- ^ Tsang & Perera 2011, hlm. 120
- ^ Abshire 2011, hlm. 19&24
- ^ a b Leyden 1821, hlm. 52
- ^ Nugroho (2011), p. 271, 399–400, quoting Sejarah Melayu, 5.4: 47: "Maka betara Majapahitpun menitahkan hulubalangnya berlengkap perahu akan menyerang Singapura itu, seratus buah jung; lain dari itu beberapa melangbing dan kelulus, jongkong, cerucuh, tongkang, tiada terhisabkan lagi banyaknya."
- ^ Leyden 1821, hlm. 53
- ^ Ahmad 1979, hlm. 47.
- ^ Keng & Ismail 1998, hlm. 94-95.
- ^ Miksic 2013, hlm. 356
- ^ Nugroho (2011), p. 271, 399–400, quoting Sejarah Melayu, 10.4: 77: "... maka bagindapun segera menyuruh berlengkap tiga ratus buah jung, lain dari pada itu kelulus, pelang, jongkong, tiada terbilang lagi."
- ^ Leyden 1821, hlm. 86
- ^ Tsang & Perera 2011, hlm. 120
- ^ Sabrizain
- ^ Ahmad 1979, hlm. 69–70.
- ^ Windstedt 1938, hlm. 32
- ^ Ricklefs (1993), hlm. 19
Referensi
[sunting | sunting sumber]- Ahmad, A. Samad (1979), Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), Dewan Bahasa dan Pustaka, ISBN 983-62-5601-6, diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-12
- Abshire, Jean E. (2011), The History of Singapore, Greenwood, ISBN 978-0-313-37742-6
- Keng, Cheah Boon; Ismail, Abdul Rahman Haji, ed. (1998), Sejarah Melayu The Malay Annals MS RAFFLES No. 18 Edisi Rumi Baru/New Romanised Edition, Academic Art & Printing Services Sdn. Bhd.
- Leyden, John (1821), Malay Annals (translated from the Malay language), Longman, Hurst, Rees, Orme and Brown
- Miksic, John N. (2013), Singapore and the Silk Road of the Sea, 1300–1800, NUS Press, ISBN 978-9971-69-574-3
- Nugroho, Irawan Djoko (2011), Majapahit Peradaban Maritim, Suluh Nuswantara Bakti, ISBN 978-602-9346-00-8
- Sabrizain, Palembang Prince or Singapore Renegade?, diakses tanggal 2012-10-04
- Tsang, Susan; Perera, Audrey (2011), Singapore at Random, Didier Millet, ISBN 978-981-4260-37-4
- Windstedt, Richard Olaf (1938), "The Malay Annals or Sejarah Melayu", Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, Singapore: Printers Limited, XVI: 1–226
- Ricklefs, M.C. (1993). A History of Modern Indonesia Since c.1300 (edisi ke-2nd). London: MacMillan. ISBN 0-333-57689-6.