Lompat ke isi

Optika klasik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 8 Februari 2010 15.47 oleh ESCa (bicara | kontrib)
Cahaya merambat melalui suatu medium sebagai gelombang transversal yang mempunyai atribut yaitu amplitudo, panjang gelombang, frekuensi, dan kecepatan rambat dengan nilai besaran yang semuanya itu bergantung pada bagaimana cahaya tersebut teremisi dan jenis medium yang dilaluinya.

Pada era optika klasik (en:classic optics) sebelum optika kuantum-mekanik, cahaya dimengerti sebagai gelombang elektromagnetik yang tercipta dari medan magnet dan osilasi medan listrik. Kedua medan ini secara kontinu saling menciptakan seiring gelombang cahaya yang merambat menembus ruang dan bergetar dalam waktu.[1]

Frekuensi gelombang cahaya ditentukan oleh periode osilasi yang merupakan panjang gelombang tersebut, seyogyanya tidak berubah saat merambat melalui berbagai medium, hanya kecepatan gelombang yang bergantung pada jenis mediumnya. Persamaan yang digunakan:

dimana:

Pada frekuensi yang konstan, perubahan kecepatan gelombang cahaya akan berpengaruh pada panjang gelombangnya.[2]

Rasio antara kecepatan gelombang cahaya pada ruang hampa dan kecepatan gelombang cahaya pada suatu medium disebut index of refraction dengan persamaan:

di mana:

As light wave travels through space, it oscillates in amplitude. In this image, each maximum amplitude crest is marked with a plane to illustrate the wavefront. The ray is the arrow perpendicular to these parallel surfaces.

Optika geometris atau optika sinar, menjabarkan perambatan cahaya sebagai vektor yang disebut sinar. Sinar adalah sebuah abstraksi atau "instrumen" yang digunakan untuk menentukan arah perambatan cahaya. Sinar sebuah cahaya akan tegak lurus dengan muka gelombang (Inggris:wavefront) cahaya tersebut, dan ko-linear terhadap vektor gelombang.

Menurut prinsip Fermat, jarak yang ditempuh sebuah sinar antara dua buah titik, adalah jarak tempuh terpendek dan tercepat.[4] Sebelumnya, pada tahun 60, Heron dari Alexandria, seorang ahli matematika berkebangsaan Yunani yang tinggal di salah satu propinsi Roma, Ptolemaic Egypt, menjelaskan prinsip refleksi sinar cahaya dengan jarak tempuh terkecil dalam medium dengan beberapa cermin datar. Ibn al-Haytham, dalam bukunya Kitab al-Manazir atau Book of Optics pada tahun 1021 memperluas prinsip Heron untuk refleksi dan refraksi dan menetapkan versi pertama principle of least time[5] dengan definisi sinar sebagai aliran partikel energi[6] yang merambat dengan kecepatan konstan[7][8][9] pada jarak tempuh yang lurus[7] dengan radiasi ke segala arah. Hanya satu sinar yang terlihat yaitu sinar dengan radiasi tegak lurus terhadap arah pandang mata. Penyederhanaan principle of least time ditulis oleh Pierre de Fermat pada suratnya ke Cureau de la Chambre tertanggal 1 Januari 1662, segera mendapat sanggahan oleh Claude Clerselier, seorang ahli optika dan juru bicara ternama golongan Cartesian pada bulan Mei 1662. Salah satu sanggahannya:

... Fermat's principle can not be the cause, for otherwise we would be attributing knowledge to nature: and here, by nature, we understand only that order and lawfulness in the world, such as it is, which acts without foreknowledge, without choice, but by a necessary determination.

Pada masa kini, definisi prinsip Fermat menambahkan jarak tempuh sinar yang stasioner.

Optika geometris menjelaskan sifat cahaya dengan pendekatan paraksial atau small angle approximation dengan penjabaran matematis yang linear, sehingga komponen optik dan sistem kerja cahaya seperti ukuran, posisi, magnifikasi subyek yang dijelaskan menjadi lebih sederhana, diantaranya dengan teknik optik Gaussian dan penelusuran sinar paraksial.[10] Cahaya didefinisikan sebagai partikel yang merambat, yang disebut sinar. Ali Sina Balkhi (980–1037), juga mengatakan bahwa the perception of light is due to the emission of some sort of particles by a luminous source.[11] Pierre Gassendi pada tahun 1660 membuat proposal teori partikel cahaya. Isaac Newton mempelajari teori Gassendi dan teori plenum Descartes. Pada tahun 1675, Newton dalam buku Hypothesis of Light membuat Corpuscular theory of Light yang direvisi hingga tahun 1704 dalam bukunya Opticks, yang menerangkan fenomena refleksi dan refraksi cahaya dengan asumsi cepat rambat yang lebih tinggi ketika cahaya melalui medium yang padat tumpat karena daya tarik gravitasi yang lebih kuat. Teori ini mengilhami Pierre Simon marquis de Laplace dengan hipotesa lobang hitam, sebuah benda yang sangat padat hingga cahaya pun tidak dapat lepas dari padanya. Laplace menarik hipotesanya saat teori gelombang optik fisis bermunculan. Essay Laplace kemudian dikembangkan oleh Stephen Hawking dan George F.R. Ellis dalam buku The large scale structure of space-time.

Refleksi atau pemantulan

Diagram refleksi sinar cahaya spekular

Refleksi atau pantulan cahaya terbagi menjadi 2 tipe: specular reflection dan diffuse reflection. Specular reflection menjelaskan perilaku pantulan sinar cahaya pada permukaan yang mengkilap dan rata, seperti cermin yang memantulkan sinar cahaya ke arah yang dengan mudah dapat diduga. Kita dapat melihat citra wajah dan badan kita di dalam cermin karena pantulan sinar cahaya yang baik dan teratur. Menurut hukum refleksi untuk cermin datar, jarak subyek terhadap permukaan cermin berbanding lurus dengan jarak citra di dalam cermin namun parity inverted, persepsi arah kiri dan kanan saling terbalik. Arah sinar terpantul ditentukan oleh sudut yang dibuat oleh sinar cahaya insiden terhadap normal permukaan, garis tegak lurus terhadap permukaan pada titik temu sinar insiden. Sinar insiden dan pantulan berada pada satu bidang dengan masing-masing sudut yang sama besar terhadap normal.[12]

Citra yang dibuat dengan pantulan dari 2 (atau jumlah kelipatannya) cermin tidak parity inverted. Corner retroreflector memantulkan sinar cahaya ke arah datangnya sinar insiden.[12]

Diffuse reflection menjelaskan pemantulan sinar cahaya pada permukaan yang tidak mengkilap (Inggris:matte) seperti pada kertas atau batu. Pantulan sinar dari permukaan semacam ini mempunyai distribusi sinar terpantul yang bergantung pada struktur mikroskopik permukaan. Johann Heinrich Lambert dalam Photometria pada tahun 1760 dengan hukum kosinus Lambert (atau cosine emission law atau Lambert's emission law) menjabarkan intensitas radian luminasi sinar terpantul yang proposional dengan nilai kosinus sudut θ antara pengamat dan normal permukaan Lambertian dengan persamaan:

photons/(s·cm2·sr)

Refraksi atau pembiasan

Illustrasi hukum Snellius untuk n1 < n2, seperti pada antarmuka udara/air. θ1 dan θ2 adalah sudut kritis bias dimana sinar merah merambat menurut prinsip Fermat dan membentuk jendela Snellius. Pada sudut yang lebih besar terjadi total internal reflection sedangkan pada sudut yang lebih kecil, cahaya akan merambat lurus.

Ketika gelombang elektromagnetik menyentuh permukaan medium dielektrik dari suatu sudut, leading edge gelombang tersebut akan melambat sementara trailing edgenya tetap melaju normal.[13] Penurunan kecepatan leading edge disebabkan karena interaksi dengan elektron dalam medium tersebut.[14] Saat leading edge menumbuk elektron, energi gelombang tersebut akan diserap dan kemudian diradiasi kembali. Penyerapan dan re-radiasi ini menimbulkan keterlambatan sepanjang arah perambatan gelombang. Kedua hal tersebut menyebabkan perubahan arah rambat gelombang yang disebut refraksi atau pembiasan. Perubahan arah rambat gelombang cahaya dapat dihitung dari indeks bias berdasarkan hukum Snellius:

dimana:

  • dan adalah sudut antara normal dengan masing-masing sinar bias dan sinar insiden
  • dan adalah indeks bias masing-masing medium
  • dan adalah kecepatan gelombang cahaya dalam masing-masing medium

Hukum Snellius juga disebut Law of refraction atau Law of sines (penulisan "Snell" daripada "Snel" terjadi karena penggunaan nama Latin "Snellius"[15]) dikemukakan oleh Willebrord Snellius pada tahun 1621 sebagai rasio yang terjadi akibat prinsip Fermat. Pada tahun 1637, René Descartes secara terpisah menggunakan heuristic momentum conservation in terms of sines dalam tulisannya Discourse on Method untuk menjelaskan hukum ini. Cahaya dikatakan mempunyai kecepatan yang lebih tinggi pada medium yang lebih padat karena cahaya adalah gelombang yang timbul akibat terusiknya plenum, substansi kontinu yang membentuk alam semesta.

Optika fisis atau optika gelombang adalah cabang studi cahaya yang mempelajari sifat-sifat cahaya yang tidak terdefinisikan oleh optik geometris dengan pendekatan sinarnya. Definisi sifat cahaya dalam optik fisis dilakukan dengan pendekatan frekuensi tinggi (Inggris:high frequency approximation atau short wave approximation). Teori pertama dicetuskan oleh Robert Hooke pada sekitar tahun 1660. Christiaan Huygens menyusul dengan Treatise on light pada tahun 1690 yang dikerjakannya semenjak tahun 1678. Cahaya didefinisikan sebagai emisi deret gelombang ke segala arah dalam medium yang disebut Luminiferous ether. Karena gelombang tidak terpengaruh oleh medan gravitasi, cahaya diasumsikan bergerak lebih lamban ketika merambat melalui medium yang lebih padat.

Padan tahun 1746, Leonhard Euler dengan Nova theoria lucis et colorum mengatakan bahwa difraksi dapat dijelaskan dengan lebih mudah secara teori gelombang.

Pada sekitar tahun 1800, Thomas Young menyatakan bahwa gelombang cahaya dapat saling berinterferensi, dapat dipolarisasi, mempunyai warna sesuai dengan panjang gelombangnya dan menjelaskan color vision dalam konteks reseptor tiga warna pada mata. Pada tahun 1817, Augustin Jean Fresnel membuat presentasi teori gelombang dengan perhitungan matematis di Académie des Sciences yang kemudian dikenal dengan persamaan Fresnel. Simeon Denis Poisson menambahkan perhitungan matematis yang melemahkan teori partikel Newton. Pada tahun 1921, Fresnel menunjukkan metode matematis bahwa polarisasi hanya dapat dijelaskan oleh teori gelombang, karena gelombang merambat tanpa vibrasi longitudinal. Kelemahan teori gelombang hanya karena gelombang membutuhkan medium untuk merambat, hipotesa substansi Luminiferous ether diajukan, namun digugurkan oleh percobaan Michelson-Morley. Pada saat Léon Foucault berhasil mengukur kecepatan cahaya dengan cukup akurat pada tahun 1850[16], hasil percobaannya menggugurkan teori partikel cahaya yang menyatakan bahwa partikel cahaya mempunyai kecepatan lebih tinggi dalam medium yang lebih padat, dan mengukuhkan teori gelombang cahaya yang menyatakan sebaliknya.

Pada tahun 1845, Michael Faraday menemukan bukti relasi antara cahaya dengan medan elektromagnetik pada percobaan rotasi Faraday.[17] Serangkaian percobaan Faraday berikutnya menginspirasi James Clerk Maxwell dengan On Physical Lines of Force pada tahun 1862, A Treatise on Electricity and Magnetism pada tahun 1873 dengan penjabaran matematis yang disebut persamaan Maxwell. Segera setelah itu, Heinrich Hertz mengukuhkan teori Maxwell dengan serangkaian percobaan pada gelombang radio. Penemuan kedua tokoh tersebut mengakhiri era optika klasik dan membuka lembaran baru pengembangan radio modern, radar, televisi, citra elektromagnetik, komunikasi nirkabel dll.

Interference of two circular waves – Wavelength (decreasing bottom to top) and Wave centers distance (increasing to the right). Absolute value snapshots of the (real-valued, scalar) wave field. As time progresses, the wave fronts would move outwards from the two centers, but the dark regions (destructive interference) stay fixed.

Interferensi adalah penjumlahan superposisi dari dua gelombang cahaya atau lebih yang menimbulkan pola gelombang yang baru. Interferensi mengacu kepada interaksi gelombang yang saling berkorelasi dan koheren satu sama lain, karena cahaya tersebut berasal dari sumber yang sama atau mempunyai frekuensi yang serupa. Dengan mengabaikan efek optik non linear, dua buah gelombang cahaya dengan frekuensi yang sama dapat berinterferensi satu sama lain dengan konstruktif atau destruktif, bergantung pada posisi fasa gelombang tersebut,[18]

combined
waveform
wave 1
wave 2

Two waves in phase Two waves 180° out
of phase

Interferensi gelombang cahaya merupakan salah satu bentuk superposisi. Dalam matematika, superposisi adalah bentuk fungsi penjumlahan (Inggris:additivity) bidang linear dengan persamaan:

.
Colors seen in a spider web are partially due to diffraction, according to some analyses.[19]

Difraksi merupakan suatu fenomena gelombang yang terjadi sebagai respon gelombang terhadap halangan yang berada pada arah rambatnya. Pada gelombang cahaya, difraksi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan respon cahaya dengan sinar yang melengkung mengitari halangan kecil pada arah rambatnya, dan radiasi gelombang yang menyebar keluar dari sebuah rana/celah kecil(bahasa inggris:slit).

Fenomena difraksi pertama kali dijelaskan oleh Francesco Maria Grimaldi pada tahun 1665 dengan nama Latin diffringere yang berarti to break into pieces[20][21] dengan penjabaran sifat gelombang yang dapat terurai menjadi potongan-potongan gelombang. Potongan-potongan gelombang ini dapat bergabung kembali dalam suatu resolusi optis.

In a prism, material dispersion (a wavelength-dependent refractive index) causes different colors to refract at different angles, splitting white light into a rainbow.

Dispersi sering juga disebut chromatic dispersion merupakan suatu fenomena saat phase velocity suatu gelombang bergantung kepada frekuensinya[22] atau pada saat group velocity gelombang tersebut bergantung pada frekuensi. Dispersi terjadi karena cahaya dengan berbagai macam frekuensi mempunyai phase velocity yang berbeda-beda, hal ini dapat disebabkan oleh material dispersion dan waveguide dispersion.

Material dispersion terjadi karena adanya perbedaan respon medium terhadap frekuensi cahaya yang melaluinya, misalnya fenomena color fringe pada fotografi akibat perbedaan indeks bias lensa terhadap cahaya yang melaluinya, fenomena separasi warna pada prisma yang membentuk pola warna pelangi,[12] Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila (Indigo), Ungu.

Salah satu bentuk material dispersion yang paling umum adalah nisbah terbalik antara indeks bias dan panjang gelombang, yang dapat diamati pada umumnya materi transparan dielektrik yang tidak menyerap cahaya, [23] disebut normal dispersion. Pada medium dengan indeks bias berbanding lurus terhadap panjang gelombang, cahaya akan diserap oleh medium, disebut anomalous dispersion.[12][23]

Waveguide dispersion terjadi pada saat cepat rambat gelombang di dalam sebuah waveguide (misalnya serat fiber optik) bergantung frekuensinya, karena struktur geometris medium.

Scattering adalah proses fisis bentuk radiasi, seperti cahaya atau suara, yang terdeviasi dari arah rambatnya akibat adanya ketidakteraturan di dalam medium rambat. Ketidakteraturan medium dapat berupa partikel, gelembung udara dalam air, tetes air, fluktuasi kepadatan medium cair (fluid), defects in crystalline solids, surface roughness, organism cells, dan textile fibers pakaian. Keteraturan struktur medium yang mendeviasi arah rambat cahaya disebut waveguide dispersion.

Polarisasi adalah orientasi gelombang. Pada cahaya terdapat 3 jenis polarisasi, osilasi gelombang cahaya dapat berorientasi pada satu arah (linear polarization) atau ber-rotasi bersamaan dengan arah rambatnya (circular atau elliptical polarization). Circular polarization dapat berputar searah atau berlawanan jarum jam, arah polarisasi disebut wave chirality[24]


Linear polarization diagram
Linear polarization diagram
Linear
Circular polarization diagram
Circular polarization diagram
Circular
Elliptical polarization diagram
Elliptical polarization diagram
Elliptical


Referensi

  1. ^ Maxwell, James Clerk. "A dynamical theory of the electromagnetic field" (pdf). This article accompanied a December 8, 1864 presentation by Maxwell to the Royal Society. See also A dynamical theory of the electromagnetic field.
  2. ^ T. Koupelis and K. F. Kuhn (2007). In Quest of the Universe. Jones & Bartlett Publishers. ISBN 0763743879. 
  3. ^ D. H. Delphenich (2006). "Nonlinear optical analogies in quantum electrodynamics". ArXiv preprint. 
  4. ^ Arthur Schuster, An Introduction to the Theory of Optics, London: Edward Arnold, 1904 online.
  5. ^ Pavlos Mihas (2005). Use of History in Developing ideas of refraction, lenses and rainbow, Demokritus University, Thrace, Greece.
  6. ^ Rashed, Roshdi (2007), "The Celestial Kinematics of Ibn al-Haytham", Arabic Sciences and Philosophy, Cambridge University Press, 17: 7–55 [19], doi:10.1017/S0957423907000355 :

    "In his optics ‘‘the smallest parts of light’’, as he calls them, retain only properties that can be treated by geometry and verified by experiment; they lack all sensible qualities except energy."

  7. ^ a b O'Connor, John J.; Robertson, Edmund F., "Abu Ali al-Hasan ibn al-Haytham", Arsip Sejarah Matematika MacTutor, Universitas St Andrews .
  8. ^ MacKay, R. J.; Oldford, R. W. (August 2000), "Scientific Method, Statistical Method and the Speed of Light", Statistical Science, 15 (3): 254–78, doi:10.1214/ss/1009212817 
  9. ^ Sami Hamarneh (March 1972). Review of Hakim Mohammed Said, Ibn al-Haitham, Isis 63 (1), p. 119.
  10. ^ J. E. Greivenkamp (2004). Field Guide to Geometrical Optics. SPIE Field Guides vol. FG01. SPIE. hlm. 19–20. ISBN 0819452947. 
  11. ^ George Sarton, Introduction to the History of Science, Vol. 1, p. 710.
  12. ^ a b c d H. D. Young (1992). University Physics 8e. Addison-Wesley. ISBN 0201529815. Chapter 35
  13. ^ Henderson, T. "Lesson 2: The Mathematics of Refraction". The Physics Classroom Tutorial. Diakses tanggal 2009-08-21. 
  14. ^ Feynman, RP (1963). Lectures on Physics Volume II. Addison-Wesley. hlm. 32:1–32:3. 
  15. ^ George Sarton (1955). The Appreciation of Ancient and Medieval Science During the Renaissance. University of Pennsylvania Press. xiii. 
  16. ^ David Cassidy, Gerald Holton, James Rutherford (2002). Understanding Physics. Birkhäuser. ISBN 0387987568. 
  17. ^ Longair, Malcolm. Theoretical Concepts in Physics (2003) p. 87.
  18. ^ H. D. Young (1992). University Physics 8e. Addison-Wesley. ISBN 0201529815. Chapter 37
  19. ^ Dietrich Zawischa. "Optical effects on spider webs". Diakses tanggal 2007-09-21. 
  20. ^ J. L. Aubert (1760). Memoires pour l'histoire des sciences et des beaux arts. Paris: Impr. de S. A. S.; Chez E. Ganeau. hlm. 149. 
  21. ^ D. Brewster (1831). A Treatise on Optics. London: Longman, Rees, Orme, Brown & Green and John Taylor. hlm. 95. 
  22. ^ Born, Max; Wolf, Emil (October 1999). Principle of Optics. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 14–24. ISBN 0521642221. 
  23. ^ a b J. D. Jackson (1975). Classical Electrodynamics (edisi ke-2nd). Wiley. hlm. 286. ISBN 047143132X. 
  24. ^ H. D. Young (1992). University Physics 8e. Addison-Wesley. ISBN 0201529815. Chapter 34