Lompat ke isi

Skandal Blue Energy

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 26 Desember 2024 09.54 oleh JumadilM (bicara | kontrib) (Added {{Underlinked}} tag (TW))
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Skandal Blue Energy adalah kasus penipuan publik yang melibatkan Djoko Suprapto, yang kemudian menjadi tersangka kasus penipuan proyek pembangkit listrik Jodhipati dan bahan bakar alternatif Banyugeni.[1]

Sebelumnya, Djoko yang disebut-sebut sebagai almunus Fakultas Teknik Elektro UGM, mengklaim mampu menciptakan listrik cukup dari air. Cara kerjanya memecah molekul air menjadi H (+) dan O2 (-) dengan bantuan katalis-katalis dan proses tertentu sampai menjadi bahan bakar dengan jumlah ikatan karbon tertentu. Sehingga, blue energy bisa dijadikan bahan bakar alternatif pengganti solar, bensin, avtur, maupun minyak tanah.[2]

Temuan Joko ini bahkan sudah dipamerkan dalam ekspedisi Jakarta-Bali menjelang United Nation Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) Desember 2007 di Bali. Mobil yang digunakan uji coba dalam ekspedisi waktu itu adalah 2 Ford Ranger 2500 CC, 1 Isuzu Panther 2500 CC Diesel, 1 Mazda Familia 1800 CC dan 1 Bus Mitsubishi 4000 CC. Ekspedisi ini diberangkatkan Presiden SBY dari kediaman pribadi Presiden di Puri Cikeas Indah tanggal 26 November 2007, dan sukses tiba di Bali pada 3 Desember 2007. Ekspedisi rombongan tersebut diketuai Heru Lelono, Stafsus Presiden.[2]

Inovasi Joko rencananya akan diproduksi massal dengan kapasitas produksi 10 liter per detik atau setara dengan 5 ribu barrel per hari. Rencananya, penemuan yang dinamai Blue Energy ini akan bisa dinikmati masyarakat umum sekitar Bulan April 2008. Bila berhasil, produk ini akan dijual sekitar Rp 3 ribu per liter.[2]

Heru Lelono, Stafsus Pesiden, secara keras membela saat ide Blue Energy dikritisi karena tidak masuk akal.

Banyak pihak yang menduga seperti itu. Saya sendiri sudah jenuh mendengar hal ini. Apa-apa dikaitkan dengan politik. Saya tidak bisa bayangkan kalau kita ingin mengembangkan sebuah inovasi bagi rakyat, kemudian dipolitisir, rakyat mau dapat apa?... Yang tidak suka pasti orang yang tidak waras."[3]

Kritik mulai muncul saat awalnya Djoko Suprapto berusaha menawarkan alat temuannya kepada pihak UGM, yang diwakili Rektor UGM Prof Sofian Effendi. Dalam pertemuannya pada Bulan Desember tahun 2005 di rumah Prof Sofian Effendi, Djoko mempresentasikan pembangkit lisatrik dengan menggunakan empat buah batu baterai kecil, beberapa bola lampu 60 watt serta panel surya. Pembangkit listrik yang dipresentasikan tersebut memiliki kapasitas 25 kilowatt, sehingga membuat Prof Sofian sempat tertarik untuk membeli untuk keperluan listrik di perumahan UGM.[4]

Kecerugiaan menyeruak saat Djoko mengklaim alatnya bisa menghasilkan energi listrik tanpa henti selamanya, sementara sumber energinya sendiri tidak jelas. Kepala Pusat Studi Energi Drs Sudiartono, sempat bertanya apakah di dalam alat tersebut ada accu atau inverter? Djoko kemudian menjawab tidak ada. Hal ini jelas menyalahi hukum kekekalan energi. Karena itu permintaannya untuk mendapat surat rekomendasi dari UGM dan pembiayaan Rp 3 Miliar diragukan.[4]

Saat berusaha diuji ulang, Djoko tidak datang dan malah mengirimkan perwakilan, Purwanto yang mengaku lulusan teknik Fisika IKIP Yogyakarta (UNY). Jawaban Purwanto dalam diskusi tersebut berbelit-belit dan tidak masuk akal. Anehnya lagi, Purwanto malah menciptakan klaim baru, mampu menciptaklan pembangkit listrik tenaga Matahari dengan kapasitas Gigawatt dengan cara melobangi lapisan ozon. [4]

Pihak UGM langsung dengan tegas menyatakan proposal ini adalah sebuah penipuan, dan berusaha memperingatkan banyak pihak untuk tidak mempercayai ide Djoko Suprapto, namun akhirnya terlambat karena idenya malah dipercaya oleh tim istana. [4]

Pada tanggal 22 Januari 2009, Djoko Suprapto divonis 3,5 tahun penjara, beserta biaya Rp 2.000,- atas kasus penggelapan Rp 1,35 Miliar yang dianggap melanggar pasal 64 ayat 1 KUHP. Ia dituntut oleh UMY Yogyakarta atas perbuatannya yang dianggap merugikan. [5] Pihaknya menyatakan akan mengajukan banding atas putusan ini karena dianggap merupakan konspirasi dari pihak yang lebih berkuasa.[6]

Referensi

[sunting | sunting sumber]